Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Pemilik Bahu

11 Agustus 2016   15:03 Diperbarui: 11 Agustus 2016   15:17 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan itu menggeliat. Meliuk-liukkan pinggulnya yang ramping. Matanya menari-nari nakal. Tubuh mungilnya sesekali naik turun berusaha menggapai segaris bahu. Bibirnya tak henti tersenyum tanggung. Menyiratkan isyarat agar dapat ditebak oleh sang pemilik bahu. Meski begitu mudah ditebak, tapi sang pemilik bahu tak ingin terburu-buru mengakhiri permainan. Seolah-olah ia tahu bagaimana memenangkan malam ini.

Benar saja, perempuan itu mulai lelah. Namun ia punya cara agar tak kalah begitu saja. Sengaja ia jatuhkan tubuh mungilnya di antara dua garis bahu. Ia begitu yakin dada nan kekar itu akan menangkap dan mendekapnya. Maka disitulah ia akan membius sang pemilik bahu untuk tak melepas tubuhnya.

“kamu minum sudah terlalu banyak dear...” sang pemilik bahu tahu kemana arah ia akan dibawa oleh perempuan itu

Perempuan itu terkekeh, “kenapa Ken...kamu takut ? kamu takut hah ?”

“kita pulang sekarang. Aku antar kamu.” Tegas sang pemilik bahu sambil merengkuh tubuh perempuan itu dan sedikit menyeretnya keluar bar

Perempuan itu berusaha mengelak, “kamu kenapa Ken ? aku tahu kamu juga menginginkannya, iya kan ?!”

“sorry...i can’t...”

Perempuan itu mulai meronta, “munafik kamu ken !” suaranya parau

“aku masih tahu batas.”

“arrrrgghhhh ! jadi untuk apa kamu dan aku ada disini sekarang ? untuk apa ?!

Sang pemilik bahu kembali merengkuh tubuh perempuan itu dan menyeretnya keluar. Tak ada kata-kata terucap lagi. Baginya percuma menjelaskan sesuatu pada perempuan yang sedang kacau. Kacau oleh hasrat yang tak tercapai.

Perempuan itu terus meronta dan mengumpat meneriakkan sumpah serapah. Matanya memerah panas namun raganya dingin. Namun tubuh laki-laki sang pemilik bahu tetap tak terjangkau untuk dilawannya. Perempuan itu tak berkutik hingga masuk ke mobil.

***

“Apa maumu Ken ? Hah ! aku nggak mau kita pulang !”

“Ryu menungguku.” Jawab sang pemilik bahu singkat

Perempuan itu menendang dashboard dengan kesal, “Arrghhhh aku nggak peduli dengan istrimu ! aku cuma ingin malam ini kita bersama Ken...” tangisnya mulai pecah

“Ryu tahu aku bersamamu. Ryu tahu bagaimana aku ingin kebebasan menikmati duniaku....”

“Nah, jadi apa lagi Ken ?! istrimu sudah rela kamu bersamaku !” potong perempuan itu masih dengan kesal

“Karena itu aku tak mau sia-siakan kepercayaannya.” Sang pemilik bahu melanjutkan kata-katanya

Perempuan itu mengernyitkan dahinya. Mata sembabnya tak lagi mampu menutupi kekesalan yang berkecamuk.

“aku tetap nggak mau kita pulang !”

Sang pemilik bahu menghentikan laju mobilnya. Matanya menatap tajam pada perempuan itu. Sesaat kemudian ia menghela nafas dalam-dalam. Tak mungkin ia mengepalkan tangannya meski sudah merasa gerah dengan perempuan itu. Baginya, tak layak jika ia harus melampiaskan amarahnya pada sosok yang menurutnya bukan tandingan. Ia laki-laki dan harus menjadi betul-betul laki-laki.

Sang pemilik bahu merendahkan sedikit sebelah bahunya.

“bersandarlah di bahuku. Kuantar kamu pulang.”

Perempuan itu terkesiap. Ia tak menyangka akan diperlakukan “semanis” ini oleh seorang laki-laki. Perlahan kepalanya bersandar di segaris bahu nan bidang itu. Kekesalannya meluruh oleh rayuan segaris bahu.

Sudah pasti perempuan itu memikirkan banyak hal tentang sosok sang pemilik bahu.

Beruntung sekali Ryu.

Laki-laki sejati.

Adakah laki-laki seperti ini selain dia ?

Maafkan aku...Ken.

Bahu ini terlalu nyaman untuk tempat bersandar....

***

“sudah sampai dear...bangunlah...” sang pemilik bahu menggoyang-goyangkan tubuh perempuan itu perlahan

Perempuan itu membuka matanya. Wajahnya kuyu. Maskaranya meleleh membentuk garis hitam di pipinya. Ia berusaha menyadarkan dirinya.

“thanks Ken...” ucapnya hambar

Sang pemilik bahu tersenyum kecil. Sengaja tak banyak ia menyahut.

Perempuan itu terdiam sejenak lalu beranjak membuka pintu mobil dan keluar. Hatinya masih bergejolak, berharap sang pemilik bahu masih memintanya untuk terus bersandar di bahunya. Namun senyap. Semilir angin malam memaksanya untuk melangkah menjauh.

Sang pemilik bahu melaju mobilnya. Meninggalkan jejak-jejak hasrat dan harapan. Perempuan itu membisu. Entah apa yang kini dirasakannya. Kehilangan. Kekecewaan. Jatuh cinta. Kecemburuan. Hatinya dingin. Sedingin malam itu.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun