"kenapa takut ?"
"saya bodoh mbak...saya nggak tahu hukum...saya juga malu kalau sampai semua orang tahu kejadian ini..."
***
Aku menghela nafas panjang. Sesak rasanya dada ini melihat perempuan seusia denganku harus mengalami kekerasan seperti itu. Mirisnya, kekerasan itu justru dilakukan oleh suaminya sendiri, yang apapun permasalahannya seharusnya dapat lebih bijak dan menyelesaikan masalah bukan dengan emosi tapi harus melibatkan hati.
Cerita ini terjadi beberapa waktu lalu. Ketika tiba-tiba adikku membawa seorang perempuan dengan keadaan yang memilukan. Rupanya, di jalan perempuan itu meminta pertolongan pada adikku untuk dibawa ke tempat yang lebih aman. Dan kemudian adikku membawanya ke rumah kami.
Jujur saja, aku bukan ahli hukum yang memahami bagaimana alur peradilan terhadap persoalan-persoalan kriminal seperti ini. Yang kutahu, kekerasan dalam rumah tangga atau biasa disebut KDRT merupakan kasus yang memiliki keistimewaan dibanding kasus-kasus kekerasan lainnya, yaitu bersifat lex specialist, dimana bukan hanya korban tapi siapa saja yang melihat dapat membuat laporan pada pihak yang berwajib. Bahkan kasus KDRT memiliki tingkat kasus yang lebih berat ketimbang kasus kekerasan umum lainnya.
Meski demikian, masih banyak kasus KDRT yang belum terungkap di permukaan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya faktor psikologis (rasa malu, takut, trauma, dll), faktor budaya (kekerabatan) serta rendahnya pengetahuan dan informasi masyarakat mengenai hukum di Indonesia termasuk didalamnya ketidaktahuan tentang bagaimana proses hukum berjalan, bagaimana mendapat perlindungan hukum serta bagaimana perlindungan secara menyeluruh bagi para korban dan saksi.
Seringkali, para korban dan saksi merasa enggan melaporkan kasus KDRT dengan alasan takut, malu dan merasa diintimidasi oleh pihak-pihak tertentu. Mereka merasa tidak aman jika meneruskan kasus ke ranah hukum. Akibatnya, banyak kasus-kasus KDRT yang tidak tersentuh oleh hukum. Pada titik ini, banyak perempuan dan anak yang menjadi korban secara terselubung dan mengalami trauma yang bersifat jangka panjang. Ibarat daratan es di kutub utara, mereka adalah bongkahan es yang berada di bawah daratan dan tidak terlihat.
Melihat fakta ini, banyak para aktivis sosial yang concern terhadap perlindungan perempuan dan anak, khususnya pada kasus KDRT dan trafficking. Beberapa diantaranya menggaungkan gagasan dan ajakan bagi para perempuan untuk mau mendukung upaya perlindungan terhadap hak-hak mereka seperti three ends, akhiri kekerasan pada perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia serta akhiri ketidakadilan akses ekonomi untuk perempuan. Bukan hanya itu, begitu kuatnya isu tentang kekerasan perempuan dan anak, pemerintah bahkan telah fokus menangani isu ini melalui program-program dan kebijakan yang lebih khusus guna melindungi perempuan dan anak melalui Badan pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Namun, ternyata upaya itu belum cukup. Upaya-upaya tersebut hanya sebatas memberikan edukasi serta kampanye pencegahan bagi para perempuan agar tidak mudah terlibat pada masalah kekerasan, secara lebih mendalam, perlindungan terhadap perempuan dan anak harus didukung spesifik melalui perlindungan bagi para korban dan saksi yang terlibat.