Meski demikian, saya dan kita semua pasti setuju, kekerasan dalam bentuk apapun adalah sebuah kesalahan yang dapat dipidanakan. Apalagi jika itu dilakukan pada anak-anak. Sudah jelas jerat hukumnya akan lebih dalam.
Akan tetapi, kita juga harus bisa jeli melihat konteksnya. Sebuah kekerasan harus memenuhi pelbagai unsur yang mendukung pembuktian kekerasan itu sendiri. Di antaranya adalah unsur psikologis orangtua dan anak, duduk persoalannya, waktu dan tempat kejadian, tingkat kekerasannya, efek bagi korban hingga maksud dan tujuan tindakan.Â
Jadi tidak serta merta kontak fisik antara orangtua dan anak dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan yang dapat dipidanakan. Namun, jika memang semua unsur telah memenuhi syarat tindak pidana kekerasan, maka kasus kekerasan pada anak dapat langsung diusut, sebab kekerasan pada anak merupakan satu delik khusus bukan aduan, yang artinya dapat diusut tanpa adanya laporan.
Kembali lagi ke topik anak yang menjawab orangtua. Saat ini saya sudah menjadi orangtua, dan ternyata apa yang mama saya rasakan dulu sudah saya rasakan sekarang. Memang kesal rasanya jika anak menjawab apa yang kita sampaikan. Kita orangtua inginnya anak diam dan menurut saja dengan apa kata orangtua. Toh nasehat orangtua tidak ada yang menjerumuskan anak, bukan?
Memang tidak salah, tapi sayangnya itu cara berpikir orangtua zaman lampau. Di zaman sekarang, pola pikir seperti itu pasti sudah tidak relevan. Apalagi perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sudah semakin pesat, maka pola asuh kita kepada anak pun mau tidak mau, suka tidak suka juga harus bisa menyesuaikan.
Era kemajuan teknologi membuat anak-anak zaman now punya karakter yang lebih kritis dan berani berpendapat.Â
Mereka sudah dibekali teori-teori baru yang didapatkan di sekolah maupun lingkungan pergaulannya sehingga punya kepercayaan diri dalam berbicara.
Meski awalnya kesal dan marah, tapi kini justru saya yang ditantang untuk mampu mengontrol diri ketika menghadapi mereka.Â
Saya terus belajar untuk memahami dunia mereka. Bagaimanapun saya pernah menjadi mereka dan mereka belum pernah menjadi saya. Logikanya, saya yang harus bisa memahami dan mengarahkan mereka, bukan?
Saya cukup paham akan cara berpikir mereka yang lebih open minded dan berani berbicara. Sayangnya masih banyak orangtua yang menganggap karakter ini sebagai bentuk karakter yang "kurang ajar" terhadap orangtua. Padahal sebenarnya tidak demikian.Â