Mohon tunggu...
Fidel Haman
Fidel Haman Mohon Tunggu... Guru - Guru/Bloger

Penikmat Seni Sastra dan Musik/Pemerhati Pendidikan - Budaya - Ekologi/Pencinta Filsafat - Teologi/Petualang - Loyal dan Berdedikasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu dan Tungku Api Kesayangannya - Bagian 2

16 Juni 2022   07:31 Diperbarui: 4 Maret 2024   09:50 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Explore Malang - FB

Lanjutan dari bagian 1.....

Setiap tindakannya adalah didikan bagiku. Demikian pula ketika di sela-sela memisahkan sayur dari makanan ternak, ia memandang sekitar lalu berkata: "Mongkis tong ember-ember sio ga, kudu lena usang ga" - (Bereskan segera ember-ember ini, hujan akan segera berhenti!" Terkesan sederhana tetapi mendalam. Dulu paham tak lebih dari sekadar kalimat suruhan tetapi kini arti dan maknanya luas dan mendalam.


Rumah kami adalah rumah kayu yang hampir 90% terbuat dari bambu. Tak butuh waktu bertahun-tahun untuk melihat kayu-kayunya lapuk dimakan rayap, dan otomatis menjadi reot.  Empat atau lima tahun adalah waktu paling jauh untuk dapat menjumpai rumah dalam keadaan aman, nyaman dan tanpa tetesan-tetesan air di kala hujan datang.

Atap yang terbuat dari bambu tidak menjamin 100% air tidak merembes masuk dan menetes ke dalam rumah, apalagi jika hujannya lebat dan berlama-lama. Cara praktis agar rumah aman dari becek adalah memastikan setiap tetes air tidak mengenai lantai. Maka ember bahkan nampan serta priuk pun berserakan dalam rumah bukan tanpa disengaja.

Apakah seorang ibu tahu isi hati sang anak yang duduk bersamanya sore itu? Tidak! Dan aku, saat berjuang keras untuk kembali ke masa lalu, walau sekadar mengingat isi hati saat itu, saya sampai pada jawaban, bahwa aku tidak memikirkan atau merasakan apa-apa, selain menerima itu apa adanya. Sebab sekian sering mengalaminya, selama itu juga saya terbiasa dengan keadaan. 

Sikap memberontak, menolak, bersungut-sungut dan meratapi keadaan hampir pasti tidak saya rasakan, selain menerima itu seada-adanya. Jika ibu mengira itu terjadi dalam hatin dan pikiranku, maka ibu salah. Dan ia tidak bisa tahu isi hatiku kala itu. Ini menurutku dari sisi aku yang dulu duduk di sampingnya di dekat tungku itu.

Tetapi siapa bisa menerawang isi hati sang ibu yang luas dan dalam. Hati yang selalu mencemaskan anak-anaknya dari keselamatan fisiknya hingga pikiran dan isi hatinya. Dan sore itu, di dekat tungku api kesayangannya, ia bertutur sekaligus menyiratkan pesan amat dalam.

"Bereskan segera ember-ember ini, hujan akan segera berhenti!" adalah pelajaran dan didikan pamungkas sore itu. Lebih dari sekadar menyuruh merapihkan ember, kata-kata sore itu membangun optimisme atau lebih dalam lagi berbicara tentang harapan. Ibu seakan mampu membaca pikiran dan hatiku terdalam, bukan hanya isi hati saat itu saja tetapi segala kemungkinan yang akan datang bahkan hingga hari ini dan seterusnya.

Maka jika ingin dirumuskan secara lain, dari hati yang maha luas dan dalam itu, terucaplah kata-kata ini sebagai sisi tersembunyi ataubtersirat dari yang disampaikannya di tungku api itu: Nak.. jangan cemas. Ini hanya sebentar. Semuanya akan berlalu dan hari baik akan segera tiba. Bergegaslah menjemputnya!".

Ibu menjanjikan harapan yang baik bagi anaknya di masa depan. Bahwa keadaan itu tak selamanya tinggal tetap. Semuanya akan berubah dalam waktu. Dan bagi anaknya, dalam seruan itu, ia menyertakan doa dan harapan agar hidup baik di masa depan dan tidak tinggal tetap seperti keadaan mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun