Perempuan itu terus meronta dan mengumpat meneriakkan sumpah serapah. Matanya memerah panas namun raganya dingin. Namun tubuh laki-laki sang pemilik bahu tetap tak terjangkau untuk dilawannya. Perempuan itu tak berkutik hingga masuk ke mobil.
***
“Apa maumu Ken ? Hah ! aku nggak mau kita pulang !”
“Ryu menungguku.” Jawab sang pemilik bahu singkat
Perempuan itu menendang dashboard dengan kesal, “Arrghhhh aku nggak peduli dengan istrimu ! aku cuma ingin malam ini kita bersama Ken...” tangisnya mulai pecah
“Ryu tahu aku bersamamu. Ryu tahu bagaimana aku ingin kebebasan menikmati duniaku....”
“Nah, jadi apa lagi Ken ?! istrimu sudah rela kamu bersamaku !” potong perempuan itu masih dengan kesal
“Karena itu aku tak mau sia-siakan kepercayaannya.” Sang pemilik bahu melanjutkan kata-katanya
Perempuan itu mengernyitkan dahinya. Mata sembabnya tak lagi mampu menutupi kekesalan yang berkecamuk.
“aku tetap nggak mau kita pulang !”
Sang pemilik bahu menghentikan laju mobilnya. Matanya menatap tajam pada perempuan itu. Sesaat kemudian ia menghela nafas dalam-dalam. Tak mungkin ia mengepalkan tangannya meski sudah merasa gerah dengan perempuan itu. Baginya, tak layak jika ia harus melampiaskan amarahnya pada sosok yang menurutnya bukan tandingan. Ia laki-laki dan harus menjadi betul-betul laki-laki.