Kita tak pernah tahu, dengan siapa kita berjodoh. Begitupun aku. Ketika pada akhirnya cinta ini, berlabuh pada seorang lelaki non muslim. Aku menerimanya.
Benar adanya, bila saat jatuh cinta, semua sesuatu terasa indah. Kami telah dibutakan oleh cinta yang menggebu, perbedaan agama dianggap persoalan sepele. Berbeda dengan kami yang bersuka cita. Orangtua kami tidak! Saatmereka , mengetahuinya mereka langsung mengambil ancang-ancang. Penolakan keras langsung kami terima. Dan meminta kami segera mengakhirinya,sebelum terlambat.
“Nduk…tolong, carilah lelaki yang seiman.” Aku menolak, kekasihku juga sama. Kami merasa pede dan sombong. Hello…kita masih pacaran? Kenapa semua pada rempong,sih?
Aku bersikap cuek, dan menulikan telinga. Positif thingking bahwa hubungan kami akan berjalan mulus sesuai harapan. Kenyataannya, cinta kami kami malah berkembang subur dan hubungan itu kian waktu kian menegangkan. Ibarat menaiki roller coaster, semakin lama semakin menguras perasaan.
Perbedaan agama tak sesederhana yang kami pikirkan. Benturan-benturan kecil, seringkali berujung perdebatan yang tak ada penyelesaiannya. Kedua keluarga semakin menekan. Airmata sering terkuras sia-sia. Hingga membuat kami patah arang. Dan memutuskan berpisah. Lebih baik, kami sakit hati sekarang, daripada nanti. Tenyata sendiri, membuatku banyak berpikir tentang nasehat orangtua. Mereka sudah banyak menelan asam garam perkawinan. Mereka pasti tahu dan mengerti betul alasan mereka melarang kami berhubungan.
Menikah bukan hanya urusan dunia, tetapi menyangkut urusan akhirat. Bagaimana mungkin perkawinan akan langgeng, bila ada dua nahkoda dalam satu kapal. Bagaimana bila ada anak? Haruskah kita ribut hanya untuk memutuskan agama apa yang akan mereka anut? Ataukah kita membiarkan mereka berjalan sendiri menemukan TUHANNYA tanpa pernah kita didik sedari kecil? Tidak!! Kami tak menyukainya.
Agama adalah hubungan private antara manusia dan Tuhannya. Tidaklah elok bila kita memaksakan kehendak pribadi pada orang lain, supaya mereka mengikuti agama yang kita anut. Bagiku, itu sama saja, menjejali mulut seseorang dengan makanan yang tidak mereka sukai. Pertamanya, mereka pura-pura menyukainya, supaya kita senang. Lama-lama eneg, dan memuntahkannya. Aku mulai berpikir realitis. Dan pasrah atas semua RENCANANYA. Bila memang jodoh, semua pasti di mudahkan. Bila memang tidak jodoh, ya sudah mencari lagi. Gitu aja kok repot. Hehheheheheheh.
Patah hati, sempat membuatku oleng. Dia memang lelaki yang sangat perhatian. Aku bangkit. Life must go on. Lalu aku menenggalamkan diriku dengan pekerjaan.
***
“Aku mau masuk islam” dia menelponku suatu hari, dan mengajakku menjalin hubungan kembali. Setelah berpisah berbulan-bulan lamanya. Aku terperangah! Bibirku monyong, mencibir. Aku termasuk sulit untuk mempercayai seseorang. Ku lihat rambut keritingnya masih tetap kruel.
“Kamu tadi nggak kejedot kursi kan?” godaku padanya. Dia mememberitahuku sekali lagi. “Please..aku serius.” Setengah frustasi dia meyakinkanku akan keputusannya.