Mohon tunggu...
Ayyu Fityatin
Ayyu Fityatin Mohon Tunggu... Penulis - Mom of Two. Engineer. Writer.

Engineer. Book Lover. B Type.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Regenerasi di Sektor Pertanian

19 Mei 2019   21:51 Diperbarui: 19 Mei 2019   22:05 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangankan anak kami, saya pun tak mau jadi petani kalau masih ada pekerjaan lain."

Pernah mendengar hal serupa dari orang terdekat atau tetangga kalian yang berprofesi sebagai petani? 

Dalam laporan hasil survey LIPI pada tahun 2017, tercatat petani dengan rentang usia 45 - 50 tahun, hanya 3% anak yang mengikuti jejak orang tuanya sebagai petani. Kecilnya angka ini disebabkan karena nasib petani selama ini kurang menguntungkan. 

Bahkan banyak diantara alumni sekolah pertanian, yang sebenarnya digadang-gadang bisa memajukan sektor ini, justru lebih memilih berkarya di bidang lain. Impian dan idealisme tentang ilmu pertanian agaknya terbentur dengan kenyataan bahwa profesi petani penuh dengan ketidakpastian. Tidak menguntungkan secara ekonomi. 

Menurut Peneliti Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef) Imaduddin Abdullah, berdasar sensus terakhir pada 2017, rata-rata pendapatan petani di Indonesia hanya mencapai Rp12,4 juta per hektar per tahun. Dari situ kita bisa mendapatkan rata-rata jumlah pendapatan per bulan yaitu Rp1 juta. 

Angka yang lebih kecil jika dibandingkan dengan UMR terendah tahun 2019 (DIY), yakni Rp. 1.570.922 (Liputan 6, 2019). Sangat wajar jika generasi muda banyak yang tidak lagi berminat untuk menjadi petani, pun yang notabene anak petani. Mereka telah melihat sendiri orang tua mereka merana, berjibaku di sawah, penuh peluh, penuh lumpur tanpa penghasilan yang pasti. 

BPS melansir, pada 2017 pekerja di sektor pertanian berjumlah 35,9 juta jiwa. Di tahun berikutnya,  2018, menurun hingga 35,7 juta jiwa. Terjadi penurunan 1% dari total jumlah petani yang ada di tahun 2017. Hal yang sama juga dengan lahan pertanian. Luas lahan pertanian telah turun menjadi 7,1 juta hektar dari sebelumnya 7,75 juta hektar dalam periode yang sama. Menurut Kepala BPS, penurunan  jumlah petani ini adalah kondisi yang wajar.  

Para pekerja sektor pertanian ini ingin mencari penghidupan yang lebih layak sehingga memutuskan untuk berhenti bertani. Sementara itu, penurunan luas lahan pertanian disebabkan karena alih fungsi lahan yang sangat massif untuk proyek-proyek industri, jalan tol maupun properti. 

Perlu upaya yang tegas untuk regenerasi di bidang pertanian. Anak muda saat ini semakin  kritis dan praktis. Di zaman serba online seperti sekarang, hanya dengan bermodal handphone android, mereka bisa menghasilkan uang. Berbagai jenis usaha kreatif telah terbuka peluangnya untuk berkembang menjadi profesi yang diakui.

Bertolak belakang dengan petani. Generasi muda tentu akan berfikir seribu kali untuk menjadi petani. Bayangkan saja, menjadi petani berarti harus bisa membaca bahasa alam, harus mampu mencari celah pasar dan bersiap dengan tidak pastinya harga hasil panen. Cuaca bisa saja berubah sewaktu-waktu, hama dan penyakit baru bisa datang tiba-tiba. Belum lagi jika mendadak impor beras bergulir hampir dekat masa panen. Menjadi petani itu berat. 

Lantas Apa yang bisa dilakukan untuk membuat generasi muda tertarik dengan sektor pertanian? 

  1. Menghadirkan kondisi yang lebih pasti di sektor pertanian                                     

Sepanjang karirnya, petani di Indonesia bergelut dengan alam, ketidakpastian harga dan akses pasar yang terbatas. Tiga hal ini seringkali berujung pada tidak seimbangnya pengeluaran dan pendapatan rumah tangga petani. Misalkan petani padi, untuk merawat bibit padi hingga mencapai masa panen dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan. 

Biaya perawatannya tidak sedikit, mulai dari benih, pupuk, air hingga pekerja. Itu jika padi tumbuh sehat tanpa halangan. Jika padi terserang hama tentu akan berbeda pengluarannya. Ketika datang masa panen dan ternyata harga gabah turun, petanipun jatuh. Belum lagi ditambah akses pasar yang sempit sehingga tak jarang itu membuat mereka menyerah pada keadaan : hutang. Bukan hanya untuk keperluan sehari hari tapi juga untuk tutup lubang hutang yang sebelumnya untuk merawat padi. Akhirnya, bukan untung, tapi buntung di dapat. 

Bila memang mereka menanam padi hanya untuk menunggu kerugian, kenapa mereka harus memulainya? Bisa jadi itulah yang dipikirkan anak-anak muda sekarang dengan rasionalitasnya.                           

Pemerintah dengan kebijakannya memegang peranan penting untuk mengurai keruwetan sektor pertanian. Pemerintah bisa mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. 

Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen. Kemudian, mengatur kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Misalkan untuk tataniaga beras, BULOG tentunya bisa berperan strategis untuk pemerintah menjalankan kebijakannya. Selama ini terkesan bulog tidak terlalu banyak membantu petani. Bahkan harga yang ditentukan badan pemerintah ini seringkali dianggap terlalu rendah oleh petani. Alih-alih menjual ke Bulog, banyak diantara petani ini yang justru menjual ke pihak lain yang mau menghargai lebih tinggi.

2. Membekali dengan ketrampilan          

Menjadi petani berarti menjadi seorang manajer, mereka harus mangatur usaha tani mereka. Petani bukan pegawai yang sedang menunggu perintah atau deskripsi pekerjaan yang harus mereka lakukan dari atasan. Mereka bukan buruh yang melakukan satu kerja yang sama berulang-ulang sejak pagi hingga sore. Mereka harus bisa mengamati beraneka aspek yang berhubungan dengan kerja mereka. 

Mereka harus tahu tanaman apa saja yang cocok dengan jenis lahan yang akan mereka kelola, alat apa saja yang dibutuhkan, berapa biaya dibutuhkan untuk bibit dan alat itu, serta berapa besaran tenaga yang dibutuhkan bila semua itu sudah diketahui. Di luar itu mereka harus tahu tabiat musim atau pranoto mongso dalam masyarakat jawa dan bisa menimbang-nimbang sejauh mana kerabat dan tetangga dapat diharapkan untuk membantu. Setelah itu, mereka juga harus tahu ke mana hasil panen bisa dijual dengan keuntungan terbaik.                                 

Semua aspek yang disebutkan di atas juga senantiasa berubah. Cuaca bisa menjadi ekstrem atau mengubah jadwal kebiasaannya, tanah bisa kena longsong atau genangan banjir. Tetangga atau kerabat bisa saja sedang ada keperluan lain atau bahkan sakit tepat pada hari-hari ketika bantuan mereka dibutuhkan. Hama dan penyakit baru bisa juga datang tiba-tiba. Harga bisa jatuh dan tanaman lain malah sedang banyak permintaan. Bibit bisa langka ketika musim tanam tiba, dan masih banyak hal lainnya yang mungkin saja terjadi. 

Semua pengetahuan itu penting bagi petani untuk menyusun rencana, menjalankan rencana itu, memonitor dan mengevaluasi hasil kerja mereka sendiri. Hasil analisa dari gabungan sekian banyak faktor juga membantu mereka melakuan penyesuaian yang dibutuhkan. Dan siklus ini biasanya berlangsung terus-menerus. 

Jadi, untuk mencemplungkan diri ke dalam usaha tani, dibutuhkan keterampilan dan pengetahuan mengkhusus dan mendalam sesuai kebutuhan usaha tani yang akan dijalankan seorang petani. Penyuluhaan yang selama ini diberikan harus tetap dilanjutkan, tapi penyuluhan harus dilakukan secara menyeluruh, artinya bukan hanya "bagaimana agar produk yang dihasilkan baik", tapi juga pada keberlangsungan lahan yang digunakan bagaimana merawatnya agar tetap subur.                                              

Selama ini keterampilan dasar ini seringkali hanya didapatkan secara otodidak, baik dari orang tua, kerabat atau teman sesama petani. Semakin hari, pemilik ilmu inipun semakin langka sehingga dikhawatirkan keberlanjutannya di masa depan. Pada sisi lain, sebenarnya ilmu dan keterampilan ini juga sudah diajarkan secara khusus di berbagai sekolah-sekolah pertanian dan fakultas-fakultas pertanian di berbagai perguruan tinggi. Sayang sekali justru tidak banyak alumni sekolah seperti ini yang kemudian benar-benar menjadi petani.

3. Memberikan beasiswa di bidang pertanian

Ada 500 SMK Pertanian dari sekitar 8000 SMK yang ada di Indonesia (Kompas, 2011), Kebanyakan SMK lebih menyasar pada jurusan otomotif, computer atau perhotelan. Meski kecil, adanya SMK pertanian patut disyukuri. Selain itu di tingkat perguruan tinggi keberadaan fakultas pertanian juga hampir selalu ada di tiap universitas, bahkan ada yang secara khusus memelajari pertanian seperti Institut Pertanian Bogor (IPB). 

Organ pendidikan pertanian memang banyak kita miliki, hanya saja kondisi sektor pertanian yang terlihat suram mengendurkan semangat para pemuda untuk belajar di bidang itu. Diperlukan berbagai program yang bisa menarik minat mereka ini untuk kembali ke pertanian. Bisa dengan memberikan beasiswa khusus di bidang pertanian atau dengan program-program magang. 

4. Memperkenalkan pertanian sedini mungkin

Walaupun faktanya petani seringkali tidak jelas nasibnya, tetapi yang jelas : lahan pertanian masih menjadi tujuan wisata alternatif masyarakat. banyak agen wisata yang menampilkan suasana persawahan yang indah untuk menarik calon wisatawannya. Ini bisa dibaca sebagai ketertarikan masyarakat pada dunia pertanian masih banyak. Dalam permasalahan ini, faktor ketertarikan masyarakat bisa menjadi jalan untuk mengajak mereka kembali pada pertanian. 

Masih ada waktu untuk membuat anak-anak itu tertarik terhadap pertanian, yakni dengan melakukan tour ke sawah-sawah. Anak-anak biasanya begitu menyukai lumpur dan air, mengajak mereka melihat keindahan alam sekaligus memperkenalkan profesi petani dan kelebihannya akan memberikan kesan tersendiri untuk mereka.

Tentu ada lebih dari empat poin untuk menaklukkan hati milenial saat ini agar tertarik dengan pertanian. Sebenarnya titik tekannya adalah pada kesejahteraan petani itu sendiri, karena letak ketidaktertarikan itu ada pada nasib petani yang masih kurang menguntungkan. 

Namun jika itu masih sangat sulit untuk dilakukan, akan lebih baik para generasi muda ini tak lagi melihat pertanian dari bagaimana kerasnya orang tua mereka berkecimpung di dalamnya. Mereka bisa menciptakan dunia pertanian dengan arah baru yang lebih progresif. Meski belum seviral Gojek dalam perkembangannya, aplikasi semacam @tanihub @carisayur @sayurbox serta situs-situs penjual hasil tani para petani semacam kebunsayursurabaya patut di apresiasi dan didukung penuh oleh pemerintah. Dengan adanya aplikasi atau situs tersebut menunjukkan jika geliat dunia pertanian dengan arah baru sudah mulai tumbuh pada generasi muda. 

Note: Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba menulis Kementerian Pertanian Agri Writing Competition 

#kategoriumum #pertanianindonesiamaju

Sumber: 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun