Indonesia kaya. Indonesia memiliki begitu banyak suku budaya dan adat istiadat. Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah dari Sabang sampai Merauke. Indonesia memiliki banyak anak-anak negeri yang mampu mencipta berbagai macam teknologi yang bermanfaat. Indonesia memiliki tidak sedikit potensi wisata yang bisa dibanggakan. Indonesia memiliki seni budaya yang sangat mengagumkan. Indonesia adalah negara yang berbudaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa.
Tidak mudah menciptakan dan menjaga persatuan dan kesatuan bagi sebuah negara yang memiliki begitu banyak budaya dengan karakteristiknya masing-masing. Kebanggaan terhadap nilai budaya sendiri jika tidak dibarengi dengan pemahaman tentang makna toleransi, menghargai dan saling menghormati antar sesama budaya maka akan dapat memunculkan sikap etnosentrisme, yaitu sikap bangga yang berlebihan terhadap budaya sendiri, menganggap bahwa budaya sendiri yang paling benar serta tidak peduli dengan budaya-budaya yang lain. Sikap ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan persatuan dan kesatuan bangsa karena berpotensi besar dapat menimbulkan konflik antar budaya dimana masing-masing budaya saling mengedepankan egoisme terhadap identitas budaya mereka sendiri.
Munculnya sikap etnosentrisme ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya :
- Mindset yang terbentuk
Mindset masyarakat suatu budaya tertentu yang masih menganggap bahwa keberadaan budaya lain akan berakibat pada rusaknya budaya yang sudah ada. Sehingga mereka cenderung saling mencurigai terhadap budaya yang berbeda. Mereka juga menganggap bahwa budaya yang berbeda merupakan ancaman bagi budaya mereka sendiri.
- Tingkat pendidikan yang rendah
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan mereka memiliki cara berpikir yang sempit. Mereka seperti berusaha mengasingkan dan menutup diri dari dunia luar dan kurang bisa menerima segala bentuk hal yang berbeda dengan budaya mereka sendiri.
- Sikap apatis
Sikap ini menjadikan mereka tidak mau mengenal budaya lain sehingga berkesan tidak peduli dan acuh tak acuh.
- Kurangnya sosialisasi
Kurangnya sosialisasi dari pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait mengenai bagaimana mengelola kehidupan berbudaya, bagaimana menciptakan komunikasi antarbudaya yang baik, bagaimana konflik akibat sikap etnosentrisme ini akan berdampak pada konflik yang merugikan serta sosialisasi akan pentingnya pengetahuan budaya di negara yang berpola multiculture.
- Adanya kecemburuan sosial
Kecemburuan sosial ini disebabkan oleh banyak faktor, misalnya pembangunan yang belum merata, fasilitas masyarakat yang minim, akses kehidupan yang timpang, kebijakan-kebijakan yang dirasa tidak memihak, daerah-daerah terisolir dan jarang mendapatkan perhatian, dll. Kecemburuan-kecemburuan sosial ini dapat menyebabkan terjadinya GAP antarbudaya. Jika GAP ini dibiarkan tanpa ada solusi tindakan, maka GAP akan semakin lebar dan jurang kesenjangan akan semakin menjauhkan budaya satu dengan budaya lainnya.
Etnosentrisme yang cenderungmengagung-agungkan budaya sendiri akan membentuk cara pandang yang sempit dan sikap yang anarkis. Tentu saja ini akan menjadi masalah besar bagi bangsa ini terutama dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan yang ada karena dapat memecah belah bangsa dengan mengatasnamakan budaya. Padahal, seharusnya nilai-nilai budaya dapat membentuk sikap-sikap yang santun dan toleran terhadap segala perbedaan.
Wacana etnosentrisme memang berkesan sebagai ancaman bagi bangsa ini, akan tetapi bukan berarti kita tidak bisa mengupayakan untuk mencegah dan menghindari hal tersebut. Banyak cara yang dapat ditempuh agar etnosentrisme tidak berkembang di negara tercinta ini, diantaranya dengan membuka wawasan budaya masyarakat, mengajak masyarakat untuk mengenal budaya-budaya lain, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memperkenalkan budayanya, mengikutsertakan masyarakat untuk dapat berperan aktif menjaga kerekatan budaya, mensosialisasikan tentang pemahaman akan kehidupan berbudaya, bersatu membangkitkan semangat seni budaya, dll.
