Matahari menyengat hingga ubun-ubun. Kawasan TPA dengan pemandangan sampah menggunung tak menyurutkan langkah perempuan itu untuk terus menyusuri kampung sampah Codet. Pijakan kakinya menyisakan jejak, menandakan langkahnya pasti dan penuh keyakinan.
Beberapa pasang mata hanya bisa memandang heran kehadirannya. Anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki. Kulitnya legam terbakar matahari. Perutnya membusung. Tapi teriakan girang mereka tak mengisyaratkan mereka berada dalam kehidupan yang kurang beruntung. Anak-anak itu tetap ceria bermain dengan botol-botol plastik sisa minuman yang banyak berserakan di sekitar gunungan sampah.
Perempuan itu tergelak saat salah satu anak kampung codet tak sengaja menginjak kakinya yang beralaskan sepatu kets. Baginya, injakan itu adalah salam perkenalan antara dirinya dengan penduduk kampung codet.
“hei, siapa namamu ?” tanya perempuan itu dengan sedikit membungkukkan badannya pada anak kecil yang menginjak kakinya
Anak kecil itu menatap dengan penuh keraguan, “Dewi tante...”
Perempuan itu tersenyum, “nama yang bagus...”
Dewi tersenyum lega, perempuan itu tak memarahinya.
“mana sandalmu ? knapa bermain di tempat kotor begini tak memakai sandal ?”
“kalau memakai sandal aku pasti kalah berlari sama Husen, Wira dan Nita tante...”
Perempuan itu mengernyitkan dahi, “kok bisa ?”
“memakai sandal disini licin tante...aku jadi nggak bisa lari kencang...” jelasnya polos
Perempuan itu mengangguk-ngangguk, “hmmm...i see...baiklah, sekarang tunjukkan sama tante kamu memang bisa berlari kencang tanpa memakai sandal...”
Dewi nampak berpikir sejenak, “apa hadiahnya tante ?” tanyanya spontan
Perempuan itu kembali tergelak, “baiklaaahh...hadiahnya es krim...setuju ?!”
Dewi mengangguk cepat. Tanpa dikomando ia pun berlari sekencang-kencangnya memutari gunungan sampah. Sesaat sosok mungilnya menghilang dibalik gunungan sampah. Sesaat kemudian muncul kembali dengan peluh yang membasahi hampir seluruh rambutnya yang memerah.
Perempuan itu bertepuk tangan dan mengangkat jempol.
“hebaaaatttt ! semoga suatu saat bisa jadi atlit lari ya Dewi...” puji perempuan itu begitu Dewi telah sampai di dekatnya
“Darwis...bawa sini minuman jeruk itu !” perintahnya pada laki-laki berbadan tegap yang sedari tadi mengikuti langkahnya dari belakang.
Tanpa membantah, laki-laki itu menyerahkan sebotol minuman berwarna oranye pada perempuan itu.
“ini minum dulu...bentar lagi kita beli es krim ya...”
“tapiii sebelumnya tante mau tahu rumah kamu dulu...boleh ?”
“boleh tante...” jawab Dewi sembari menenggak minuman yang diberikan perempuan itu. Sekali tenggak habis. Mungkin baru kali ini Dewi merasakan nikmatnya minuman jeruk itu. Ntah kapan lagi ia bisa meminumnya.
Dewi dan rombongan perempuan itu beranjak menuju sebuah rumah yang tak jauh dari gunungan sampah. Rumah itu lebih mirip bilik karung, karena tak berdinding. Hanya deretan karung yang menggantung membentuk petak. Atapnya lembaran seng yang telah berkarat. Entah bagaimana jika hujan mengguyur. Yang jelas air pasti akan menggenang sampai ke dalam.
Dewi dengan sumringah mempersilahkan perempuan itu masuk ke rumahnya. Tak terlihat beban di matanya. Tak terlihat rasa malu di wajahnya. Gadis kecil itu begitu bersemangat menunjukkan rumahnya. Rumah yang begitu dibanggakannya.
“ini rumahmu Dewi ?”
“Iya. Aku tinggal sama bapak, emak dan dua kakakku...”
“tidurnya dimana ?”
“di sini...” Dewi memperagakan bagaimana posisinya saat tidur di atas lembaran kardus yang disusun memanjang
“yang lain ?”
Dewi terdiam sejenak, “tidurnya gantian tante...biasanya bapak emak tidur duluan. Nanti malamnya bapak emak bangun, gantian kakak yang tidur. Tapi aku boleh tidur terus heheee...”
Perempuan itu terhenyak. Ia benar-benar tak menyangka jika di tengah kota metropolitan nyatanya masih ada sekelumit kisah perjuangan hidup yang sangat tidak mudah. Bahkan, untuk sekadar tidur saja mereka harus berjuang, berbesar hati, menahan kantuk, menahan dingin, menahan lelah...
Tanpa terasa airmata meleleh membasahi pipi perempuan itu. Bibirnya bergetar. Tak kuasa ia menahan haru dan iba yang tiba-tiba saja menyeruak. Selama ini ia menganggap kisah seperti ini hanya ada di dongeng. Cerita yang teraniaya dan dianiaya. Tapi kini ia melihatnya. Jelas tanpa naskah drama.
“catat ! agendakan pembangunan kampung codet ini prioritas Darwis ! suaranya tegas meski dengan linangan airmata
“kita akan bangun rumah permanen layak huni bagi penduduk kampung codet. Tanpa penggusuran. Tanpa kekerasan. Penduduk kampung codet adalah pahlawan. Pahlawan sampah bagi kota metropolitan ini ! mereka yang menjaga keseimbangan gunungan sampah ini. Mereka juga yang rela menerima berton-ton sampah setiap harinya. Mereka juga yang mendistribusikan sampah-sampah ini untuk dijadikan bahan daur ulang. Tanpa mereka, kota metropolitan ini akan menjadi lautan sampah ! sudah saatnya kita perhatikan kelayakan hidup mereka !!!” suara perempuan itu semakin lantang berkumandang.
Penduduk kampung codet yang mulai berdatangan dan berkerumun berteriak kegirangan. Ibu-ibu berebutan memeluk perempuan itu dan mengelu-elukannya.
Dewi melompat-lompat, “apa aku akan punya rumah gedong tante ?”
Perempuan itu mengangguk, “Dewi dan semua penduduk kampung codet akan punya rumah permanen layak huni. Nggak kehujanan lagi. Nggak kepanasan lagi...”
“dan tidurnya nggak gantian lagi...” perempuan itu melirik Dewi dan disambut teriakan hore hore gadis kecil nan cerdas itu.
***
Angin berhembus mengibarkan poster-poster dan spanduk yang memampang foto para kandidat calon Gubernur kota metropolitan. Berbagai jargon ditulis dengan tinta mencolok. Pun dengan janji-janji yang konon akan ditepati saat mereka telah terpilih nanti.
Dewi berlari menyusuri kampung codet, “tante ini...tante iniiii...ada foto tante iniiii...!!!” teriaknya hingga mengundang penasaran penduduk kampung codet siang itu.
Mereka mengerumuni Dewi yang memegang selembar poster berwarna dasar putih dengan paduan warna pinggirnya biru. Poster itu berisi foto sesosok perempuan cantik dan laki-laki berpeci dengan tampang yang biasa-biasa saja.
“Dr. Miranda Anandari dan Bondan Gito, SH : Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kota Metropolitan : Nomor Urut 1” salah satu warga membaca dengan keras isi tulisan poster tersebut.
“Membangun Tanpa Menggusur dan Kekerasan...berjuang bersama bergandengan tangan dengan rakyat kecil “ salah satu warga melanjutkan membaca
Penduduk sontak berteriak bahagia. Bahkan beberapa diantaranya nampak bersujud syukur. Setidaknya mereka memiliki setitik harapan untuk mendapat perhatian dan penghidupan yang lebih layak dari pemerintah dan pemimpin mereka. Kampung codet yang selama ini tersisihkan akan menjadi perhatian.
Perempuan itu...airmatanya....suara tegas dan lantangnya...menjadi oase bagi penduduk kampung codet. Kampung pahlawan sampah yang kerap “tergusur” oleh kepentingan politik dan segelintir kelompok penguasa.
Kini, di genggaman perempuan itu, kampung Codet akan memintal harapan dan impian.
“kita penduduk kampung codet memastikan akan memilih pasangan no 1 !!!” teriak salah satu warga yang diaminkan oleh warga lainnya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H