Masih teringat dengan jelas juga, bagaimana media sosial menggemakan kasus Tolikara (pembakaran Masjid) menjadi sebuah pemberitaan yang memicu konflik menjadi lebih besar. Bukan saja menjadi kasus Tolikara saja, tapi juga menjadi kasus antara Islam dan Kristen secara menyeluruh. Bahkan, pada kasus lainnya, pembakaran vihara di Tanjung Balai Sumatera Utara, justru jelas bersumber awal dari postingan status salah satu oknum di media sosial yang pada akhirnya berujung pada peristiwa anarkis di dunia nyata.
Dari semua kasus itu, dapat diambil benang merah, bahwa masyarakat kita belum memiliki kesiapan yang matang menyikapi gempuran teknologi digital yang berkembang dengan sangat pesat. Masyarakat kita belum mampu bersikap bijak dalam menggunakan media sosial dalam berinteraksi. Sehingga media sosial yang seharusnya menjadi media yang bermanfaat justru menjadi media yang berpotensi memicu perpecahan.
FKUB DIGITAL
Meski demikian, bukan berarti pemerintah juga tidak melakukan tindakan apapun. Saat ini, di setiap daerah sudah ada naungan untuk membahas masalah kerukunan umat beragama. Mengingat persoalan agama sangat sensitif dan rawan konflik, maka dibentuklah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang tersebar di setiap daerah.
FKUB ini sendiri merupakan wadah bagi setiap umat beragama untuk saling berinteraksi, berdiskusi, dengar pendapat serta melakukan sosialisasi tentang kerukunan umat beragama pada masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah sebagai media pemersatu berbagai agama untuk menjalin kerukunan dan menjaga persatuan kesatuan bangsa, menghindari perpecahan dan mencegah terjadinya konflik yang disebabkan oleh isu-isu agama.
Dan kehadiran FKUB ini sejauh ini cukup berperan besar dalam menjaga kerukunan umat beragama di daerah. Salah satu contohnya di daerah saya (Serdang Bedagai), dengan kapasitas FKUB yang berperan aktif, hampir tidak pernah terjadi konflik sosial yang disebabkan oleh isu-isu agama. Jika memang ada isu yang berpotensi konflik besar, maka FKUB, pemerintah daerah (kesbangpol) dan pihak-pihak yang terkait secara langsung bergerak aktif memback up situasi dan kondisi sehingga menjadi aman dan kondusif kembali.
Contohnya, jika terjadi konflik agama di media sosial dan berakhir ricuh, maka masyarakat pengguna media sosial akan dapat mendapat pelajaran secara langsung bahwa jika menggunakan media sosial dengan negatif maka akan menimbulkan konflik yang tidak diinginkan, dan masyarakat akan menghindarinya serta belajar dari pengalaman kasus yang pernah terjadi. Selanjutnya akan berlaku teori selektif, dimana masyarakat akan lebih selektif dan membuat filter masing-masing untuk menyaring segala bentuk informasi yang disampaikan di media sosial.
Dalam prosesnya, masyarakat akan belajar bagaimana menggunakan media sosial dengan lebih bijak terutama untuk isu-isu yang sensitif seperti soal isu agama. Masyarakat akan mengerti bahwa jika berpendapat sarkas di media sosial akan berdampak buruk dan menimbulkan konflik.
Tentu saja hal ini tidak akan dapat berjalan sendiri. Dukungan penuh dari pemerintah, Kementerian Agama dan pihak-pihak yang terkait dalam penanganan masalah kerukunan umat beragama mempunyai andil yang sangat besar. Sebab, bagaimanapun kewenangan masuknya segala bentuk media adalah di tangan pemerintah.
Selain itu UU ITE juga harus disosialisasikan secara menyeluruh agar dapat ditegakkan dan menjadi efek jera bagi masyarakat pengguna media sosial yang berlaku menyalahi aturan yang telah ditetapkan.