Dan kalian tahu, semua upaya mencegah dan menghindari etnosentrisme dengan semangat mencintai budaya sendiri tanpa menghilangkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa ada di Taman Mini Indonesia Indah atau biasa kita sebut TMII !
Minggu, 29 Maret 2015, saya bersama dengan seorang teman berkesempatan mengunjungi TMII. Tanpa terasa seharian kami berkutat di area TMII yang sangat luas. Antara kagum, bangga dan terharu berada di TMII. Melihat betapa beruntungnya Indonesia memiliki satu area yang bukan saja memberikan suguhan wisata tapi juga pendidikan dan membuktikan bahwa Indonesia memang benar-benar negara yang kaya akan budaya. TMII memiliki konsep yang sangat cerdas.
Nilai terpenting yang saya tangkap ketika berkeliling dari satu anjungan budaya satu ke anjungan budaya lainnya adalah bagaimana TMII berhasil menciptakan persatuan dan kesatuan diantara beragam budaya yang saling berdampingan. Setiap budaya diberi kesempatan untuk memperkenalkan identitas mereka masing-masing tanpa menghilangkan unsur persatuan dan kesatuan. TMII memperlihatkan dan mengajarkan bagaimana beragam budaya saling hidup berdampingan tapi tetap berprinsip pada satu hal yaitu mereka semua adalah satu kesatuan, Bangsa Indonesia.
saya jatim dia jabar dan kami bangga bisa berfoto di anjungan sumatera barat, TMII memang perekat budaya (sumber:dokpri)
Ketika masuk pintu II TMII saya dikenakan tiket masuk per orang sepuluh ribu. Dari awal yang membuat saya semangat datang ke TMII adalah untuk melihat anjungan-anjungan budaya di seluruh Indonesia. Dan saya beruntung, sebab hanya ke anjungan budaya/daerah saja yang gratis. Lantas saya berpikir, mengapa masuk anjungan budaya daerah tidak dikenakan biaya ? akhirnya saya semakin yakin bahwa TMII memang memiliki konsep dan visi misi untuk melestarikan budaya di Indonesia serta mengajarkan masyarakat untuk mencintai budaya-budaya yang ada tanpa tersekat oleh sikap etnosentrisme. seolah-olah TMII ingin menunjukkan “ini lo Indonesia kaya budaya tapi saling menghormati, saling toleransi dan tidak ada konflik budaya yang dapat memecahbelah bangsa…”. Luar biasa !
Tanpa kenal lelah, saya mengunjungi hampir setiap anjungan budaya daerah hanya dengan berjalan kaki. Diawali dengan mengunjungi Jambi yang bernuansa merah keemasan. Lagi-lagi saya beruntung, karena hari itu tengah digelar pesta pernikahan khas Jambi. Terdengar alunan musik khas Jambi serta kemewahan pelaminan yang membuat saya berdecak kagum.
anjungan jambi dan pelaminan khas jambi (sumber:dokpri)
Dari Jambi saya ke Bengkulu yang terkesan sederhana namun tetap tampil eksotis. Lagi-lagi saya merasa bangga bisa melihat dan mengenal budaya Bengkulu yang sebelumnya belum pernah saya lihat.
Saya melanjutkan lagi ke Sumatera Selatan. Yang khas apalagi kalau bukan Pempek Palembang. Di anjungan ini kita bisa menikmati Pempek yang sangat lezat sambil duduk bersantai memandangi rumah nan besar dan sejuk khas Sumatera Selatan. Sungguh kenikmatan yang tiada duanya.
Beranjak dari Sumatera Selatan menuju ke Riau. Tidak kalah indahnya, Riau juga memiliki rumah khas yang sangat indah. Tatanan atapnya yang bertingkat-tingkat menjadikan rumah khas Riau ini terlihat megah.
Masih dengan kekaguman, saya melanjutkan perjalanan ke Sumatera Barat. Anjungan Sumatera Barat ini sungguh memukau dan terkesan sangat meriah. Ketika berkunjung kesini, tepat ada sebuah acara perkumpulan masyarakat padang dengan tema “perkuat silahturahmi dan bersatu bangun nagari”. Acara ini sungguh sangat menarik. Ada atraksi seni tarian Persembahan yang ditampilkan dengan sangat apik. Saya pun tak kuasa ingin berfoto dengan salah satu penarinya. Dan mereka sangat ramah.
