Krisis ekonomi global yang sedang melanda belahandunia ini tidak bisa dicegah apalagi dikendalikan hanya satu bangsa saja. Olehnya itu, pasti akan berdampak pada kesehatan ekonomi nasional. Guna mengatasi masalah ini, salah satu langkah yang ditempuh adalah meminimumkan dampak negatif tersebut sekaligus berpikir ulang tentang makna reformasi ekonomi. Kemiskinan dan pengangguran jangan ditempatkan sebagai turunan dan sisa dari target pertumbuhan ekonomi. Dan ini dicerminkan dengan pendekatan tambal sulam. Dengan kata lain arusutama (mainstream) para perencana pembangunan harus propopulis ketimbang berorientasi mutlak pada propasar.
Padahal sejak republik ini berdiri, penanggulangan pengangguran dan kemiskinan bukanlah masalah yang disepelekan melainkan menjadi prioritas penangnanan. Mengatasi pengangguran dan kemiskinan itu tidaklah dilakukan ketika masalah ini menjadi isu nasional. Hal inilah yang menjadi faktor utama mengapa pengangguran dan kemiskinan sulit dicegah karena penanganan permasalahan tidak dipersiapkan sebelumnya.
Kejadian ini bermula dari mashab pemikiran para perencana pembangunan yang terlalu berorientasi pada propasar semata. Ketika pertumbuhan ekonomi terlalu mengandalkan pada industri-industri atau perusahaan besar saja, maka lambat laun usaha ekonomi rakyat akan tergilas. Sebaliknya ketika terjadi krisis global maka runtuhnya produktifitas raksasaraksasa tersebut akan berakibat pada penderitaan rakyat. Ketika itu barulah pemerintah menengok pentingnya pertumbuhan ekonomi usaha kecil dan menengah.
Sebenarnya, pemerintah saat itu sudah punya kebijakan triple track strategy yakni progrowth, propoor, dan proemployment. Namun pertanyaannya apakah dalam operasionalnya sudah sesuai dengan kebijakan tersebut. Belum tentu bukan. Kenyataannya, pemerintah belum terbuka mengutarakan bagaimana kebijakan triple track strategy itu diterjemahkan dalam kebijakan makro yang komprehensif antarsektor. Misalnya apa dan bagaimana pembangunan pertanian berkaitan dengan pembangunan sektor industri, perdagangan, ketenagakerjaan, pembangunan daerah, infrasruktur, dan sebagainya. Begitu pula bagaimana pembangunan di sektor nonpertanian kaitannya dengan pembangunan sektor-sektor lainnya. Untuk menekan angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, pemerintah dapat menjalankan strategi kebijakan yang mendukung kesejahteraan penduduk miskin (pro poor). Bank Dunia menilai bahwa untuk dapat memajukan ekonomi secara substansial, pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik yang efektif dengan cara menjalin kemitraan dengan sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil (World Bank, 2014). Strategi kemitraan penting untuk dilakukan agar tercipta sinergi dalam pembangunan ekonomi yang diharapkan secara inklusif dapat dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, strategi penting lainnya adalah dengan cara membantu masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan ekonominya melalui penyediaan lapangan kerja.
Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan adalah masalah sosial yang harus diselesaikan dan ini menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat sipil. Dari sisi peran pemerintah, berbagai program dan kebijakan pembangunan telah dilakukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, namun ini tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah sosial tersebut secara komprehensif. Menurut Yunus (2007), pada dasarnya pemerintah dapat melakukan banyak hal untuk menyelesaikan masalah sosial karena kemampuannya dalam mengakses dan mengelola sumber daya. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian karena ada beberapa alasan yang mendasar. Pertama, pemerintah dapat berperilaku tidak efisien, lambat dalam bertindak, rentan terhadap tindak korupsi, birokratis, serta adanya kepentingan individual yang selalu melekat.
Kedua, pemerintah seringkali memiliki kemampuan yang baik dalam membuat suatu kebijakan, namun tidak ketika mengeksekusinya. Pemerintah juga tidak memiliki tekad yang kuat ketika ingin menghentikan suatu program pengentasan kemiskinan karena tidak lagi dibutuhkan atau justru menjadi beban bagi keuangan pemerintah. Ketiga, lingkungan pemerintah tidak terlepas dari politik. Politik seringkali mewarnai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Artinya ada penyimpangan tujuan yang hendak dicapai sebab umumnya kelompok partai pemerintah memiliki kecenderungan untuk memperjuangkan kepentingan mereka saja.
"Kegagalan" dalam menyelesaikan permasalahan sosial tidak hanya dialami oleh pemerintah, tetapi juga mitra pemerintah, yaitu sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil. Yunus (2007) pun juga menjelaskan bahwa terdapat kelemahan dari program corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan oleh sektor swasta. CSR merupakan konsep tanggung jawab bisnis secara sosial yang dilakukan dengan tujuan yang baik, namun dalam praktiknya terjadi penyalahgunaan, yaitu mencari keuntungan pribadi untuk perusahaan. Di sini terlihat bahwa perusahaan melakukan hal yang baik kepada masyarakat padahal kontribusi yang diberikan hanya sedikit karena tujuan lainnya adalah untuk memperoleh citra positif melalui publikasi kegiatan yang dilakukan (window dressing). Sementara itu, organisasi masyarakat sipil, seperti non-government organization (NGO), memiliki keterbatasan dalam upaya penyelesaian masalah sosial. Hal ini karena ketergantungan NGO terhadap sumber pembiayaan. NGO sangat mengharapkan donor untuk pembiayaan. Artinya, ketika NGO tidak lagi memiliki donor, maka keberlangsungan penyelesaian masalah sosial akan terganggu. Kelemahan yang ada, baik pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil serta dinamika masalah sosial yang semakin kompleks mendorong pada suatu pendekatan penyelesaian yang inovatif, yaitu kewirausahaan sosial.
PembahasanÂ
1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 2018-2024 di Kabupaten Wonosobo
Kemiskinan merupakan isu global yang dihadapi oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs), penurunan kemiskinan menjadi isu yang mendapatkan perhatian utama. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat. Badan Pusat Statistik (BPS), sebagai lembaga yang berperan dalam menyediakan data kemiskinan, telah menggunakan modul konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) sejak tahun 1976 untuk menghitung angka kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Secara umum, angka kemiskinan di Wonosobo selama 2018 -- 2024 mengalami fluktuasi baik dari sisi jumlah maupun persentase. Secara persentase, penduduk miskin Kabupaten Wonosobo mengalami penurunan sejak tahun 2018 hingga 2019, kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2020 dan 2021. Kenaikan jumlah maupun persentase penduduk miskin pada tahun 2020 dan 2021 merupakan konsekuensi dampak pandemi Covid-19 yang mulai terjadi pada tahun 2020. Kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2020 dan 2021. Seiring dengan adaptasi masyarakat dengan kondisi covid dan semakin banyaknya penduduk yang sudah vaksin covid, secara berangsur-angsur kegiatan ekonomi masyarakat kembali normal sehingga jumlah dan persentase penduduk miskin mengalami penurunan pada 2022 hingga 2023. Pada tahun 2024 persentase penduduk miskin Kabupaten Wonosobo sebesar 15,28 persen, turun 2,30 persen dibanding tahun 2018.
2. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 2023-2024