Padahal aku sudah melakukan apa saja untuk membuat Mama dapat tidur pulas malam ini. Akan tetapi, dia tak kunjung memejamkan matanya. Rupanya Mama masih tenggelam dalam masa lalu.
"Ma, sudahlah. Buat Meira, Mama adalah ibu terbaik di dunia."
 "Enggak Mei. Mama yang telah menjadikan kalian bertiga sebagai pelacur. Sejak kalian kecil, Mama selalu memberi contoh kepada kalian tentang bagaimana cara menjadi pelacur. Itu kesalahan besar dalam hidupku Mei." Mama berkata sambil terisak.
Kali ini Mamaku benar. Aku sangat setuju dengan pendapatnya. Bagaimana mungkin aku dan kakak-kakakku tidak terinspirasi untuk menjadi sundal apabila bukan Mama kami yang mengajarkan. Mama setiap hari memamerkan kepada kami perihal penghasilan dan capaiannya dengan menjadi seorang pelacur. Mama berterus terang kepada para putrinya jika dia tidak pergi bersama para lelaki tersebut, maka kami terancam tidak bisa makan dan membayar keperluan sekolah. Tidak cukup sampai di situ, Mama juga sering membawakan kami mainan dan beberapa pakaian baru sambil mengatakan kepada kami jika itu adalah pemberian dari lelaki-lelakinya. Sejak aku dan kedua kakakku masih kecil, kami selalu mendapatkan doktrin bahwa menjadi seorang pelacur adalah pekerjaan yang tidak berat. Tidak butuh keahlian apapun kecuali berdandan yang cantik, melakukan seks, dan merayu. Pendapatan seorang pelacur adalah bergantung pada seberapa piawai ia merayu dan memuaskan kebutuhan seksual para lelakinya. Itu adalah satu-satunya pelajaran hidup yang Mama wariskan kepada putri-putrinya.
Aku pribadi ingin menjadi pelacur yang lebih baik daripada Mama dan kedua kakakku. Aku ingin menjadi pelacur yang cerdas dan berkelas. Aku ingin menjadi pelacur yang hanya ditiduri dan meniduri para lelaki berpendidikan yang kesepian karena istrinya terlalu sibuk berkarir dan arisan, atau mengurus anak mereka. Aku tidak akan pernah bersedia meladeni para buaya darat yang istrinya sangat soleha dan baik hati. Aku tidak mau menjadi pelacur yang hanya menjual tubuh indah tanpa bekal wawasan. Jika Tuhan menghendaki, aku ingin mendirikan sebuah lembaga kursus untuk mendidik para pelacur. Aku ingin mencetak para pelacur yang intelek.
"Tidak ada pelacur yang berkelas dan terpelajar Mei. Pelacur tetap pelacur. Apalagi ini Indonesia. Semua orang menganggap pelacur itu tidak terhormat. Kamu ini berkhayal ya. Mana ada pelacur yang berpendidikan. Kalau mereka berpendidikan, mereka sudah pasti menjadi guru, perawat, PNS, pengusaha, dan tidak akan mungkin bersedia menjadi pelacur." Begitu kata Mama saat aku menjelaskan cita-citaku pada Mama tempo hari.
"Ma. Aku, Medina, dan Mareta sudah memaafkan Mama. " Ujarku sambil menangis di hadapan Mama pada dini hari ini.
                                               Sidoarjo, Januari 2020