"Ya Tuhan aku tu capek kebanyakan tugas, selesai satu tumbuh seribu" *post
"Tuhan, kiranya donasiku dapat membantu mereka" *post
Apakah kalimat-kalimat tersebut sering anda temui di platform sosial media anda? Menurut anda, apakah kalimat-kalimat tersebut termasuk dalam ungkapan doa? Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut ditanyakan pada saya, maka saya akan menjawab "iya". Saya sering, bahkan hampir setiap hari selalu melihat kalimat-kalimat tersebut muncul dalam sosial media yang saya miliki, dan benar adanya bahwa ungkapan-ungkapan tersebut adalah ungkapan "doa".Â
Tetapi terkadang "doa-doa" tersebut terkesan aneh dan lucu, karena sesungguhnya arti dari doa sendiri adalah komunikasi kita dengan Tuhan yang mana seharusnya pesan yang disampaikan benar-benar diantara orang yang berdoa dengan Tuhannya saja. Namun, jika dilihat, ungkapan "doa" yang ada diatas sudah kehilangan makna sesungguhnya dari doa, karena sudah menjadi konsumsi publik (disebarkan secara luas).
Â
Posmodernisme
Sebelum kita berlanjut membahas topik diatas, kita akan mempelajari soal apa itu posmodernime. Posmodern adalah istilah yang memiliki arti "setelah modern". Munculnya posmodernisme sendiri diawali dengan reaksi kritik terhadap modernisme. Posmodernisme menganggap bahwa modernisme adalah realitas yang kontigen, tidak berpijak, beragam, tidak stabil, dan berkebudayaan yang penuh dengan sikap skeptis mengenai objektivitas kebenaran, sejarah, norma, dan koherensi identitas.
"Posmodernisme merujuk pada bentuk-bentuk kebudayaan, intelektual, dan seni yang kehilangan hirarki atau prinsip kesatuan serta disarati kompleksitas ekstrim, kontradiksi, ambiguitas, perbedaan, dan kesalingtautan sehingga sulit dibedakan dengan parodi" (Hidayat, 2019).
Seni dalam posmodernisme juga memiliki ciri-cirinya tersendiri, yaitu hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, runtuhnya perbedaan antara budaya tinggi dan budaya massa atau populer, maraknya gaya eklektis (gaya yang dianggap terbaik) dan campur aduk, munculnya kitsch (bentuk palsu dari seni yang meminjam esensi dari benda lain dan berusaha mendapatkan pengalaman yang serupa dari pengalaman yang didapatkan dari benda lain tersebut (Huda, 2018)), parodi, pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan pencipta seni, dan asumsi seni sebagai pengulangan, serta perpetual art. Kemudian dalam hal arsitektur, posmodernisme lebih mengacu pada perlawanan terhadap bentuk arsitektur modern.Â
Arsitektur posmodernisme disajikan dengan konsep bentuk asimetris, ambigu, naratif, simbolik, dan sebagainya yang merepresentasikan keunikan dan keanehan. Munculnya posmodernisme juga ditandai dengan adanya totalitas struktur sosial baru yang mana terjadi perkembangan teknologi yang pesat, terbentuknya masyarakat komputerisasi, dunia simulasi, dan hiperrealitas.
Culture Jamming
Culture jamming adalah salah satu bentuk dari representasi politik posmodern yang merupakan praktik yang merusak pesan dari media massa, terutama iklan, melalui artistik satir. Budaya ini berusaha untuk melawan konsumerisme dengan merombak logo, pernyataan fashion dan gambar produk guna menaikan kepedulian tentang konsumerisme, kerusakan lingkungan dan praktik sosial yang tidak setara. Culture Jamming bertujuan untuk mengacaukan intrumen teknobudaya yang menghasilkan sebuah kesepakatan melalui penggunaan simbol. Upaya yang dilakukan berupa perusakan semiotika media dengan mengubah pesan menjadi anti-pesannya sendiri (Barker & Jane, 2016, h. 241).
Kita akan kembali membahas tentang gambar yang diawal sudah ditampilkan dan juga gambar diatas. Gambar-gambar tersebut adalah contoh dari culture jamming dimana adanya upaya untuk melawan budaya konsumerisme untuk meningkatkan kepedulian dalam hal praktik sosial. Dalam kasus ini, budaya konsumerisme yang disinggung adalah konsumerisme terhadap sosial media. Di zaman sekarang, masyarakat tidak dapat dilepaskan dari sosial media. Bahkan segala hal terkesan harus 'dilaporkan' dalam sosial media, termasuk dalam hal berdoa. Kita tidak dapat mengetahui maksud dari pembuat "doa" dalam sosial media tersebut.Â
Namun, sebagai pengamat, terkadang saya merasa bahwa terdapat maksud terselubung yang disampaikan oleh si peng-uploud "doa" tersebut. Mungkin seperti niatan untuk memamerkan sesuatu, menunjukkan seberapa menyedihkan kehidupannya saat ini, menyindir salah satu pihak atau lebih, atau hanya sekedar bercerita saja. Tetapi semakin kesini, perbuatan tersebut (doa lewat sosial media) terkesan seperti menggantikan posisi Tuhan. Tuhan yang seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang suci dan privat menjadi tergantikan dengan sosial media. Hal tersebutlah yang ingin 'disindir' dari bentuk culture jamming ini.
Jika diamati lebih jauh dari sisi posmodernisme, gambar-gambar tersebut menunjukkan hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari. Seni berupa gambar yang awalnya dianggap sebagai representasi artistik tinggi berubah menjadi suatu hal yang umum dan dihubung-hubungkan dengan kejadian sehari-hari.Â
Kemudian, batasan antara budaya tinggi dengan budaya populer seakan-akan hilang. Hal tersebut dapat terlihat dari representasi awal bahwa seni adalah budaya yang terkesan mewah (tinggi) berubah menjadi hal yang dapat dinikmati oleh semua kalangan, serta kesan mewah yang seharusnya ada sudah terhilangkan, dan masih banyak lagi.
Sesungguhnya masih terdapat banyak contoh culture jamming yang ada di sekitar. Hanya diperlukan kejelian dan pemahaman terhadap maksud yang ingin disampaikan. Akhir kata, culture jamming bukanlah suatu bentuk representasi budaya yang salah. Melainkan, salah satu contoh upaya yang baik untuk menyadarkan masyarakat akan hal-hal yang tanpa disadari merupakan perbuatan yang salah atau berlebihan.
Daftar Pustaka
Barker, C., & Jane, E. A. (2016). Cultural studies: theories and practices (5th ed.). United Kingdom: Sage Publications.
Berdoa di sosmed [image] (n.d.). Diakses dari MemeAndRageComicIndonesia
Berdoa kok di social networking [image] (n.d.). Diakses dari lingganpamungkas.files.wordpress
Hidayat, M. A. (2019). Menimbang Teori-teori Sosial Postmodern: Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme. Jurnal of Urban Sociology, 2(1), 43-49.
Huda, M. N. (2018). Binus University. Diakses pada 30 Maret 2021, dari Binus(Kulka%2C%201996)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H