Mohon tunggu...
Fiahsani Taqwim
Fiahsani Taqwim Mohon Tunggu... Penulis - :)

Penganut Absurditas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burgundy

6 Maret 2021   09:44 Diperbarui: 6 Maret 2021   09:48 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi bagaimana, kita pacaran kan?" Pak Hans bertanya. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum. Kali ini sambil kutatap matanya lekat. Begitu besar rupanya keinginannya untuk berpacaran denganku. Dasar gila. Aku bahkan tidak tahu apa beliau sudah beristri atau belum. Tiap kali kupancing untuk membuka kehidupan keluarganya, Pak Hans pasti menghindar. Di momen seperti inilah aku merasa hancur. Mudah sekali Pak Hans memintaku untuk menjadi pacarnya. Mungkin beliau pikir aku tidak beda dengan para gadis muda di luar sana yang dapat dengan mudahnya termakan dan terbius oleh perlakuan baik banyak lelaki. Sayang sekali aku tidak demikian. Harga diriku sepenuhnya kujaga dengan baik selama ini. Tidak banyak lelaki yang sanggup mendekatiku lantaran baru melangkah sedikit saja mereka sudah tidak mampu untuk mengimbangiku. Hanya satu dua orang saja yang punya keberanian super besar untuk mengajakku berkencan.

Setelah puas memandang pasir pantai dan gelapnya malam, Pak Hans mengantarku pulang. Aku kembali ke rumah kos dengan selamat malam itu. Aku masuk rumah tanpa menunggu Pak Hans memutar mobilnya. Kubiarkan saja beliau di depan pintuku dengan sejuta harapan untuk menjadikanku pacarnya. Aku ingat bahwa aku belum mandi sore sehingga langsung saja aku melepas baju dan berendam. Sembari berendam, aku memikirkan segala yang telah dan yang mungkin akan terjadi di antara aku dan Pak Hans. Lelaki ini akan punya pengaruh yang sangat besar untuk jenjang karirku. Jika saja aku menjadi pacarnya, beliau akan menjamin bahwa aku akan menjadi supplier tunggal untuk proyeknya. Aku tidak memungkiri bahwa aku butuh lelaki ini untuk kesuksesan karirku. Aku membayangkan betapa besar keuntungan yang akan kudapat jika propertiku diborong oleh perusahaan tempat Pak Hans bekerja. Belum lagi respon kehormatan yang akan ditunjukkan oleh rekan-rekanku di kantor apabila mereka tahu bahwa aku mampu memenangkan proyek sebesar ini. Akan tetapi, betapa murahnya diriku apabila harus menjadi pacarnya. Haruskah aku rela menjadi pacarnya demi uang, serta gengsi?? Bukankah selama ini aku selalu memilih cara yang elegan?? Sungguh kali ini idealismeku maju mundur dan tidak mantap. Di satu sisi, aku benci menjadi perempuan yang bisa dibeli. Akan tetapi di sisi lain, aku tidak mampu menepis bahwa urusan keuntungan bisnis ini sangat penting untukku.

Seusai mandi, aku mengintip dari jendela untuk mengecek apakah Pak Hans masih di depan rumah kosku atau tidak. Ternyata beliau sudah pergi. Setelah mengeringkan badan dan mengenakan piama, aku membuka ponselku. Ada pesan dari Pak Hans, begini isinya:

Terima kasih untuk malam ini, saya suka warna bibirmu. 

Itu warna burgundy kan?

                                                                                 

DPS, MARET 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun