Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hello perkenalkan saya Moch Fadel Nooriandi, biasa dikenal dengan sebutan nama Fadel. Saya saat ini tinggal di kawasan Tebet, Jakarta Selatan bersama Ibu dan adik saya. Saya lahir di Jakarta pada tanggal 21 November 1993. Saat ini saya berusia 29 tahun lalu sejak usia 8 bulan saya divonis dokter mengalami Thalassemia Beta Mayor. Saya mempunyai 1 orang adik perempuan tetapi alhamdulillah dia hanya memiliki gen Thalassemia saja jadi adik saya tidak memerlukan tranfusi darah seumur hidupnya.Â
Saya akan menceritakan awal mula saya terdeteksi penyakit Thalassemia Beta Mayor. Awal mula saya terdeteksi dan divonis mengalami Thalassemia oleh dokter pada usia 8 bulan. Ketika itu saya mengalami wajah yang sangat pucat, tampak lesu dan lemas. Pada saat itu ibu saya menyadari dan segera bergegas membawa saya ke berbagai rumah sakit dan setelah itu melakukan pemeriksaan darah yang lengkap. Sejak saat itulah saya mengalami Thalassemia Beta Mayor sehingga saya harus menjalankan tranfusi darah rutin seumur hidup setiap 3 minggu sekali sampai saat ini.
Bagi sebagian banyak orang tak dapat dipungkiri istilah thalassemia mungkin terasa asing di telinga, kita mungkin belum terlalu familiar dengan si penyakit mahal "Thalassemia" yang memakan anggaran negara dan BPJS nomor 5 setelah penyakit Jantung, Kanker, Ginjal dan Stroke. Meskipun tak setenar penyakit 4 tadi, nyatanya thalassemia merupakan penyakit kelainan genetik terbanyak di dunia.Â
Sebanyak 2.500 bayi lahir di Indonesia dengan Thalassemia Mayor di setiap tahunnya. Thalassemia merupakan penyakit kelainan darah yang diakibatkan oleh faktor genetik sehingga protein yang ada di dalam sel darah merah (hemoglobin) tidak dapat berfungsi secara normal dan tidak bisa memproduksi sel darah merah sehingga para penyintas Thalassemia harus melakukan tranfusi darah seumur hidupnya.Â
Saat ini penyakit Thalassemia belum dapat disembuhkan tetapi bisa dicegah dengan skrining thalassemia lengkap sebelum menikah. Harapan saya bersama komunitas saya Thalassemia Movement skrining ini bisa menjadi program nasional skrining Thalassemia di seluruh Indonesia, kuncinya adalah pencegahan karena saat ini pemerintah di Indonesia masih sekedar fokus di pengobatannya saja.
   Â
Berdasarkan data BPJS dan Kementerian Kesehatan saat ini penyakit thalassemia telah merogok kantong yang terbilang fantastis menghabiskan 2,89% atau sekitar 1,77 Triiliun dana BPJS Kesehatan di setiap tahunnya dan mencatat tren kenaikan kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2021 tercatat ada 281.577 klaim kasus thalassemia dengan biaya sebesar Rp. 604 miliar dihabiskan untuk kasus thalassemia. Jadi menurut saya sangat jelas saat ini kita harus memulai untuk membuat kebijakan nasional skrining Thalassemia di Indonesia agar penyakit Thalassemia ini tidak semakin bertambah banyak, anggaran negara tidak semakin membengkak dan harapannya Thalassemia bisa dicegah menuju zero born Thalassemia suatu saat nanti.
  Â
Thalassemia dibagi menjadi 3 jenis yaitu Thalassemia Mayor, Thalassemia Intermedia dan Thalassemia Minor (pembawa sifat yang tidak memerlukan tranfusi). Individu yang membawa sifat thalassemia (thalasemia minor) tampak normal (sehat), sebab masih mempunyai satu belah gen yang dapat berfungsi dengan baik.Â
Seorang pembawa sifat thalassemia (thalassemia minor) jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia mayor. Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Jadi untuk lebih mudahnya, misalnya apabila si kumbang (pembawa sifat thalasemia) menikah dengan si mawar (pembawa sifat thalasemia), maka kemungkinan besar anak dari pasangan tersebut akan mengalami thalasemia.
Ciri-ciri penyakit thalassemia mayor umumnya akan muncul sebelum penderita berumur dua tahun. Kemudian ciri-ciri penyakit thalasemia mayor yaitu anemia berat, kepucatan, sering infeksi, nafsu makan yang buruk, kegagalan perkembangan, penyakit kuning yang muncul di kulit hingga mata, dan pembesaran organ khususnya di bagian limpa akibat semakin sering tranfusi darah. Pengobatan utama penyakit ini ialah pemberian transfusi darah guna mempertahankan kadar hemoglobin di atas 10 g/dl. Transfusi darah bukan hanya dilakukan sekali atau dua kali, akan tetapi penyintas yang mengalami thalassemia bisa jadi harus melakukan transfusi darah seumur hidupnya setiap waktu tergantung kondisi tubuhnya).
Tranfusi darah bagi penderita thalasemia bisa dikatakan sebagai bomerang. Transfusi secara berulang inilah yang memunculkan permasalahan baru, salah satunya meningkatnya kadar zat besi dalam darah. Penumpukan kadar zat besi ini mengakibatkan terganggunya fungsi hati, jantung, kulit, kelenjar endokrin dan lain sebagainya. Penimbunan zat besi dapat dikurangi dengan pemberian obat kelasi besi yang diberikan setiap hari seumur hidupnya. Â Obat kelasi besi ini ada 3 ragam jenis obatnya yaitu Deferiprone, Deferoxamine dan Deferasirox. Deferoxamine diberikan melalui pompa suntikan (syringe-pump) yang digunakan untuk mengurangi kadar zat besi dalam tubuh penyintas thalassemia, lalu untuk Deferiprone yang langsung bisa diminum berbentuk tablet atau Deferasirox yang dilarutkan ke dalam air.
Mengapa thalasemia disebut sebagai salah satu penyakit "mahal"? karena memang biaya yang dikeluarkan untuk melakukan transfusi darah, biaya rumah sakit dan biaya untuk pembelian obat kelasi besi ini tidaklah murah. Hingga muncul cuitan "Yang kaya bisa menjadi miskin, apalagi yang miskin?".  Dari sini kita bisa mulai menyimpulkan apakah penyakit ini memang bisa dijuluki sebagai penyakit mahal. Setidaknya dengan adanya BPJS para penyintas thalassemia bisa terbantu dari segi pembiayaan. Namun yang menjadi pertanyaan mau sampai kapan negara menanggung ini semuanya hanya untuk pengobatannya saja. Bukankah mencegah lebih baik dari mengobati, kalau masih bisa dicegah mengapa  saat ini negara tidak memulai untuk membuat program pencegahan skrining thalassemia secara nasional?
Sekedar flashback pada tahun 2004, Prof. Dr. dr. Pustika Amalia Wahidiyat, SpA(K) beliau merupakan Dokter Spesialis Anak Penyakit Dalam Thalassemia. Ketika itu beliau sedang memeriksa saya dan mengatakan limpa saya sudah besar (splenomegali) jadi saat itu harus segera dilakukan operasi besar pengangkatan limpa (splenektomi) tetapi saat ini operasi pengangkatan limpa sudah bukan opsi prioritas karena dinilai para dokter bukan solusi yang tepat karena jika sudah dilakukan splenektomi para penyintas thalassemia harus lebih hati-hati dalam menjaga tubuhnya dan rentan drop karena sudah tidak adanya organ limpa ditubuhnya.
Saat itu saya lagi-lagi mendapat cobaan berat, tapi apa boleh buat setelah dirundingkan oleh keluarga dan dokter dengan baik-baik akhirnya saya dan keluarga memutuskan untuk melakukan operasi pada tahun 2004 dan alhamdulillah operasi berjalan lancar walau sempat mengalami masalah di operasi pertama saya adanya pendarahan (blooding) tapi beruntungnya masalah itu sudah ditangani dengan baik oleh dokter bedah di RSUPN Cipto Mangunkusumo.Â
Setelah operasi keadaan saya menjadi lebih membaik dari sebelumnya yang tadinya saya transfusi darah setiap 1-2 minggu sekali, setelah operasi tersebut saya transfusi menjadi 3 minggu sampai 1 bulan sekali. Tetapi kondisi badan harus tetap dijaga agar tidak mudah drop karena kekebalan tubuh saya sedikit berkurang dikarenakan operasi tersebut dan juga tidak lupa setiap harinya selalu melakukan terapi obat kelasi besi untuk pembuangan zat besi agar zat besi tidak semakin menumpuk dibadan setelah habis melakukan transfusi darah dan juga untuk menghindari berbagai komplikasi akibat terlalu sering melakukan tranfusi darah.
Setelah mengalami pengalaman tersebut, saya harus tetap semangat menghadapi cobaan hidup yang sangat roller coaster penuh dengan ketidakpastian dan sering sekali saya mengalami beban mental batin yang sangat berat yaitu saat masa-masa sekolah bersama teman-teman sekolah yang sering mendapat perundungan (pembullyan) karena saya sakit Thalassemia dan badan saya yang sangat kurus di masa sekolah. Saya sering tidak sekolah karena harus bolak-balik ke rumah sakit untuk tranfusi darah ditambah beban batin hidup yang cukup besar, tetapi guru dan orang tua saya terus menyemangati saya sehingga saya tidak menghiraukan teman-teman lain yang melakukan pembullyan sampai akhirnya saya dapat selesai pendidikan dengan baik sampai kuliah dan dapat bekerja sampai saat ini.
Saat ini saya telah menyelesaikan pendidikan hingga kuliah di perguruan tinggi. Saya kuliah di salah satu perguruan tinggi hingga selesai dengan tepat waktu bahkan lebih cepat dari jadwal semestinya dikarenakan saya cepat mengerjakan tugas akhir saya yang hanya 3 bulan. Saya kuliah tepatnya di Politeknik LP3I Jakarta, Jurusan Informatika Komputer selama 3 tahun dan alhamdulillah saya lulus dan wisuda pada September tahun 2015. Saat ini saya telah bekerja selama kurang lebih 6 tahun di daerah Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sebagai content creator Sandiaga Salahuddin Uno dari Januari tahun 2016.Â
Saya sangat bersyukur dan beruntung dengan pekerjaan saya saat ini. Walaupun saya seorang penyintas thalassemia, Pak Sandiaga Uno dan juga lingkungan pekerjaan saya sangat suportif dan tidak membedakan-bedakan saya karena saya merupakan seorang penyintas thalassemia. Tidak ada yang keberatan saat saya harus izin bolak-balik ke rumah sakit untuk transfusi darah setiap 3 minggu sekali. Sebelumnya, saya terus mengalami kesulitan untuk lolos interview kerja karena memiliki thalassemia. Memang masih lazim para pemberi kerja memiliki pandangan sebelah mata yang cenderung negatif terhadap para penyintas; kebanyakan berasumsi bahwa kebutuhan izin demi transfusi darah yang akan berlangsung terus-menerus akan membuat para penyintas menjadi kurang produktif dibanding non-penyintas.
Dalam keseharian, saya juga menjalani kehidupan seperti orang normal lainnya. Saya suka menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat saya untuk sharing bersama, travelling, nonton konser nongkrong di coffeeshop atau tempat-tempat yang lagi hype dan berbagai kegiatan lainnya.Â
Meskipun saya mempunyai banyak aktifitas, tetapi setiap hari nya saya tidak lupa untuk terus rajin konsumsi obat kelasi besi yang saya bawa terus kemanapun saya pergi agar tidak menumpuk di badan saya. Karena obat ini mahal dan mendapat subsidi gratis dari BPJS Kesehatan jadi saya mesti memanfaatkannya dan saya selalu ingatkan bahwa harus rajin-rajin minum obat untuk kebaikan diri saya sendiri.Â
Saya juga salah satu yang sangat menyukai olahraga berlari dan sepak Bola, klub sepak bola favorit saya yaitu Real Madrid. Dikarenakan saya tidak boleh dan tidak dianjurkan bermain bola dan berlari oleh para dokter karena fisik saya yang tidak memungkinkan, dan juga terlalu capek membuat saya drop, alhasil cukup jadi penonton setia di layar kaca di berbagai acara nonton bareng dan untuk olahraga berlari saya memanfaatkannya untuk sekedar rajin olahraga jalan saja di GBK bersama sahabat-sahabat saya dan juga para dokter menemani saya.
Komunitas Thalassemia Movement ini resmi diperkenalkan ke publik pada hari thalassemia sedunia tanggal 8 Mei 2016 di Car Free Day Jakarta untuk meningkatkan awareness tentang thalassemia, sebuah kelainan darah yang sekarang sudah meluas ke seluruh dunia. Padahal, hampir seabad lalu, penyakit ini baru dikenali dan hanya ditemukan di daerah sekitar Eropa dan Asia.
Â
Thalassemia bisa terjadi pada siapa saja, tidak memandang latar belakang, status ekonomi, maupun status sosial. Thalassemia sendiri adalah sebuah kondisi kompleks. Walaupun sering dipermudah dengan analogi sebagai sebuah handphone yang butuh mendapat charge dengan transfusi darah, kenyataannya aspek perawatan untuk penyintas lebih dari sekedar rutin transfusi. Namun sayangnya, masih ada orangtua dan penyintas itu sendiri yang bahkan tidak mengetahui apa itu thalassemia, hanya tahu butuh darah saja. Oleh karena itulah, edukasi terkait thalassemia paling awal harus didapatkan oleh para penyintas dan keluarganya terlebih dulu, agar mereka bisa mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Â
Menjadi penyintas yang mendapat akses terhadap pendidikan yang lebih tinggi adalah sebuah keistimewaan yang dimiliki oleh sebagian besar aktivis di Thalassemia Movement. Untuk itulah mereka gencar mengadakan acara dan aktif di media sosial untuk terus mengedukasi thalassemia. Tidak jarang kegiatan mereka mendapat perhatian dari Thalassemia International Foundation. Semakin hari, komunitas ini menjadi semakin besar. Sedari awal, anggotanya tidak hanya dari kalangan penyintas, tapi juga para dokter dan non-penyintas yang memiliki perhatian khusus terkait thalassemia. Bahkan, ide membentuk komunitas ini justru datang dari seorang non-penyintas. Dan pada tahun 2018, Perkumpulan Gerakan Peduli Thalassemia Indonesia ini resmi memiliki badan hukum.
Â
ÂIsu ketimpangan para penyintas untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan ini masih lepas dari perhatian pemerintah. Menurut saya, untuk mendapat kesempatan yang sama, para penyintas membutuhkan salah 1 dari 3 faktor: pengakuan khusus yang bisa diperoleh dari jaminan atau undang-undang, atau bantuan dari orang dalam, atau memang para pemberi kerja yang sudah mengerti mengenai kondisi penyintas.Â
Sayangnya, ketiganya masih absen dan sangat jarang. Inilah yang ditangkap dan kemudian juga diperjuangkan oleh Thalassemia Movement, sebuah jaminan yang tidak membeda-bedakan para penyintas thalassemia dalam kesempatan memperoleh pendidikan dan pekerjaan. Walaupun berjuang untuk tidak dibedakan dalam masalah pendidikan dan pekerjaan.Â
Fadel mengakui bahwa penyintas, terutama yang sudah mengalami komplikasi, membutuhkan perlakuan khusus seperti penyediaan ruang khusus di moda transportasi atau ruang publik. Mungkin masih belum banyak yang mengetahui bahwa thalassemia adalah sebuah kondisi yang kompleks dan memang memiliki tampilan klinis yang bervariasi dari ringan hingga berat, tergantung dari komplikasi yang mereka alami.Â
Tidak semua penyintas bergantung pada transfusi darah. Tetapi bagi mereka yang harus mendapatkan transfusi darah untuk bertahan hidup, komplikasi menjadi tidak terhindarkan. Komponen yang dibutuhkan pada darah adalah sebuah protein yang disebut hemoglobin, dan setiap unit hemoglobin mengandung 4 unit zat besi. Tidak heran, tiap kantong darah mengandung zat besi yang tinggi hingga mencapai puluhan kali lipat dari kebutuhan zat besi harian. Sayangnya, tubuh manusia tidak mampu untuk membuang zat besi yang berlebihan dari transfusi darah tersebut. Makin lama, jumlah besi dalam darah yang terus masuk dalam tubuh akan menumpuk dalam berbagai organ, terutama jantung, hati, dan berbagai organ yang menghasilkan hormon tubuh. Itulah komplikasi yang bisa terjadi pada penyintas: kelebihan zat besi yang kemudian mengganggu fungsi organ tubuh.Â
Kelebihan zat besi ini bahkan bisa berakibat fatal hingga kematian. Oleh karena itu, saat ini ada 2 strategi yang rutin dilakukan untuk mengendalikan penumpukan zat besi tersebut. Pertama, para penyintas harus terus mendapat terapi untuk mengikat zat besi yang berlebihan, baik diminum atau disuntikkan. Kedua, setiap jangka waktu tertentu, ada pemeriksaan khusus yang harus dilakukan untuk memantau jumlah besi dalam tubuh dan fungsi organ tubuh yang berisiko. Dari semua kemungkinan organ tubuh yang terganggu, komplikasi pada jantunglah yang paling ditakuti. Bila sudah ada masalah, henti jantung bisa sewaktu-waktu terjadi.
Pengalaman itu juga sudah pernah saya alami di Bulan Juni tahun 2020, saya mengalami gagal jantung dan berlanjut dengan kelainan irama yang fatal. Tidak hanya pijat jantung, terapi kejut jantung pun dilakukan untuk mengatasi kelainan irama, dan berhasil menyelamatkan nyawanya. Pada saat itu baru diketahui juga bahwa gula darahnya melonjak sangat tinggi akibat penumpukan zat besi pada organ pankreasnya sehingga tidak mampu menghasilkan cukup insulin. Fadel didiagnosis diabetes tipe lain. Sampai sekarang, Fadel harus menyuntik insulin sebelum makan. Fadel sadar, mungkin tidak banyak yang bisa selamat dari kondisi kritis seperti yang dialaminya. Ia tahu bahwa semangat hidupnya dan dukungan dari semua orang yang mengenalnya yang membuat akhirnya bisa bertahan. Sejak lolos dari kondisi kritis, Fadel menghentikan hobi larinya. Sebelumnya, ia sering mengikuti acara lomba maraton hanya untuk menyelesaikannya dan mendapat medali, bukan untuk mencetak rekor lari. Beberapa kali ia malah berjalan pelan, yang penting mencapai finish.
Â
Namun, karena para dokter dan sahabat saya yang juga penyintas thalassemia dengan tegas juga meminta saya untuk berhenti olahraga marathon saya pun menurut dan sampai sekarang tidak pernah lagi berlari hanya olahraga ringan saja yang saya lakukan saat ini. Banyak faktor yang dianggap memicu kondisi tersebut terjadi pada Fadel, termasuk episode kritis yang sempat dialami fadel hingga jantungnya berhenti selama satu jam lalu alhamdulillah setelah 1 jam ditangani tim dokter Fadel dapat terselamatkan dan hidup kembali berkat bantuan para dokter lalu keluarga dan sahabat-sahabat yang selalu mendoakan Fadel.
Â
Fadel ditangani dengan cara tepat dan cepat oleh para dokter yang direkomendasikan oleh Prof. Dr.dr. Pustika Amalia, Sp.A(K). Mulai dari Dr. dr. Sally Aman Nasution yang merupakan dokter ahli jantung Cardiovaskular dan juga dr. Anna Mira Lubis, Sp.PD dokter Spesialis ahli Penyakit Dalam. Prof. Dr.dr. Pustika Amalia, Sp.A(K), Dr. dr. Sally Aman Nasution, dan dr. Anna Mira Lubis merekomendasikan Fadel untuk segera dilakukan CPR dan dilakukan kejut jantung dengan alat Defiblator karena jantungnya semakin melemah.
Â
Akhirnya Fadel harus diberikan perawatan hingga dan pada akhirnya Fadel dapat bernafas kembali dan dipindahkan ke ruang ICCU RSCM selama kurang lebih 3 minggu untuk mendapatkan perawatan intensif. Sejak dari kejadian itu Fadel semakin sadar selain membatasi diri dalam olahraga, masih ada beberapa hal berbeda yang perlu dilakukan para penyintas thalassemia supaya tidak memperberat kondisi mereka. Konsumsi alkohol, rokok, dan makanan yang tinggi zat besi sudah jelas harus direm. Namun, tidak dipungkiri, beberapa penyintas masih sulit untuk taat dengan batasan yang ada. Tidak mudah untuk serba dibatasi dan berobat seumur hidup. Pada titik tertentu, semua penyintas mengalami pasang surut kejenuhan dan semangat hidup menurun. Di sinilah peran psikolog untuk kesehatan mental menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam program perawatan penyintas. Bahkan beberapa kasus membutuhkan bantuan psikiater; seperti yang juga terjadi pada Fadel.Â
Dari awal tahun 2022 ini, saya mengalami kesulitan berkonsentrasi. Bagaimanapun usahanya melawan maupun pasrah dengan berbagai pikiran yang menyerang, ia hanya terus berkutat tanpa bisa berkutik mengendalikan pikirannya. Setiap ada hal yang dirasa mengganggu, Fadel selalu terbuka dan bertanya kepada dokter yang sejak dulu menanganinya, Prof. Dr. dr. Pustika Amalia, Sp.A(K). Beliau adalah salah satu dokter anak di RSCM yang mendedikasikan diri untuk para penyintas thalassemia. Akrab dipanggil Prof. Lia, beliau dikenal sebagai sosok keibuan yang tegas, dan mungkin tidak sedikit yang 'takut'. Namun, semua penyintas yang berobat di RSCM kenal dekat dengan beliau, dan tidak jarang kedekatan tersebut terus berlanjut bahkan sampai setelah beranjak dewasa. Beliau juga yang kemudian menyarankan Fadel untuk berkonsultasi dengan psikiater. Dari diagnosis depresi, setelah melalui pemantauan lebih lanjut, Fadel didiagnosis PTSD (post-traumatic stress disorder). Setelah mendapat psikoterapi, obat antidepresi, dan healing bersama sahabat-sahabatnya ke manapun saja mereka suka, perlahan kondisi Fadel mulai membaik.
Saat ini Fadel selain fokus untuk bisa mengalihkan perhatiannya, Fadel sadar bahwa mengobrol juga menjadi bagian dari latihan komunikasi seperti yang dipesankan sahabatnya Adhit sebelum meninggal pada 8 November 2022 pada waktu bada' subuh. Kebutuhan yang kemudian menjadi bekalnya untuk meneruskan apa yang sudah mereka mulai bersama dengan Thalassemia Movement: sebuah perundangan hukum untuk mengatur screening thalassemia secara nasional.Â
Fadel sadar ini sebuah perjuangan berat yang masih panjang. Namun, ini adalah tanggung jawabnya sebagai seorang penyintas: memastikan jumlah penyintas tidak bertambah. Sebenarnya, perjuangan itu sudah pernah mencapai sedikit titik terang ketika Pak Sandiaga Uno menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2018 lalu.Â
Ketika itu, screening thalassemia sudah menjadi kewajiban bagi pasangan yang mau menikah di DKI Jakarta. Saat mendaftar ke Kantor Urusan Agama, para calon pengantin harus menyertakan tes darahnya di puskesmas kelurahannya masing-masing. Sayangnya, kebijakan tersebut mentah kembali dengan pergantian Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Dari kewajiban kembali menjadi formalitas. Walau sempat kecewa, pengalaman tersebut tetap membuatnya sadar bahwa kebijakan itu pernah dan bisa menjadi kenyataan. Ia pun bermimpi bahwa program screening thalassemia bisa dimulai lagi sebagai pilot project dari Pemerintah Daerah untuk kemudian dibawa ke Pemerintah Pusat. Mimpinya yang paling ujung: pembuatan kebijakan nasional screening pencegahan thalassemia oleh Kementrian Kesehatan. Sampai cita-cita tersebut tercapai, setiap anggota Thalassemia Movement sudah diwanti-wanti untuk menjaga diri sendiri dan keluarga terdekat atau ring 1 sesuai istilah mereka, untuk melakukan screening thalassemia sebelum menikah. Dengan screening tersebut, dari yang sudah menikah dan kemudian mempunyai anak, tidak ada anggota Thalassemia Movement yang memiliki keturunan sebagai penyintas.
