Mohon tunggu...
Fiahsani Taqwim
Fiahsani Taqwim Mohon Tunggu... Penulis - :)

Penganut Absurditas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Laknat

24 April 2021   08:41 Diperbarui: 24 April 2021   08:43 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedari kecil hidupku biasa-biasa saja. Aku belum pernah mengalami masalah-masalah berat seperti para temanku. Misalnya Carisa, yang keluarganya hancur karena perceraian orang tuanya. Si Udin, yang ketika SD hingga SMA bingung menentukan keyakinan lantaran ibunya seorang muslim, sedangkan ayahnya pemeluk katolik. Ada juga Lucky, yang namanya tak seapik nasibnya. Dia terlahir dari keluarga melarat. Ayahnya adalah seorang penjual es keliling, dan ibunya bekerja serabutan. Lucky harus rutin menghadap kepala sekolah untuk meminta keringan uang sekolah.

Hidupku tidak pernah sekacau mereka. Ya bisa dibilang aku lebih beruntung dibandingkan mereka. Aku sangat bersyukur. Alhamdulilah. Hingga pada saat usiaku tiga belas tahun, aku mulai menyadari bahwa ada kecacatan parah dalam hidupku. Rupanya hidupku ini tidak sesempurna yang kubayangkan.

Dan letak ketidaksempurnaan hidupku itu ada pada ibuku.

Aku tiba-tiba menemukan beberapa fakta mengejutkan tentang ibuku. Sejak saat itu, rasa tidak sukaku pada ibu tumbuh. Aku menjadi benci akan segala hal yang berkaitan dengan ibuku. Pekerjaannya, gaya berbicaranya, masakannya, pilihan busananya, teman-temannya, bahkan aku pun membenci diriku sendiri lantaran aku anaknya.

Selama hidupku, aku tidak banyak melibatkan ibu dalam peristiwa-peristiwa penting. Ketika pertama kali aku menstruasi, orang yang dengan sabar mendampingiku mengatasi kepanikanku atas keluarnya luberan darah kotor dari organ intimku adalah Lik Riha. Dia merupakan adik ayahku. Lik Riha adalah tempatku berkeluh kesah. Dari Lik Riha juga aku perlahan mulai mengerti betapa menyebalkannya perangai ibuku.

"Nduk, ibumu itu ndak paham juga ya. Sudah hampir dua puluh tahun jadi istri ayahmu, masih ndak ngerti aja kalau ayahmu itu ndak suka makan ikan air tawar." Katanya.

Aku tidak memungkiri, ibuku memang tidak jago masak. Kemampuan memasaknya sangat menyedihkan. Ditambah lagi ibuku itu orangnya tidak mau belajar. Jadi hasilnya ya, masakannya tidak bervariasi. Aku hitung menu andalannya hanya empat : soto, ayam krispi (yang dimasak ibu untuk adikku saja, karena ayahku dan aku tak suka), sayur toge kuah kecap, dan ikan lele atau mujair goreng.

Ibuku tidak berusaha untuk memasak makanan yang disukai oleh semua anggota keluarga. Ibu hanya memasak makanan yang disukainya dan apa yang menurutnya praktis. Ujung-ujungnya, ayahku yang harus sering mengalah. Ayah punya beberapa penyakit kronis sehingga tidak boleh sembarangan makan. Harus berhati-hati. Akibatnya, ayahku terkadang hanya makan nasi putih tanpa lauk dan hanya ditemani dengan kerupuk.

Menyaksikan ayahku dengan gaji bulanan yang sebetulnya sangat cukup untuk makan dengan menu yang lebih layak adalah sebuah ironi. Duh ibu, apa salah ayahku sehingga ibu tega membiarkannya hanya makan nasi putih dengan kerupuk. Sementara ibu kerap dengan enaknya makan fastfood yang harganya tidak murah. Apa ibu lupa kalau uang makan itu adalah hasil kerja keras ayah?Di mana hati nurani ibu????

Aku sensitif sekali jika ada hal yang menyangkut ayahku. Itu karena aku sangat mencintainya. Ayahku adalah pria yang baik, pengertian, mengayomi keluarga, serta penyabar. Beruntungnya ibuku bisa bersuamikan ayahku. Minta ini itu dikabulkan. Apa keperluan ibu pasti diutamakan. Namun aku tidak melihat adanya balasan ibu untuk ayahku. Menurutku, semakin ibu dimanja semakin melonjak pula sikapnya.

Akhir-akhir ini ibuku sering pergi bersama teman-temannya dan pulang larut malam. Ibu juga kian berani membantah perkataan ayah. Ibuku nampaknya melupakan tugas primernya sebagai seorang ibu sejati. Hal itu membuatku geram, gelisah, marah, dan berduka. Aku pergi ke rumah Lik Riha untuk menceritakan semuanya.

"Ya begitulah ibumu, memang egois."

"Terus kenapa ayah tidak mengingatkan ibu."

"Karena ayahmu sangat mencintai dan menghormati ibumu."

Aku diam. Berpikir. Bagaimana bisa wanita macam ibuku itu mendapatkan cinta yang begitu besar dari ayahku. Setahuku ibu tidak pernah berkorban ataupun melakukan hal besar demi ayahku. Jangankan melakukan hal besar, hal sepele seperti memasak menu masakan yang cocok untuk ayahku saja ibu keberatan.

Aku ingat ibu beberapa kali berkata "Ayah,  nanti makan di luar saja ya, atau suruh si Ani beli kerupuk. Hari ini aku masak soto ayam saja, biar gampang dan cepat. Aku harus pergi arisan dengan teman SMP."

Ya terus kenapa ibu tidak coba untuk masak menu lain yang juga simple. Kan bisa masak telur dadar, atau apalah yang dapat dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, terutama ayahku.

Tak berhenti di situ, sering kudapati pemandangan di mana ayahku sedang mencuci baju atau piring sedangkan ibuku asyik dengan sinetron India kesukaannya. Kenapa sih ibuku tidak melaundry saja atau membayar orang untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Aku yakin ayahku pasti mampu mempekerjaan seseorang untuk menjadi asisten rumah tangga.

Andaikan aku tidak pergi merantau untuk menuntut ilmu, biar aku saja yang mengambil alih pekerjaan rumah. Setiap hari aku terbayang akan wajah ayahku yang menua serta rambutnya yang semakin memutih. Aku juga membayangkan perlakuan semena-mena ibuku. Sungguh miris hatiku melihat kenyataan ini. Ingin sekali aku bertanya pada ayahku: Yah, bagaimana rasanya punya istri seperti ibu? Kalau ayah sudah tidak kuat, ya sudah ceraikan saja. Tapi apalah daya, ayah akan selalu memuja ibu. Ayah mencintai ibu dengan segenap jiwanya.

Setibanya di rumah setelah pulang menemui Lik Riha, kudapati ibu sedang menikmati sinetron India kesukaannya. Kulirik meja makan. Tidak ada masakan yang tersaji, kaleng kerupuk pun kosong. Sebentar lagi ayah dan adik-adikku pulang. Lalu mereka mau makan apa?? Kok bisa-bisanya ibuku malah sibuk dengan sinetron dalam situasi seperti ini.

Sangat ingin aku menghardik perempuan yang telah melahirkanku ini. Dasar goblok, payah, egois, tidak punya perasaan. Kamu itu ibu macam apa!!! Istri macam apa!!!. Aku benci kamu. Aku benci jadi anakmu Bu... Aku benci. Enyah saja sanaaa...!!

"Ibu hari ini masak apa?" Syukurlah hanya itu yang keluar dari bibirku

"Ndak, kita beli makan di luar saja ya." Katanya sembari tersenyum.

Aku tiba-tiba teringat nasihat Lik Riha. Seburuk apapun dia itu tetap ibuku. Orang yang pernah berjuang mati-matian demi keselamatan hidupku. Wanita yang kubenci itu adalah ibu yang melahirkan dan menyusuiku. Tapi, bukankah tugas seorang ibu tidak cukup sampai pada melahirkan dan menyusui saja??? Agaknya setengah hatiku masih tidak terima

Ya Allah ya Tuhanku, ampuni dan tolong aku. Aku tidak mau jadi anak durhaka. Aku pun tak akan mampu menanggung laknatmu. Aku ngeri membayangkan apabila sewaktu-waktu laknat Tuhan akan datang padaku karena aku durhaka. Oleh karena itu, aku harus berusaha memuliakan ibuku sebisa mungkin. Entah sampai kapan aku bisa menahan. Yang jelas aku masih sangat ketakutan akan laknat Tuhan.

                                                                                      

YK 27/01/16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun