Mohon tunggu...
Fida Afra’ Effendi
Fida Afra’ Effendi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa Yogyakarta yang suka matcha dan tidak suka gudeg

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Membangun Toleransi Multikultural Generasi Z melalui Literasi Digital

3 Juli 2024   18:27 Diperbarui: 5 Juli 2024   13:20 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penggunaan teknologi. Sumber: John Schnobrich di Unsplash 

Pada era digital saat ini, yang ditandai dengan internet, perangkat mobile, dan perangkat lunak interaktif, akses terhadap informasi menjadi semakin luas dan cara kita mengonsumsi, memproses, serta memahami informasi telah berubah secara drastis. 

Kemajuan teknologi digital abad ke-21 mengubah cara masyarakat berkomunikasi, berinteraksi, dan berbagi informasi.

Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dari total populasi 274,9 juta jiwa, sebanyak 73,7 persen menggunakan internet dan 170 juta orang aktif di media sosial. 

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, menyumbang paling banyak yaitu 34,4% dari pengguna internet di Indonesia.  Generasi Z mendominasi pengguna internet karena mereka sangat terbuka terhadap inovasi dan perkembangan teknologi.

Kemudahan akses informasi dan keterbukaan Generasi Z ini telah mengakibatkan pergeseran dari paradigma pendidikan tradisional ke metode pembelajaran yang lebih dinamis, fleksibel, dan terintegrasi dengan teknologi. 

Namun, di tengah perkembangan ini, multikulturalisme menghadapi tantangan baru sebab internet dapat memunculkan ancaman baru seperti penyebaran informasi tidak akurat yang dapat menyebabkan intoleransi antarbudaya.

Digital Natives dalam Dunia yang Beragam

Dari ponsel, media sosial, hingga kecerdasan buatan, Generasi Z merupakan generasi pertama yang lahir dan tumbuh di dunia ketika teknologi dan dunia digital sudah berkembang pesat. 

Marc Prensky (2001), seorang penulis dan pembicara terkemuka dari Amerika yang berfokus pada bidang pendidikan, memperkenalkan istilah "digital natives" untuk menggambarkan generasi siswa muda yang tumbuh bersama teknologi.

Generasi Z tidak menganggap teknologi sebagai sebuah cara untuk melarikan diri dari dunia nyata, melainkan sebagai bagian integral dari kehidupan mereka. 

Mereka melihat bahwa batasan antara kehidupan "digital" dan "nyata" sangat kabur. Bagi generasi ini, kedua pengalaman tersebut tidak terpisah, melainkan saling terhubung dan berinteraksi dalam semua aspek kehidupan.

Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini memiliki banyak pengaruh pada paradigma Generasi Z. Paradigma yang biasanya hanya didapatkan di bangku sekolah, kini didapatkan juga dari pengalaman interaktif dengan teknologi di sekitar mereka. 

Gen Z mendapatkan paparan berbagai informasi, berkomunikasi, dan berinteraksi lintas budaya dengan lebih intens.

Indonesia merupakan negara multikultural dengan lebih dari 300 suku, 200 bahasa daerah, dan berbagai aspirasi kultural yang beragam. 

Hal ini mendorong perlunya sikap toleransi dalam interaksi sosial, sebagaimana nilai-nilai pendidikan multikultural yang menekankan pentingnya menghormati perbedaan budaya, bahasa, suku, dan agama.

Generasi ini memiliki keragaman ras dan etnis yang paling tinggi, sehingga sulit untuk membuat generalisasi yang dapat diterapkan secara umum (Rue, 2018). 

Keragaman etnis terpampang bebas di internet memberikan peluang sekaligus tantangan dalam multikulturalisme. Gen Z juga menghadapi berbagai disrupsi informasi dari internet yang membuat mereka rentan terhadap misinformasi dan stereotip negatif

Tantangan besar bagi multikulturalisme di era teknologi adalah apropriasi budaya dan penafsiran yang beragam. 

Teknologi memudahkan akses, berbagi, dan peniruan elemen budaya dari kelompok lain, menimbulkan kekhawatiran tentang penghargaan terhadap asal-usul dan konteks budaya, serta potensi penggunaan yang tidak etis. Hal ini yang membuat pendidikan multikultural yang intensif bagi Gen Z penting (Habibah, Kartika & Rizqi, 2023).

Pendidikan multikultural adalah proses pembangunan kapasitas manusia yang menghargai keragaman dan perbedaan dalam masyarakat, yang berasal dari prinsip pluralisme budaya dan kesetaraan dalam sistem pendidikan. 

Pendidikan ini mengajarkan pentingnya menerima dan mengelola perbedaan dengan memperlakukan semua individu secara adil, tanpa memandang perbedaan sikap atau perilaku mereka (Kusumaningrum et al, 2022).

Pentingnya Literasi Digital bagi Para Digital Natives 

Era digital membawa implikasi besar bagi sektor pendidikan multikultural, dengan ruang kelas tradisional yang semakin tergeser oleh interaksi lintas budaya di ruang internet. 

Terutama setelah pandemi Covid-19 pada tahun 2020 yang mempercepat adaptasi siswa secara global terhadap pembelajaran daring, mengakibatkan siswa menghabiskan lebih banyak waktu dalam aktivitas online.

Ancaman yang tidak terlihat dari internet adalah kehadiran algoritma. Algoritma berfungsi sebagai sistem mekanisme yang memberikan rekomendasi konten kepada pengguna berdasarkan perilaku pribadi mereka. 