Â
Thalassemia Movement sadar bahwa mereka tidak berhak melarang pernikahan sesama carrier dan keputusan untuk tidak menggunakan bayi tabung demi mendapatkan keturunan yang bukan seorang penyintas. Oleh karena itu, menurut mereka, akan lebih baik bila screening thalassemia dilakukan bukan pada saat sebelum menikah, tapi lebih dini lagi seperti pada program sekolah. Dengan mengetahui sejak awal, siapa tahu kemungkinan jatuh cinta pada sesama carrier dan pernikahannya bisa lebih diminimalisir.Â
Strategi lain yang berusaha diraih oleh Thalassemia Movement adalah menjangkau masyarakat. Selama belum bisa menggugah pemerintah, maka usaha untuk membuat jalur pintas memangkas pertambahan penyintas hanya bisa diperoleh bila masyarakat ikut awas. Upaya merintis jejak di berbagai platform adalah untuk mengikis ketidakacuhan terhadap penyintas, bukan untuk pansos apalagi curcol. Bahkan dari awal Adhit dan Fadel sudah gencar melakukan edukasi dimanapun mereka berada. Tidak muluk-muluk, audiens yang berusaha mereka capai adalah yang tepat berada di tempat mereka biasa nongkrong bersama, yang justru adalah kaum muda dari Milenial dan Gen-Z.Â
Sebuah irisan generasi yang harus dibekali kesadaran screening thalassemia karena sudah mulai ditanya 'kapan nikah?'. Untuk kelompok ini, Fadel harus mencari akal karena komunikasi formal jelas tidak mempan. Mereka-lah bukti efektif yang menunjukkan tidak selamanya edukasi dilakukan dengan presentasi.Â
Pendekatan dark jokes dan self-bully justru menjadi strategi yang lebih jitu untuk mendapat perhatian mereka agar bisa tercapai transfer informasi terkait thalassemia dan problematika dirinya sebagai seorang penyintas. Fadel sudah kenyang makan berbagai bentuk bully yang terus didapatnya selama bangku sekolah. Alih-alih menjatuhkannya, pengalaman menyakitkan itu justru yang membuat Fadel kuat dan lincah berstrategi mendekati Gen-Z saat ini. Sebuah prinsip yang berat tapi terus dipegangnya erat, karena itulah quote terakhir dari sang sahabat melalui chat sebelum ia menutup usia: "What doesn't kill you make you stronger Bro".
Â
Fadel teringat kembali bagaimana dalam 4 bulan terakhir Adhit intens mendorongnya meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan terus berkeras bahwa tujuan dari Thalassemia Movement adalah menghasilkan policy screening thalassemia nasional. Mungkin memang Adhit sudah memiliki firasat dan terus mengingatkan sahabatnya tentang apa yang masih diperjuangkan. Memori pertemuan terakhirnya di IGD dengan Adhit membuat Fadel akhirnya sadar bahwa makna kehilangan ini adalah meneruskan perjuangan Adhit, supaya jangan sampai berhenti setelah dia meninggal.Â
Thalassemia Movement kemudian hadir memenuhi ruang kosong dalam hati Fadel dan semua yang berduka dengan kepergian Adhit. Karya dan kenangan akan Adhit justru membawa semua aktivisnya menyatukan hati, tetap dekat walau sang ketua telah mangkat. Sebuah kehilangan yang justru mengikat kebersamaan untuk melanjutkan perjuangan thalassemia, seperti slogan dari klub bola Liverpool yang merupakan favorit Adhit: "You will never walk alone."
Â
  Â
Harapan Thalassemia Movement yaitu semua lapisan masyarakat paham beban seorang penyintas dan tahu bahwa itu bisa dicegah dengan melakukan screening. Fadel sangat berharap, tidak ada lagi yang perlu menghadapi apa yang ia hadapi sebagai penyintas thalassemia berat. Thalaasemia itu berat biar kami saja, kalian jangan coba-coba. Saat ini, dunia mungkin merayakan pencapaian 8 miliar penduduk bumi sebagai sebuah perbaikan banyak hal. Namun, pertumbuhan penduduk ini akan terus menghasilkan penyintas baru bila tidak dilakukan pencegahan melalui screening thalassemia. Itulah perjuangan yang terus dilanjutkan Thalassemia Movement, supaya tidak ada lagi the real life vampire yang baru.
Â
Mengacu kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas mendapatkan hak pendidikan, pekerjaan untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa adanya perundungan diskriminasi (bullying). Istilah disabilitas berasal dari bahasa inggris yaitu different ability yang artinya manusia memiliki kemampuan yang berbeda. Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seharusnya menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal, perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan sehingga seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama dalam upaya mengembangkan dirinya melalui kemandirian sebagai manusia yang bermartabat.
Â
Diantara kami pada saat ini sudah tidak sesuai dengan paradigma terkini mengenai para penyintas penyakit seperti Thalassemia masih sangatlah sulit mendapatkan hak kesetaraan yang sama dengan orang lain pada umumnya, kami juga ingin untuk terbebas dari perundungan bullying, mendapatkan hak akses pendidikan, pekerjaan. Sebagian besar dari kami masih mengalami bullying, dianggap sebelah mata.Â
Kami yang ingin mendapatkan kesempatan bekerja, mendapatkan hak pendidikan yang setara tetapi kami selalu dianggap tidak bisa produktif, bahkan diantara kami yang ingin bekerja di suatu perusahaan terkendala di bagian tes kesehatan medis.Â
Saya berharap juga kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan akses prioritas di transportasi publik seperti Transjakarta, KRL Commuter Line, MRT bisa ditingkatkan fasilitasnya untuk disabilitas, penyintas penyakit kronik seperti Thalassemia, jantung, stroke lalu juga untuk para lansia, ibu hamil, dan lainnya yang luput dari pengawasan di lapangan.
Â
Akses prioritas di area wisata, area public, toilet khusus, event, festival seperti konser harus dibuatkan gate prioritas khusus masuk area, di dalam area juga harus diberikan space khusus, toilet khusus selain untuk disabilitas, penyintas penyakit kronik harus juga bisa disediakan juga karena kalau disatukan resikonya sangatlah berbahaya.Â
Ketika dihadapkan dengan pengunjung yang datang membludak dan ramai kami sangat beresiko sulit nafas sehingga bisa pingsan karena harus berdesak-desakan bersama orang lain karena tidak mendapatkan hak kenyamanan dan juga untuk petugas event dan petugas medis di area publik bisa disediakan lebih banyak untuk mengindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Para penyintas penyakit kronik khusus ini bisa jadi silent killer apalagi kalau yang sudah terkena komplikasi penyakit lain seperti Thalassemia, jantung, diabetes seperti saya ini.
Â
Karena pada kenyataannya untuk kebijakan kondisi saat ini fasilitas ini semua sudah ada tapi harus bisa ditingkatkan dan ditambah fasilitasnya. Karena realitanya belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Tempat duduk prioritas, lift prioritas, toilet prioritas, area prioritas khusus masih dipergunakan untuk orang-orang yang sehat, tidak pernah ditegur dan dilarang serta tak luput juga jarang dijaga oleh petugas. Area duduk yang steril terhadap asap rokok nyatanya masih banyak dilanggar oleh orang-orang perokok di area public yang tidak dijaga.
Â
Dalam hal ini saya mengharapkan sekali kerja sama kolaborasi dan realisasinya antar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, antar Kementerian Kesehatan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, stakeholders terkait, komunitas lainnya untuk bersama-sama bisa meningkatkan pelayanannya dan ini semua tidak dapat terjadi kalau hanya saya yang menyuarakan, semuanya harus sama-sama bergotong-royong. Mungkin untuk sementara waktu bisa dari pilot project pemerintah daerah diharapkan nantinya ini bisa menjadi acuan untuk skala secara nasional dan dibuatkan public policynya.
Â
Hal yang selalu ada di mindset saya adalah "Kita penyintas thalassemia tidak berbeda kok dengan orang normal pada umumnya. Kita harus tetap semangat dalam menjalani kehidupan, pantang menyerah, selalu bersyukur, rajin beribadah dan berdoa. Kita punya mindset bahwa kita ini manusia yang sehat, normal, layak untuk hidup dan berprestasi seperti manusia normal pada umumnya dan jangan lupa untuk selalu minum obat kelasi besi dan ukur kemampuan diri kita, jangan selalu memaksakan kahendak dan ego."
Â
Lalu saya juga ada hal yang ingin saya katakan untuk memberikan semangat kepada kalian semua para penyintas Thalassemia. Saya hanya ingin berpesan kepada kalian semua untuk selalu berbuat dan menyebarkan kebaikan, kalian itu hebat, dan kuat. insyaAllah semoga kebaikan juga lah yang Allah akan datangkan untuk menghampiri kita "Always Smile and Enjoy EVERY movement".
Â
Karena dari fisik kita memang terlihat lemah tetapi otak berfikir, jiwa semangat dan tekad, asal kita mau berusaha pasti akan mengalahkan semuanya, Jangan putus asa teman-teman, selalu berkarya dan jangan mudah menyerah. Percayalah mimpi untuk mengegolkan kebijakan mengenai screening nasional thalassemia di Indonesia insyaAllah bisa kita capai. Kita harus percaya mukjizat itu pasti ada dan cobaan pasti akan berakhir, karena Allah tidak akan memberi cobaan ke kita diluar kemampuan hambanya. Rencana yang baik pada suatu hari nanti dapat menemukan titik terang dan rencana Allah pasti akan lebih indah.
Â
Penutup: sebagai pihak yang sudah membaca artikel ini, tolong lakukan bagianmu. Lakukan screening thalassemia dan bagikan betapa penting langkah pencegahan ini untuk ikut menurunkan jumlah angka penyintas menuju zero born thalassemia. #StopThalassemia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H