Saya melanjutkan lagi ke Sumatera Selatan. Yang khas apalagi kalau bukan Pempek Palembang. Di anjungan ini kita bisa menikmati Pempek yang sangat lezat sambil duduk bersantai memandangi rumah nan besar dan sejuk khas Sumatera Selatan. Sungguh kenikmatan yang tiada duanya.
Beranjak dari Sumatera Selatan menuju ke Riau. Tidak kalah indahnya, Riau juga memiliki rumah khas yang sangat indah. Tatanan atapnya yang bertingkat-tingkat menjadikan rumah khas Riau ini terlihat megah.
Masih dengan kekaguman, saya melanjutkan perjalanan ke Sumatera Barat. Anjungan Sumatera Barat ini sungguh memukau dan terkesan sangat meriah. Ketika berkunjung kesini, tepat ada sebuah acara perkumpulan masyarakat padang dengan tema “perkuat silahturahmi dan bersatu bangun nagari”. Acara ini sungguh sangat menarik. Ada atraksi seni tarian Persembahan yang ditampilkan dengan sangat apik. Saya pun tak kuasa ingin berfoto dengan salah satu penarinya. Dan mereka sangat ramah.
Di salah satu sudut pintu anjungan ini terdapat papan besar yang menerangkan tentang apa saja yang terdapat di anjungan Sumatera Barat ini beserta informasi detil lainnya. Wah, saya jadi banyak tahu budaya Sumatera Barat berkat TMII.
Puas menikmati tarian Persembahan, saya berpindah lagi ke Sumatera Utara. Rasanya anjungan ini sudah tidak asing lagi di mata saya, mengingat saya pernah tinggal di Medan, Sumatera Utara. Dari struktur bangunan rumah adatnya sampai kata-kata Batak Toba membuat saya terkenang dengan Medan. Lucunya, spontan saya berucap dengan aksen Batak saat berada di anjungan ini. TMII mempersembahkan replika kenangan indah saya selama di Medan. Terima kasih TMII.
Setelah menikmati kenangan lama Sumatera Utara, saya melanjutkan lagi ke Aceh. Di sini saya melihat sebuah replika rumah yang disebut “Rumoh Cut Meutia”. Meski tidak terlalu besar sebenarnya cukup indah, namun sayang keindahan itu sedikit terganggu dengan adanya banyak sepeda motor yang diparkir di bawah (kolong) rumah ini. Bahkan saya sempat bingung hendak mengabadikannya, karena yang kelihatan lebih jelas justru deretan sepeda motornya ketimbang bentuk bangunannya. Saya berharap, hendaknya ini menjadi perhatian bagi pihak yang terkait, meski terlihat sepele tapi justru ini bisa mengurangi daya tarik budaya yang ada. Seharusnya, dibuatkan khusus lahan parkir yang aman. Jadi areal anjungan memang khusus untuk menampilkan potensi budayanya saja.
Namun, menariknya, di anjungan Aceh ini saya melihat ada beberapa remaja perempuan yang sedang berlatih menari di sasana panggung “ratouhjari”. Bangga melihat generasi muda yang masih mau melestarikan budaya bangsa.
Dari Aceh saya menuju ke Kalimantan Barat. Di anjungan Kalimantan Barat ini saya sangat tertarik dengan salah satu bangunan nan menjulang tinggi tepat di pintu masuk. Ternyata bangunan sederhana tapi unik tersebut merupakan miniatur rumah adat Baluk yang dimiliki oleh Suku Dayak Bidayuh di Kabupaten Bengkayang Propinsi Kalimantan Barat. Luar biasa, kalau saya tidak berkunjung ke TMII, mungkin saya tidak akan pernah tahu ada rumah adat Baluk tersebut.
Beranjak dari rumah adat Baluk, saya beralih ke Kalimantan Selatan. Anjungan ini menampilkan bentuk bangunan rumah adatnya yang memiliki atap yang cenderung petak. Cukup unik dan berbeda dari rumah adat lainnya.
Selanjutnya saya menuju ke Kalimantan Timur. Rumah adat Kalimantan Timur ini atapnya berukir-ukir cantik mirip sebuah mahkota. Jika masuk ke dalam maka akan ada beberapa patung yang memakai pakaian adat Kalimantan Timur.
Perjalanan menjelajah budaya Indonesia belum berakhir. Kini saya berada di Maluku. Saat itu, di anjungan ini juga sedang diadakan sebuah acara bertajuk “Partangiangan Bona Taon 2015 Keluarga Besar Punguan Raja Siagian Dohot Boru/Berena Dolok Nabolon Se-Jabodetabek”. Hebatnya, meski ini acara budaya mereka, tapi siapapun diperbolehkan untuk menyaksikan.