Mohon tunggu...
Fiahsani Taqwim
Fiahsani Taqwim Mohon Tunggu... Penulis - :)

Penganut Absurditas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Berulang

27 Maret 2021   08:23 Diperbarui: 27 Maret 2021   08:29 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 "Total biaya seluruhnya hampir 33 juta. Akan tetapi semua sudah tercover oleh dana BPJS Mbak." Kata salah seorang petugas rumah sakit.

Aku bernapas lega mengetahui fakta itu. Setidaknya kami tidak harus mengeluarkan uang sebanyak itu saat ini. Mama sudah lima tahun divonis sakit jantung. Hal itu membuat kami harus pontang-panting mencari uang tambahan untuk biaya keluar-masuk rumah sakit. Tidur mama tidak tenang setiap malam. Mama berkata padaku bahwa betapa takutnya dirinya menghadapi kematian.

"Mama banyak dosa Mei. Hidup Mama tidak pernah lepas dari kenistaan."

"Ma, besar tidaknya dosa manusia hanya Tuhan yang tahu. Kita tidak akan pernah bisa memahami urusan itu." Kataku menghibur mama di suatu dini hari.

"Mama bersalah Mei. Mama telah menyakiti para istri lelaki-lelaki itu."

"Sudahlah  Ma. Ayo lekas tidur."

Mama merasa begitu berdosa karena telah menjadi wanita simpanan para lelaki kaya yang kurang iman. Sudah tidak terhitung berapa banyak lelaki yang dia tiduri dan menidurinya. Mama tidak punya pilihan lain. Mamaku adalah seorang janda beranak tiga yang ditinggal begitu saja oleh suaminya. Maka, dengan bermodal tubuh indah dan kulit mulus, Mama yang tidak memiliki keterampilan apa pun merelakan dirinya untuk menjadi perempuan simpanan.

Mama berhasil menghidupi ketiga anaknya dengan baik. Kami makan dan bersekolah dengan layak. Aku dan kedua kakak perempuanku lulus SMA dengan uang pemberian dari para lelaki yang dikencani Mama. Keinginan Mama adalah menyekolahkan aku dan kakak-kakakku dengan baik agar kami bertiga tidak berujung dengan menjadi perempuan seperti dirinya.

Akan tetapi, keinginan Mamaku itu belum terwujud hingga detik ini. Sial sekali memang nasib Mamaku, ketiga putrinya yang telah dengan susah payah dihidupi akhirnya memiliki kisah yang sama dengannya: yaitu menjadi pelacur, sekaligus gundik. Aku dan kedua kakakku sejak kecil terbiasa melihat Mama pulang dengan keadaan setengah mabuk diantar oleh banyak lelaki dengan mobil mewah. Mama bersolek serta memakai pakain yang indah dan berbau harum. Mama menimpa rambut hitamnya dengan pewarna kosmetik berwarna biru muda. Tidak seluruhnya, hanya beberapa helai saja. Jika diamati, segala penampilannya itu tampak mirip dengan perempuan kelas atas. Tidak ada yang akan mengira jika Mamaku adalah seseorang yang mencari uang dengan cara menjadi perempuan gelap.

Entah mengapa dan bagaimana, aku dan para kakakku menyukai gaya Mama. Kami begitu mengidolakan Mama sehingga kami bertiga meniru setiap tingkahnya, termasuk mengikuti jejaknya sebagai seorang pelacur.

"Apa kamu bangga Meira menjadi seorang sundal seperti aku?" Mama menamparku keras sekali malam itu saat aku baru pulang berkencan dengan seorang tentara muda yang telah beristri di kotaku.

"Memangnya kenapa Ma? Apa yang salah dengan menjadi pelacur, atau istri gelap?"

"Stop. Cukup. Diam kamu Mei. Jangan sembarangan bicara. Pelacur itu bukan profesi. Itu adalah sebuah kehinaan, sama seperti koruptor, maling, juga penipu."

"Enggak Ma. Pelacur itu tidak seburuk itu. Kita bekerja untuk menghibur dan menyenangkan orang. Aku dibayar untuk menjadi pendengar keluh kesah para lelaki yang kesepian karena istrinya terlalu sibuk bekerja atau mengurus anak mereka, sehingga mereka lupa untuk memperhatikan suaminya. Itu pekerjaan yang mulia apabila didasari dengan niat yang baik!"

Mama semakin berang mendengar penjelaskanku. "Tidak ada wanita penjual diri yang mendasarinya dengan niat baik, dasar anak bodoh!"

Mama menghajarku habis-habisan malam itu. Apa saja yang ada di dekatnya dilemparkan padaku. Mulai dari bantal, guling, pensil alis, benang jahit. Mama juga mencubit dan mejambakku dengan sadis. Aku tidak menyangka Mama akan semarah itu melihat pilihanku yang ingin mengikuti jejaknya.

Mama tidak pernah mengerti, meskipun aku dan kakak-kakak telah mengantongi ijazah SMA, tidaklah mudah bagi kami untuk mendapatkan pekerjaan di kota ini. Reputasi Mama sebagai seorang wanita tunasusila telah tersebar di seluruh kota kecil ini dan menyebabkan para putrinya tidak diterima oleh masyarakat. Jika kami mendapat tawaran pekerjaan, itu pasti sebagai pemandu karoke, penjaga warnet, sales promotion girl, atau pelayan kafe. Kami kesulitan mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan toko atau restoran, serta admin di beberapa perusahaan kecil d kota kami.

