(Jika belum membaca part-part sebelumnya, disarankan untuk membacanya terlebih dahulu, makasihh)
"A-apa? Gedung Hiana?" Detektif Jane bertanya, beneran kita akan ke gedung tersebut??
"Iya Jane, saya hanya ingin..melihat apakah ada petunjuk atau tidak." Detektif Hall berkata. Walau ia bilang ia akan pergi ke gedung tersebut, tentunya harus ada yang menemaninya. Lagi pula, Gedung Hiana merupakan gedung yang berhantu bukan?
"Detektif, apakah engkau yakin?" Detektif Rick bertanya padanya, sepertinya belum siap kesana, rupanya sedikit gelisah.
"Kenapa Rick? Takut." Detektif Tess bercanda.
"Emang kamu nggak? Itu kan Gedung Hiana, gedung berhantu."
"Biasanya juga gak takut." Detektif Tess bercanda lagi, sedikit tertawa kecil.
"Saya yakin, jika memasuki gedung tersebut, lihat saja ke lantai." Detektif Hall meyakininya.Â
"Bagaimana kalau patungnya ada di lantai?" Detektif Jane menambahkan pertanyaan lagi.
"Kurasa tidak mungkin, Â tetapi jika memang ada, kita akan melihat bagian kepalanya saja, itupun cuman rambut jika ada."
"Kalo..patungnya terbaring??"
"Entahlah."
"Kita bahas saja besok, hari sudah gelap, toh?" Detektif Ted mengaju, Detektif Hall lanjut mengendarai mobil tersebut.
"Iya, semoga aja gak ada patung dilantai yak.." Detektif Jane berkata, seperti candaan tetapi ada sedikit keseriusan dalam situ.
Mereka tertawa di mobil tersebut, melihat jalanan yang cukup sunyi dengan lampu jalanan yang menyala. Pohon-pohon yang berada di pinggiran jalan dengan bulan purnama yang bersinar. Sepertinya itu malam yang tenang.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka yang sunyi tersebut, hanya terdengar suara radio saja, namun tidak canggung. Mereka sudah normal  dengan hal-hal seperti ini. Tetapi kadang juga, mereka akan berbicara tentang hal lain, setidaknya hal yang bukan pekerjaan.Â
Setelah perjalanan yang cukup lama, mereka pun tiba di perkantoran mereka. Semuanya pamit dan pulang.Â
.........
Benarkah..?
2 jam setelah mereka pulang..
Seseorang berlari dengan kencang, sosok yang lumayan tinggi dan memakai hoodie hitam dengan sepatu kats. Orang tersebut lari, tergesa-gesa ke Gedung Hiana.Â
"Haah..dasar Hall, bikin ribet aja!" Orang tersebut berkata, sambil menendang beberapa batu di tanah. Orang tersebut berubah menjadi sosok lain, sosok lain..?
Ia memasuki Gedung Hiana, apa yang ia lakukan?
-------------------
Suara tangisan anak bisa didengar di gudang Gedung Hiana, tangisan seorang gadis berumur 9 tahun.Â
"Shh..shh.. diam, dia bisa disini kapan saja katanya.." Seorang anak berumur 12 tahun mencoba untuk menenangnya.Â
Seseorang di kegelapan, tertawa sambil berjalan menuju mereka dengan tali. "Cerdas sekali engkau, Amabelle..."
"LEPASKAN KITA, BODOH!" Gadis tersebut melawannya, muak dengan orang tersebut.
"Haah..kau ini, cerdas, tapi otaknya gamau dipake." Orang tersebut mengambil tali yang ia bawa dan mengikat tangan mereka ke belakang.Â
Gadis yang paling tua, Amabelle, menendang-nendang kakinya, tidak mau diam begitu saja. Adeknya, Alana, tak bisa melakukan apa pun selain menahan tangisannya itu, mereka sudah dikurung untuk seminggu.
"Diem aja kenapa sih, heran, ngerepotin aja."Â
Gadis tersebut masih tak mau diam, dan mencoba untuk melarikan diri. Lagipula, pintunya sudah tak dikunci lagi.Â
"Biarin, kita mau pulang!" Ia berkata. "Kamu juga membiarkan kita kelaparan disini!"
"Aku masih beri kalian air toh?" Orang tersebut membantah sampai pada akhirnya ia mengeluarkan pisau tajam dan menggores pipinya.
"AHH!" Amabelle teriak kesakitan, pipinya berdarah. Orang tersebut berhasil mengikat tangan gadis tersebut.
"Huhu, lagian sih, gamau dengerin." Ia berkata sambil ngeledeknya dan mengambil satu tali lagi untuk mengikat tangan Alana.
"CECE!! DASAR ORANG JAHAT!" Alana, adek dari gadis itu teriak sambil menahan tangisannya.
Orang tersebut menghela nafas. "Nggak kakak, nggak adek, Â sama aja, sama-sama ngeselin."
Orang tersebut mendekati adeknya itu dengan senyuman seringai. "Aww, apakah adek ingin goresan yang cantik seperti kakakmu??" Ia bertanya secara sarkasme.
"Gak kan?" Ia berkata sambil mengikat tangannya. Setelah mengikat kedua tangan mereka, ia mengambil sarung masker dan menutupi mulut mereka. Mereka tak bisa berkata apa-apa.Â
"Ingatlah, ruangan ini, soundproof."
Lalu, ia mengunci pintu tersebut, pisaunya masih tergeletak di lantai ruangan.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H