Bagi orang-orang yang sudah mengikuti jejak karir Demi Lovato, pertanyaan diatas bukanlah suatu hal yang sulit untuk dijawab. Melalui karya-karya yang Demi hasilkan sudah dapat merepresentasikan bahwa Demi Lovato adalah sosok wanita yang berani. Bahkan beberapa waktu dekat ini, Demi akan menayangkan film dokumenternya yang kedua berjudul “Dancing With the Devil” melalui media Youtube. Dalam film dokumenter tersebut, Demi akan menceritakan secara gamblang mengenai segala hal yang sudah Ia lalui. Baik dari segala permasalahannya terhadap kecanduan obat, kisah kesehatannya, trauma mental, dan lain-lain. Bahkan Demi secara berani menyatakan bahwa dirinya adalah seorang sexual assault survivor yang mana Ia kehilangan keperawanannya pada umur 15 tahun dengan cara dipaksa (Assuncao, 2021).
Sesungguhnya, kesempatan bagi kaum perempuan untuk dapat berbicara (speak up) dan menyatakan aspirasinya tidak serta merta terjadi sejak lampau. Jika diingat kembali, kondisi dimana kaum wanita berkesempatan mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki diperoleh melalui perjalanan yang panjang. Perjuangan tersebut dijuluki sebagai gerakan feminisme, yang mana gerakan ini merupakan salah satu bentuk dari subculture.
Subculture sendiri memiliki arti yaitu budaya yang berbeda dengan budaya dominan (Ryan, 2010, h. 88). Dimana di masa lampau, hak untuk bekerja, bersuara, berpolitik, dan sebagainya dipegang dan didominasi oleh kaum laki-laki. Namun, adanya gerakan feminisme membuat kaum perempuan pada akhirnya dapat memiliki hak yang sama dengan laki-laki, meskipun masih belum sepenuhnya berhasil didapatkan dan masih diperjuangkan hingga saat ini.
Demi Lovato juga termasuk salah satu dari banyak orang yang memperjuangkan hak kesetaraan perempuan. Pada tahun 2016, melalui akun Twitter-nya, Demi menyatakan bahwa Ia siap untuk memperjuangkan suara perempuan agar dianggap layak dan setara dengan laki-laki (Vulpo, 2016).
Adanya kebebasan untuk berekspresi melalui seni dan juga kebebasan bagi para wanita untuk menyuarakan pendapatnya benar-benar dimanfaatkan oleh Demi Lovato. Melalui lagunya berjudul “Commander in Chief”, Ia berani untuk mengungkapkan segala perasaan dan kekesalan yang Ia rasakan pada Presiden Donald Trump. Beberapa kalimat dalam lirik lagu “Commander In Chief”:
Haven’t they suffered enough?
But you can’t get enough of shuttin’ down the systems for personal gain
Dalam lirik tersebut, Demi menanyakan apakah penderitaan yang dirasakan oleh rakyat Amerika masih belum cukup sehingga Presiden Trump masih harus mematikan sistem untuk keuntungan pribadi?
We’re in a state of crisis, people are dyin’
While you line your pockets deep
Dalam lirik tersebut Demi mengherankan bagaimana seorang pemimpin dapat tetap berupaya untuk terus mencari keuntungan sedangkan rakyatnya menderita sengsara. Kekecewaan Demi tercermin dengan sangat jelas pada setiap kata dari lirik lagu tersebut. Sesungguhnya tanpa disadari, lagu ini semakin membuat amarah masyarakat Amerika Serikat memanas. Bahkan, dikarenakan karir Demi Lovato yang sudah melejit hingga ranah internasional dapat membuat lagu ini turut mempengaruhi pendengarnya dari negara-negara di luar Amerika Serikat ikut membenci Presiden Trump.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!