Sistem ini cenderung memisahkan pengguna ke dalam "gelembung" informasi yang memperkuat sudut pandang yang sudah ada dan membatasi eksposur mereka terhadap sudut pandang yang berbeda.

Algoritma juga dapat memperkuat stereotip dan bias budaya yang ada di platform digital. Dalam konteks apropriasi budaya, algoritma bisa memengaruhi bagaimana budaya-budaya minoritas direpresentasikan dalam media digital. 

Jika algoritma tidak dirancang dengan baik, hal ini dapat mengakibatkan penggunaan yang tidak etis terhadap budaya lain, tanpa mempertimbangkan keaslian dan konteks budaya yang sebenarnya.

Masalah yang lebih dalam adalah bahwa algoritma sering kali merupakan "kotak hitam", di mana pengguna tidak memiliki transparansi atau pemahaman yang jelas tentang bagaimana keputusan diambil atau konten disajikan (Habibah, Kartika, & Rizqi, 2023). 

Ketidakjelasan ini meningkatkan risiko manipulasi informasi atau penyalahgunaan yang dapat memperburuk polarisasi dan konflik sosial dalam masyarakat yang memiliki keberagaman budaya seperti Indonesia.

Oleh karena itu dalam paparan budaya dunia yang beragam, para digital natives ini memerlukan pendidikan multikultural yang berbasis digital. 

Ini tidak hanya mencakup pemahaman tentang keberagaman budaya dan penghargaan terhadap perbedaan, tetapi juga kemampuan untuk menghadapi dan menilai informasi yang mereka konsumsi secara kritis atau yang lebih sering disebut sebagai literasi digital.

Literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses, mengelola, memahami, mengintegrasikan, berkomunikasi, mengevaluasi, dan menciptakan informasi secara aman dan sesuai melalui teknologi digital untuk pekerjaan, pekerjaan layak, dan kewirausahaan (UNESCO, 2018). 

Literasi digital adalah salah satu kekuatan pendorong dalam pengembangan era digital, serta pilar penting dalam pendidikan umum (Tran et al, 2020).

Sebagai digital natives, Gen Z memiliki kemampuan akses dan operasional yang tinggi dalam menggunakan perangkat digital serta sering menggunakan teknologi dalam waktu yang lama, yang membuat banyak orang mengira bahwa mereka memiliki literasi digital yang baik. 

Namun, penelitian menunjukkan sebaliknya; meskipun mahir dalam teknologi, Generasi Z sebenarnya memiliki tingkat literasi digital yang rendah (Limilia, Gelgel, & Rahmiaji, 2022).

Literasi digital diperlukan untuk membantu Generasi Z dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada dalam lingkungan digital saat ini. Tanpa literasi digital yang memadai, Generasi Z rentan terhadap berbagai ancaman seperti misinformasi, stereotip budaya, dan bahkan penyalahgunaan teknologi untuk tujuan yang tidak etis.

Dalam konteks Indonesia yang multikultural, literasi digital dapat berperan sebagai alat untuk memperkuat toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan budaya. 

Oleh karena itu, dengan membangun literasi digital yang kuat, Generasi Z dapat lebih siap menghadapi kompleksitas dunia digital modern dan berkontribusi positif dalam mempromosikan harmoni sosial serta pembangunan yang berkelanjutan.

Selain itu, penting untuk mengatasi masalah rendahnya literasi digital di kalangan Generasi Z Indonesia dengan mengembangkan sebuah program literasi digital yang menyeluruh dan terintegrasi. 

Generasi Z perlu dilengkapi dengan keterampilan untuk membedakan antara informasi yang valid dan misinformasi, pelatihan dalam menggunakan teknologi secara aman, mempromosikan perilaku yang etis, menghormati dalam interaksi digital untuk mengatasi bias dan stereotip yang dapat diperkuat oleh algoritma digital.

Melalui pendidikan multikultural yang berbasis digital dan penguatan literasi digital, diharapkan Generasi Z dapat menjadi agen perubahan yang memajukan nilai-nilai inklusi, penghargaan terhadap keberagaman budaya, dan keadilan dalam era digital yang terus berkembang.

Referensi:

Habibah, S., Kartika, R., & Rizqi, A. (2023). Multiculturalism transformation in the technological age: Challenges and opportunities. Digital Theory, Culture & Society. 1. 81-87.

Kusumaningrum, D. N., Adhisty, L., Putri, D. E., & Muzayyana, W. (2022). Analysis of the Importance of Inculcating Nationalism and Anti-racism Values on Multicultural Education for Generation Z in Indonesia. Journal of Islamic World and Politics, 6(1), 59-69.

Limilia, P., Gelgel, R. A., & Rahmiaji, L. R. (2022). Digital Literacy Among Z Generation in Indonesia. European Proceedings of Social and Behavioural Sciences.

Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants part 1. On the horizon, 9(5), 1-6.

Rue, P. (2018). Make way, millennials, here comes Gen Z. About Campus, 23(3), 5-12.

Suyahman, S. (2016). Implementation of Multicultural Education In Indonesia Between Expectations and Reality. Proceeding ISETH (International Summit on Science, Technology, and Humanity), 202-215.

Tran, T., Ho, M. T., Pham, T. H., Nguyen, M. H., Nguyen, K. L. P., Vuong, T. T., ... & Vuong, Q. H. (2020). How digital natives learn and thrive in the digital age: Evidence from an emerging economy. Sustainability, 12(9), 3819.

UNESCO Institute for Statistics. (2018). A Global Framework of Reference on Digital Literacy Skills for Indicator 4.4.2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun