Setiap orang tua pasti mendambakan memiliki buah hati yang sempurna. Sempurna dalam arti fisik terlahir normal dan tumbuh sehat. Aku pun begitu, ketika pertama kali melihat hasil testpeck dua garis merah. Sungguh aku sangat bersyukur dan kujaga janinku sebaik mungkin.Â
Di sela-sela kesibukanku berkerja. Aku sempatkan untuk ikut senam kehamilan, kelas mathernity, gabung ke komunitas ibu hamil sampai browsing artikel.
Namun siapa yang bisa menerka jalan hidup. Saat kehamilanku masuk trimester kedua aku terinfeksi virus rubella. Aku bisa melawan virus itu, tapi tidak dengan janinku.Â
Saat itu dokter menceritakan  dampak dari virus rubella umumnya janin akan terlahir dalam kondisi cacat, tuli, buta, kelainan jantung, retardasi mental.
Seketika buliran bening di mataku menyeruak dari sudut mata, isakanku pecah. Suamiku memelukku erat. Dia membesarkan hatiku, "Tuhan pasti punya rencana indah untuk kita," katanya terbata sambil mengusap air matanya yang ikut tumpah.
Moment kelahiran pun tiba. Kudengar tangisan bayiku untuk pertama kalinya. Selang kemudian dokter menggendong bayiku dan menaruhnya di dadaku, sembari berkata, "Selamat atas kelahiran putranya,bu." Aku hanya mengangguk disertai derai air mata. Suamiku mengecup keningku hangat dan menggenggam tanganku. Kami saling menguatkan.
Setelah menjalani masa perawatan pasca melahirkan dokter mengijinkanku pulang. Sebelum pulang ia menjelaskan sejauh ini kondisi kesehatan bayiku baik. Namun aku harus intensif memeriksakan bayiku karena perjalanan masih panjang masih ada kemungkinan buruk yang menghadang di depan sana.
Kami memberikannya nama Gilang Harjita yang memiliki arti anak lelaki yang kuat dan kelak memberi manfaat bagi sesamanya.
Bulan berganti kulalui dengan perasaan entah.Â
Sejauh pemeriksaan kemarin kondisi fisik seperti organ dalam, juga panca indera dan perkembangan otaknya semua dalam kondisi baik.
Tepat di usianya masuk empat bulan. Aku harus menerima kenyataan dengan lapang dada. Saat aku membawa bayiku untuk imunisasi lanjutan. Dokter memvonis pendengaran anakku tidak berfungsi. Buliran bening mengalir deras dari sudut mata. Suamiku menggenggam tanganku. Kulihat wajahnya menegang menguatkan diri agar air matanya tidak mengalir.
Hari berganti bulan berlalu Gilang tumbuh sehat dengan keaktifan sama seperti anak lain. Rasa ingin tahunya  besar, ia bertanya ini dan itu. Hingga satu hari Gilang bertanya padaku, "Bu, suara itu apa?"