"Ma, daripada aku menjadi SPG rokok yang setiap saat menjajakan barang dagangan kami pasti dipandang sebelah mata oleh orang-orang sekitar, lebih baik aku jadi pelacur sekalian. Penghasilanku akan jauh lebih besar." begitu ujar Medina, kakakku yang paling tua saat ia baru saja diterima bekerja sebagai seorang SPG.

Mama langsung marah besar mendengar perkataan Medina dan mereka pun bertengkar hebat. Selepas pertengkaran itu, Medina yang sakit hati segera pergi dari rumah dan tidak pernah pulang lagi. Dia sempat menghubungiku dan menyampaikan bahwa dia telah pindah ke Surabaya dan mulai membangun karirnya sebagai pelacur. Medina juga berkata padaku bahwa ia telah sangat dekat dengan seorang petinggi sebuah pabrik makanan ringan di Surabaya. Medina tidak berharap dapat diperistri oleh lelaki tersebut, akan tetapi ia berpeluang untuk mendapatkan uang bulanan tetap darinya. Itu saja sudah sangat cukup bagi seorang perempuan, yang walaupun dengan ijazah SMA namun tidak memilki semangat dan keterampilan bekerja macam Medina.

Nasib kakakku yang berikutnya, yaitu Mareta juga mirip-mirip saja dengan nasib Mama dan Medina. Dia menjadi simpanan seorang pegawai bank swasta di kota kami. Tidak hanya itu, Mareta juga berani meminta penghidupan kepada seorang anak juragan ayam yang rencananya bakal maju menjadi calon legislatif. Mareta bahkan sudah diangkat berbagung menjadi tim sukses. Dengan mengencani kedua pria tersebut dalam kurun waktu hampir empat tahun, Mareta telah berhasil memilki rumah kecil yang terletak tidak jauh dari rumah Mama. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kehidupan kedua kakakku itu.

Sekarang, hanya aku anak Mama yang tersisa. Sebagai anak terakhir yang tidak pernah meninggalkan Mama, aku merasa harus memuliakan Mama lantaran hanya akulah satu-satunya harapanya saat ini. Aku sendiri yang setia mendampingi Mama di masa-masa sakitnya sementara kedua kakakku tidak begitu risau dengan hal ini.

"Meira, Mama minta maaf. Mama tidak mampu memberikan kehidupan yang baik untuk kamu."

Padahal aku sudah melakukan apa saja untuk membuat Mama dapat tidur pulas malam ini. Akan tetapi, dia tak kunjung memejamkan matanya. Rupanya Mama masih tenggelam dalam masa lalu.

"Ma, sudahlah. Buat Meira, Mama adalah ibu terbaik di dunia."

 "Enggak Mei. Mama yang telah menjadikan kalian bertiga sebagai pelacur. Sejak kalian kecil, Mama selalu memberi contoh kepada kalian tentang bagaimana cara menjadi pelacur. Itu kesalahan besar dalam hidupku Mei." Mama berkata sambil terisak.

Kali ini Mamaku benar. Aku sangat setuju dengan pendapatnya. Bagaimana mungkin aku dan kakak-kakakku tidak terinspirasi untuk menjadi sundal apabila bukan Mama kami yang mengajarkan. Mama setiap hari memamerkan kepada kami perihal penghasilan dan capaiannya dengan menjadi seorang pelacur. Mama berterus terang kepada para putrinya jika dia tidak pergi bersama para lelaki tersebut, maka kami terancam tidak bisa makan dan membayar keperluan sekolah. Tidak cukup sampai di situ, Mama juga sering membawakan kami mainan dan beberapa pakaian baru sambil mengatakan kepada kami jika itu adalah pemberian dari lelaki-lelakinya. Sejak aku dan kedua kakakku masih kecil, kami selalu mendapatkan doktrin bahwa menjadi seorang pelacur adalah pekerjaan yang tidak berat. Tidak butuh keahlian apapun kecuali berdandan yang cantik, melakukan seks, dan merayu. Pendapatan seorang pelacur adalah bergantung pada seberapa piawai ia merayu dan memuaskan kebutuhan seksual para lelakinya. Itu adalah satu-satunya pelajaran hidup yang Mama wariskan kepada putri-putrinya.

Aku pribadi ingin menjadi pelacur yang lebih baik daripada Mama dan kedua kakakku. Aku ingin menjadi pelacur yang cerdas dan berkelas. Aku ingin menjadi pelacur yang hanya ditiduri dan meniduri para lelaki berpendidikan yang kesepian karena istrinya terlalu sibuk berkarir dan arisan, atau mengurus anak mereka. Aku tidak akan pernah bersedia meladeni para buaya darat yang istrinya sangat soleha dan baik hati. Aku tidak mau menjadi pelacur yang hanya menjual tubuh indah tanpa bekal wawasan. Jika Tuhan menghendaki, aku ingin mendirikan sebuah lembaga kursus untuk mendidik para pelacur. Aku ingin mencetak para pelacur yang intelek.

"Tidak ada pelacur yang berkelas dan terpelajar Mei. Pelacur tetap pelacur. Apalagi ini Indonesia. Semua orang menganggap pelacur itu tidak terhormat. Kamu ini berkhayal ya. Mana ada pelacur yang berpendidikan. Kalau mereka berpendidikan, mereka sudah pasti menjadi guru, perawat, PNS, pengusaha, dan tidak akan mungkin bersedia menjadi pelacur." Begitu kata Mama saat aku menjelaskan cita-citaku pada Mama tempo hari.

"Ma. Aku, Medina, dan Mareta sudah memaafkan Mama. " Ujarku sambil menangis di hadapan Mama pada dini hari ini.

                                                                                              Sidoarjo, Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun