Kalau saja bukan karena tuntutan pekerjaan. Aku tidak akan mau pergi dengan lelaki ini. Harusnya aku bisa menikmati malam Mingguku dengan menikmati kopi karamel sembari menonton film favorit. Namun, malam ini, aku harus merelakan waktu luangku untuk pergi dengan seorang bos proyek sebuah arena wisata alam di kota ini.
Sebagai seorang wanita yang berkarir di dunia bisnis properti, aku diwajibkan untuk keluar masuk proyek. Profesi tersebut juga membuatku harus berinteraksi dengan banyak pekerja proyek yang mayoritas adalah kaum lelaki. Salah satunya adalah pria Sumatra yang baru aku kenal sekitar empat minggu silam, Pak Hanafi namanya. Barangkali karena Hanafi terlalu panjang, maka semua orang memanggilnya dengan sebutan Pak Hans.
Beliau adalah lelaki yang sangat ramah, humoris, dan pembawaannya menarik. Tidak mungkin perusahaan sebesar itu mempercayakan posisi manajer proyek kepada sembarang orang. Itulah yang membuatku semakin yakin bahwa Pak Hans adalah orang yang cukup istimewa.
Tiap kali bertemu, kami selalu saling berjabat tangan. Tiap itu pula, Pak Hans selalu menggenggam erat tanganku yang telapaknya selalu berkeringat ini. Beberapa kali kudengar Pak Hans berkomentar mengenai masalah basahnya telapak tangan ini:
"Kenapa telapak ini basah dan dingin? gugupkah berjabat tangan dengan Abang?"
Aku enggan berkomentar. Cukup kupersembahkan sebuah senyum dan tatapan tajam yang tidak dimiliki oleh semua orang kepada lelaki ini.
Sama halnya dengan kebanyakan para praktisi proyek lain yang setiap saat bertemu dengan benda-benda tajam nan keras, Pak Hans rupanya butuh suatu kelembutan. Sialnya kelembutan yang beliau idamkan ternyata ada padaku. Mungkin beliau melihatku bagai sebuah lava cake lembut yang siap disantap. Aku beberapa kali mendapati Pak Hans duduk sembari menyilangkan kakinya dan menatapku, lalu tersenyum padaku. Beliau persis seperti kucing-kucing jantan manja yang butuh belaian majikannya. Sorot matanya begitu sendu, terkadang lucu, namun kerap kali juga menjijikkan. Persis macam kucing Persia peliharaan tetangga sebelah rumah orang tuaku.
Suatu sore, selepas sesi presentasi dan meeting sebentar, beliau mengajakku mengamati proyeknya di pinggir pantai yang berseberangan langsung dengan Nusa Penida. Pak Hans menunjukkan padaku bermeter-meter pipa yang akan ditanam di pinggir laut di depan kami. Sambil berjalan menyusuri bibir pantai, beliau mulai berkisah panjang lebar tentang berbagai proyek yang telah digarapnya. Aku yang pada dasarnya gemar mendengarkan cerita orang lain sangat antusias mendengar setiap kisahnya.
Proyek yang sedang kami garap bersama ini adalah pembangunan sebuah taman wisata bertema kelautan. Jadi, Pak Hans bersama timnya telah merancang sebuah arena hiburan yang menyuguhkan berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan laut. Ada aquarium raksasa yang akan diisi dengan beberapa dolphin, hiu, serta beragam jenis ikan laut lainnya. Selain itu, di tempat ini juga akan dibangun sebuah panggung teater yang akan mempertunjukkan kisah-kisah para penghuni laut macam story of mermaid hingga riwayat Dewa Poseidon.
"Tim kami akan datangkan para ikan lumba-lumba dari Ambon." Pak Hans bercerita.
"Bagaimana cara membawa mereka ke mari Pak?" tanyaku polos.
"Oh tidak perlu risau. Kita biarkan lumba --lumba itu berenang dari perairan Ambon ke Nusa Penida. Sekarang kan sudah ada GPS, tentu saja mereka akan tiba di sini dengan selamat tanpa tersesat."
Aku terkekeh tanpa suara mendengar penjelasannya. Pak Hans memang selalu berusaha untuk membuat orang-orang di sekitarnya terbahak-bahak, ya walaupun terkadang dia gagal juga membuatku tertawa. Tiap kali kami terlibat pembicaraan, beliau pasti berceloteh ngawur demi membuatku mengeluarkan tawa.
Pada malam Minggu ini, beliau bermaksud untuk mengajakku kencan pertama. Sungguh aneh rasanya diapeli seseorang karena sudah sejak lama aku tidak merasakannya. Pak Hans meminta agar aku berdandan semanis mungkin. Akan tetapi, permintaannya tidak kukabulkan. Aku memilih untuk mengenakan pakaian lecek yang telah kupakai saat kerja tadi pagi dan tidak kuberi wewangian sedikit pun. Untuk urusan make up, kuputuskan hanya memoles bibir kecilku dengan lipcream warna burgundy yang tadi siang baru kubeli di toko kostemik langganan. Sebetulnya aku tidak ingin menarik perhatian Pak Hans dengan warna burgundy ini, namun karena ini lipcream baruku, jadi aku begitu bernafsu untuk memakainya.
Aku telah dua jam menanti kedatangan Pak Hans. Terlalu lama menunggunya membuatku kesal dan akhirnya kuambil sikap tegas: kukatakan padanya bahwa apabila tidak datang dalam waktu dua puluh menit maka pertemuan kita resmi batal. Pak Hans langsung menelpon dan menjelaskan perihal keterlambatannya. Ternyata beliau baru saja menabrak mobil lain yang ada di depannya. Oleh sebab itu, beliau perlu durasi tambahan untuk mempertanggungjawabkan kecerobohannya dalam perjalanan menuju rumah kosku.
Setibanya di depan rumah kosku, aku mendapati Pak Hans dalam keadaan sehat walafiat. Hanya bagian depan mobilnya sedikit tergores dan kaca lampu kirinya pecah. Aku mempersilahkannya menyamankan diri duduk di ruang tamuku sembari menyuguhkan secangkir capucino. Malam ini Pak Hans terlihat begitu gugup. Aku menahan tawaku dalam dada. Entah apa yang sedang dialami dan dipikirkan oleh lelaki ini hingga sebegitu senewennya pada perjumpaan kami. Aku menduga, kecelakaan ringan yang baru saja dialaminya ada hubungannya dengan kegelisahan yang menyelimuti kalbunya sebelum bertemu denganku. Kemungkinan besar Pak Hans kehilangan konsentrasinya sepanjang jalan menuju rumah kosku.
Berbeda denganku yang berusaha untuk tampil apa adanya pada kencan kami, Pak Hans tampak begitu mempersiapkan diri. Aroma parfumnya keterlaluan. Wangi sekali. Aih, andai saja beliau tahu kalau aku yang dimintanya untuk berdandan yang manis malah memutuskan untuk tidak mandi sebelum berjumpa dengannya.
Kami mengobrol sebentar di ruang tamuku kemudian segera pergi untuk makan malam. Di dalam mobilnya aku banyak terdiam dan hanya mendengarkan kisah-kisahnya. Aku ingin banyak mendengar agar aku dapat memahami lebih jauh kehidupan lelaki ini. Sangat penting bagiku untuk dapat mengerti watak dan sejarah hidupnya supaya aku dapat mengambil sikap bagaimana cara terbaik untuk menghadapinya.
"Abang suka warna bibirnya." Katanya. Sepertinya biasa, aku hanya bereaksi melalui sebuah senyuman. Benar kan dugaanku, lipcream baruku ini pasti menarik perhatiannya.
Selepas menemaninya makan nasi Padang, kami melanjutkan perjalanan tanpa tujuan. Beliau membawa mobilnya entah kemana dan membuat kami menikmati kemacetan kota Denpasar. Kami akhirnya berhenti di Pantai Sanur. Saat kami berdua berjalan menyusuri pantai, Pak Hans terus bercerita tentang kehidupannya. Aku sesekali bertanya ini itu dan beliau menjawab dengan raut muka penuh kasih seperti para guru yang membimbing murid-muridnya. Lelaki ini sangat pintar dan tahu banyak hal. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku terkesan padanya.
Agak susah untuk menjelaskan bagaimana perasaanku terhadapnya. Aku sendiri pun masih bingung. Kadang aku khawatir kalau beliau akan mempermainkanku dan hanya menjadikanku sebagai pelampiasan atas kelembutan yang dibutuhkannya di tengah deadline dan permasalahan proyek yang harus dirampungkannya. Akan tetapi, di sisi lain, aku merasa tidak sampai hati untuk tidak meladeninya. Sejak perkenalan kami beberapa waktu silam, instingku mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja bersama lelaki ini. Oleh karena itu, aku masih bertahan dalam permainannya hingga detik ini.
Pak Hans adalah pria berusia matang, sementara aku baru berusia 23 tahun. Aku ingin sekali berteman dengannya dan memberikannya kesempatan untuk menjadikanku kelembutan yang beliau idamkan. Bukan hal yang susah buatku apabila hanya untuk sekedar menjadi pendengar sekaligus teman makan malam baginya. Namun, ini tidaklah mudah. Pasti tidak akan mudah. Semua orang di proyek pasti akan menggunjing kami setiap saat. Belum lagi tatapan aneh dari orang-orang sekitar yang melihat kami berjalan beriringan. Orang-orang di sekitar kami pasti berpikir bahwa aku telah menggoda Pak Hans agar aku berhasil menjadi distributor properti utama di proyeknya. Ah, kenapa dalam kasus seperti ini pasti perempuan yang harus dijadikan sorotan dan dibuat tidak enak hati.
"Jadi bagaimana, kita pacaran kan?" Pak Hans bertanya. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum. Kali ini sambil kutatap matanya lekat. Begitu besar rupanya keinginannya untuk berpacaran denganku. Dasar gila. Aku bahkan tidak tahu apa beliau sudah beristri atau belum. Tiap kali kupancing untuk membuka kehidupan keluarganya, Pak Hans pasti menghindar. Di momen seperti inilah aku merasa hancur. Mudah sekali Pak Hans memintaku untuk menjadi pacarnya. Mungkin beliau pikir aku tidak beda dengan para gadis muda di luar sana yang dapat dengan mudahnya termakan dan terbius oleh perlakuan baik banyak lelaki. Sayang sekali aku tidak demikian. Harga diriku sepenuhnya kujaga dengan baik selama ini. Tidak banyak lelaki yang sanggup mendekatiku lantaran baru melangkah sedikit saja mereka sudah tidak mampu untuk mengimbangiku. Hanya satu dua orang saja yang punya keberanian super besar untuk mengajakku berkencan.
Setelah puas memandang pasir pantai dan gelapnya malam, Pak Hans mengantarku pulang. Aku kembali ke rumah kos dengan selamat malam itu. Aku masuk rumah tanpa menunggu Pak Hans memutar mobilnya. Kubiarkan saja beliau di depan pintuku dengan sejuta harapan untuk menjadikanku pacarnya. Aku ingat bahwa aku belum mandi sore sehingga langsung saja aku melepas baju dan berendam. Sembari berendam, aku memikirkan segala yang telah dan yang mungkin akan terjadi di antara aku dan Pak Hans. Lelaki ini akan punya pengaruh yang sangat besar untuk jenjang karirku. Jika saja aku menjadi pacarnya, beliau akan menjamin bahwa aku akan menjadi supplier tunggal untuk proyeknya. Aku tidak memungkiri bahwa aku butuh lelaki ini untuk kesuksesan karirku. Aku membayangkan betapa besar keuntungan yang akan kudapat jika propertiku diborong oleh perusahaan tempat Pak Hans bekerja. Belum lagi respon kehormatan yang akan ditunjukkan oleh rekan-rekanku di kantor apabila mereka tahu bahwa aku mampu memenangkan proyek sebesar ini. Akan tetapi, betapa murahnya diriku apabila harus menjadi pacarnya. Haruskah aku rela menjadi pacarnya demi uang, serta gengsi?? Bukankah selama ini aku selalu memilih cara yang elegan?? Sungguh kali ini idealismeku maju mundur dan tidak mantap. Di satu sisi, aku benci menjadi perempuan yang bisa dibeli. Akan tetapi di sisi lain, aku tidak mampu menepis bahwa urusan keuntungan bisnis ini sangat penting untukku.
Seusai mandi, aku mengintip dari jendela untuk mengecek apakah Pak Hans masih di depan rumah kosku atau tidak. Ternyata beliau sudah pergi. Setelah mengeringkan badan dan mengenakan piama, aku membuka ponselku. Ada pesan dari Pak Hans, begini isinya:
Terima kasih untuk malam ini, saya suka warna bibirmu.Â
Itu warna burgundy kan?
                                        Â
DPS, MARET 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H