Di salah satu sudut pintu anjungan ini terdapat papan besar yang menerangkan tentang apa saja yang terdapat di anjungan Sumatera Barat ini beserta informasi detil lainnya. Wah, saya jadi banyak tahu budaya Sumatera Barat berkat TMII.
Puas menikmati tarian Persembahan, saya berpindah lagi ke Sumatera Utara. Rasanya anjungan ini sudah tidak asing lagi di mata saya, mengingat saya pernah tinggal di Medan, Sumatera Utara. Dari struktur bangunan rumah adatnya sampai kata-kata Batak Toba membuat saya terkenang dengan Medan. Lucunya, spontan saya berucap dengan aksen Batak saat berada di anjungan ini. TMII mempersembahkan replika kenangan indah saya selama di Medan. Terima kasih TMII.
Setelah menikmati kenangan lama Sumatera Utara, saya melanjutkan lagi ke Aceh. Di sini saya melihat sebuah replika rumah yang disebut “Rumoh Cut Meutia”. Meski tidak terlalu besar sebenarnya cukup indah, namun sayang keindahan itu sedikit terganggu dengan adanya banyak sepeda motor yang diparkir di bawah (kolong) rumah ini. Bahkan saya sempat bingung hendak mengabadikannya, karena yang kelihatan lebih jelas justru deretan sepeda motornya ketimbang bentuk bangunannya. Saya berharap, hendaknya ini menjadi perhatian bagi pihak yang terkait, meski terlihat sepele tapi justru ini bisa mengurangi daya tarik budaya yang ada. Seharusnya, dibuatkan khusus lahan parkir yang aman. Jadi areal anjungan memang khusus untuk menampilkan potensi budayanya saja.
Namun, menariknya, di anjungan Aceh ini saya melihat ada beberapa remaja perempuan yang sedang berlatih menari di sasana panggung “ratouhjari”. Bangga melihat generasi muda yang masih mau melestarikan budaya bangsa.
Dari Aceh saya menuju ke Kalimantan Barat. Di anjungan Kalimantan Barat ini saya sangat tertarik dengan salah satu bangunan nan menjulang tinggi tepat di pintu masuk. Ternyata bangunan sederhana tapi unik tersebut merupakan miniatur rumah adat Baluk yang dimiliki oleh Suku Dayak Bidayuh di Kabupaten Bengkayang Propinsi Kalimantan Barat. Luar biasa, kalau saya tidak berkunjung ke TMII, mungkin saya tidak akan pernah tahu ada rumah adat Baluk tersebut.
Beranjak dari rumah adat Baluk, saya beralih ke Kalimantan Selatan. Anjungan ini menampilkan bentuk bangunan rumah adatnya yang memiliki atap yang cenderung petak. Cukup unik dan berbeda dari rumah adat lainnya.
Selanjutnya saya menuju ke Kalimantan Timur. Rumah adat Kalimantan Timur ini atapnya berukir-ukir cantik mirip sebuah mahkota. Jika masuk ke dalam maka akan ada beberapa patung yang memakai pakaian adat Kalimantan Timur.
Perjalanan menjelajah budaya Indonesia belum berakhir. Kini saya berada di Maluku. Saat itu, di anjungan ini juga sedang diadakan sebuah acara bertajuk “Partangiangan Bona Taon 2015 Keluarga Besar Punguan Raja Siagian Dohot Boru/Berena Dolok Nabolon Se-Jabodetabek”. Hebatnya, meski ini acara budaya mereka, tapi siapapun diperbolehkan untuk menyaksikan.
Meski panas terik cukup menyengat, tapi saya tetap bersemangat. Saya melanjutkan langkah kaki, singgah di Sulawesi Utara. Di atas tugu pintu masuknya saya melihat ada patung burung Hantu dan koridor menuju areal rumah adat. Berdekatan dengan Sulawesi Utara adalah anjungan Sulawesi Tengah.
Kemudian saya lanjutkan lagi ke Sulawesi Selatan yang memiliki bentuk rumah adat yang sangat unik. Atapnya menjulang tinggi dan bawahnya ditumpu oleh batang-batang kayu. Ini termasuk rumah adat yang mudah dikenali karena keunikannya. Luar biasa.
Masih berdekatan dengan Sulawesi Selatan ada Sulawesi Tenggara dengan rumah adatnya yang berdinding kayu dan bertingkat-tingkat.
Meninggalkan Sulawesi, saya menuju ke Nusa Tenggara Timur dan lalu ke Nusa tenggara Barat. Hingga akhirnya sampai di Bali. Kalau Bali, tidak usah ditanyakan lagi, saya yakin siapapun akan langsung mengenali anjungan Bali dengan ciri khas bangunannya.
Di anjungan Bali ini saya disambut dengan patung-patung khas Bali, ukiran-ukiran bangunan khas Bali. Bahkan toilet yang tersedia di anjungan ini juga berarsitektur Bali. Lagi-lagi saya beruntung, karena kala itu tengah diadakan acara lomba menari Bali. Ada beberapa peserta penari yang sibuk mempersiapkan diri dengan mengenakan pakaian khas Bali, dan di panggung pentas para peserta penari dengan indahnya membawakan tari Bali dengan diiringi musik gamelan Bali. Suasana ini benar-benar membawa saya seolah-olah terbang ke Pulau Bali.
Saya sangat kagum dengan para peserta penari Bali ini. Di usia yang rata-rata masih belia ini mereka sangat piawai dalam membawakan tarian Bali. Ini salah satu bukti prestasi anak negeri yang seharusnya kita apresiasi.
Setelah begitu menikmati kesenian Bali yang sangat eksotis, saya lanjutkan lagi perjalanan ke anjungan berikutnya. Alangkah senangnya saya, ternyata anjungan kali ini adalah daerah asal saya yaitu Jawa Timur. Seperti sedang pulang kampung. Saya merasa tidak asing lagi berada di anjungan ini.
Apalagi di anjungan Jawa Timur ini juga sedang berlangsung acara lomba menyanyi lagu Jawa Timur dan pameran promosi produk Jawa Timur. Begitu senangnya, saya tak jarang ikut bersenandung Jawa Timuran, begini petikan liriknya ”ojo maido wong ndesoooo…”.
Kerinduan saya akan kampung halaman semakin memuncak saat melihat bangunan rumah adat Sumenep dan warung lesehan dengan menu makanan khas Jawa Timur seperti Rujak Cingur, Rawon, Pecel, dll. Dan saya pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di anjungan ini sambil menikmati nuansa dan masakan Rujak Cingur.
Teman saya yang asli orang Jawa Barat juga tak kalah antusias. Ia terlihat sangat menikmati setiap anjungan budaya daerah yang dikunjungi. Seperti di anjungan Jawa Timur ini, ia begitu banyak bertanya mulai dari apa itu Rujak Cingur, Sumenep itu dimana, apa arti syair lagu yang terdengar dinyanyikan oleh peserta lomba menyanyi, dll. Saya senang karena itu artinya ia tidak apatis. Ia peduli dan ia membuka diri terhadap budaya selain budayanya.
Setelah beristirahat dan menyegarkan badan, saya berjalan lagi ke anjungan DI Yogyakarta. Tadinya saya membayangkan di anjungan DI Yogyakarta ini akan banyak budaya khas yang ditampilkan. Namun sayang, begitu sampai, saya hanya disuguhi satu stan berjualan Gudeg (makanan khas DI Yogyakarta), selebihnya terlihat sangat sepi pengunjung. Setelah saya tanyakan pada penjaganya, ternyata anjungan ini memang sedang berada dalam tahap renovasi. Baiklah, semoga setelah renovasi selesai DI Yogyakarta dapat menampilkan potensi budayanya yang sangat khas dan terkenal.
Dari DI Yogyakarta beralih ke Jawa Tengah. Berbeda dengan DI Yogyakarta yang sepi, anjungan Jawa tengah ini sangat ramai dan meriah. Terdengar alunan musik Jawa tengah dan joget khas mereka. karena penasaran, saya pun masuk ke salah satu kerumunan orang. Wah, ternyata ada artis Yati Pesek yang selesai menampilkan kesenian Jawa Tengah dan kini sedang dikerubuti pengunjung untuk minta berfoto bersama. Tidak mau kalah, saya juga ikut berjabat tangan dengan beliau dan berfoto.
Puas ikut berjoget dan menikmati alunan musik Jawa Tengah yang cukup menghentak, saya lanjutkan lagi perjalanan. Kini saya sampai di Jawa Barat. Wah, teman saya terlihat sangat gembira karena sampai di anjungan daerah asalnya. Ia juga merasa tidak asing lagi berada di anjungan ini. Mulai dari alunan musik khas Sunda, percakapan orang-orang di anjungan ini menggunakan logat Sunda hingga dengan barang-barang seni khas Jawa Barat seperti alat musik Angklung dan Wayang Golek khas Bogor. Di anjungan ini saya juga melihat beberapa remaja sedang serius belajar menari. Tidak ada kata-kata lain yang bisa terucap selain “saya bangga…”
Dari Jawa Barat saya melompat dulu ke Lampung sebelum akhirnya ke DKI Jakarta. Meski tidak masuk sampai ke dalam, tapi saya cukup senang karena bisa melihat anjungan Lampung dan bangunan rumah adatnya.
Dan akhirnya, saya sampai di DKI Jakarta. Saya dan teman memutuskan hari ini mengakhiri perjalanan keliling daerah dan budaya Indonesia di anjungan DKI Jakarta. Di anjungan ini ada sepasang ondel-ondel yang menjadi salah satu ikon Betawi yang berada di DKI Jakarta. Terdapat juga rumah adat Betawi dan beberapa jenis kuliner khas DKI Jakarta seperti Soto Jakarta, Kerak telor, Soto Mi, dll. Saya sempat mencicipi lezatnya Kerak telor yang dijual seharga lima belas ribu.
Rasanya waktu sehari masih kurang untuk menikmati seluruh wahana di TMII. Anjungan yang saya kunjungi itu saja masih beberapa. Masih ada anjungan daerah budaya lainnya yang belum sempat saya singgahi.
TMII bukan hanya memiliki anjungan daerah budaya saja, ada banyak museum, wahana bermain, wahana flora dan fauna, kereta gantung, kereta api, teater Tanah airku dan Keong Mas, replika peta kepulauan Indonesia dan masih banyak lagi wahana-wahana menarik lainnya yang bisa dikunjungi.
Namun, bagi saya, anjungan daerah dan budaya menjadi daya pesona yang tidak dimiliki oleh lainnya. Konsep budaya ini hanya dimiliki oleh TMII dan benar-benar menjadi trademark TMII. Dari awal, saya sangat antusias melihat keistimewaan anjungan-anjungan setiap daerah tersebut, dan ternyata memang sangat menakjubkan !
Saya banyak belajar budaya-budaya baru yang (barangkali) tidak akan saya temukan di tempat lain selain di TMII ini. Bukan hanya itu, saya juga banyak menyerap nilai-nilai positif dari keberagaman budaya di Indonesia seperti nilai tenggang rasa, saling menghargai, saling menghormati, saling peduli, saling membantu dan saling mendukung satu sama lain.
TMII berhasil menjadi media dimana setiap budaya dapat hidup berdampingan dengan tetap menjadi dirinya sendiri serta mempertahankan identitasnya budayanya masing-masing. Pembelajaran ini secara tidak langsung akan terbawa dan dipraktikkan secara langsung oleh setiap orang di kehidupan yang sebenarnya. Jika demikian, saya optimis TMII mampu menjadi media penangkal terbentuk atau berkembangnya sikap etnosentrisme di negeri tercinta ini.
Silahkan mencintai budaya sendiri dan turut melestarikannya, sebab masyarakat yang berbudaya akan dapat menjaga citra bangsa, dengan catatan tetap menghargai, menghormati, membuka diri terhadap budaya lain, tidak apatis dan tenggang rasa agar terhindar dari sikap etnosentrisme yang justru akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada akhirnya, saya berharap TMII semakin jaya dengan sistem pengelolaan yang lebih baik, semakin jeli melihat, menemukan dan menampilkan potensi budaya Indonesia lainnya yang masih “tersembunyi”. Terima kasih telah menjadi media yang mampu merekatkan budaya bangsa yang beranekaragam dan mendukung upaya meningkatkan pengetahuan tentang budaya di masyarakat dengan cara yang sangat menyenangkan sehingga dapat tetap tercipta persatuan dan kesatuan bangsa.
Dirgahayu Taman Mini Indonesia Indah Ke-40 Tahun !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H