“kita akan bangun rumah permanen layak huni bagi penduduk kampung codet. Tanpa penggusuran. Tanpa kekerasan. Penduduk kampung codet adalah pahlawan. Pahlawan sampah bagi kota metropolitan ini ! mereka yang menjaga keseimbangan gunungan sampah ini. Mereka juga yang rela menerima berton-ton sampah setiap harinya. Mereka juga yang mendistribusikan sampah-sampah ini untuk dijadikan bahan daur ulang. Tanpa mereka, kota metropolitan ini akan menjadi lautan sampah ! sudah saatnya kita perhatikan kelayakan hidup mereka !!!” suara perempuan itu semakin lantang berkumandang.
Penduduk kampung codet yang mulai berdatangan dan berkerumun berteriak kegirangan. Ibu-ibu berebutan memeluk perempuan itu dan mengelu-elukannya.
Dewi melompat-lompat, “apa aku akan punya rumah gedong tante ?”
Perempuan itu mengangguk, “Dewi dan semua penduduk kampung codet akan punya rumah permanen layak huni. Nggak kehujanan lagi. Nggak kepanasan lagi...”
“dan tidurnya nggak gantian lagi...” perempuan itu melirik Dewi dan disambut teriakan hore hore gadis kecil nan cerdas itu.
***
Angin berhembus mengibarkan poster-poster dan spanduk yang memampang foto para kandidat calon Gubernur kota metropolitan. Berbagai jargon ditulis dengan tinta mencolok. Pun dengan janji-janji yang konon akan ditepati saat mereka telah terpilih nanti.
Dewi berlari menyusuri kampung codet, “tante ini...tante iniiii...ada foto tante iniiii...!!!” teriaknya hingga mengundang penasaran penduduk kampung codet siang itu.
Mereka mengerumuni Dewi yang memegang selembar poster berwarna dasar putih dengan paduan warna pinggirnya biru. Poster itu berisi foto sesosok perempuan cantik dan laki-laki berpeci dengan tampang yang biasa-biasa saja.
“Dr. Miranda Anandari dan Bondan Gito, SH : Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kota Metropolitan : Nomor Urut 1” salah satu warga membaca dengan keras isi tulisan poster tersebut.
“Membangun Tanpa Menggusur dan Kekerasan...berjuang bersama bergandengan tangan dengan rakyat kecil “ salah satu warga melanjutkan membaca