"Menurutku kerja di kapal itu nggak terlalu berat-berat amat Pras, pikiranlah yang berat". Ucap Manggih di gelapnya kamar. Suaranya datar parau.
"Pekerjaan sekedar aktifitas terulang belaka. Siapapun bisa menjalani". Lanjutnya.
"Iya sich, yang berat itu kan pola dan manajemen perasaan bro. Susah dijelaskan tapi kita menjalaninya". Sahut Pras dari upper bed.
"Keberadaan kita ini berada jauh dari keluarga, orang terdekat, orang terkasih. Hal ini menjadikan pikiran itu terkadang ngelantur. Memberontak dan menolak harus bisa survive di sini. Inginnya segera kembali pulang. Meninggalkan yang di sini. Menjauhui mimpi buruk karena tekanan manajemen". Pras bersuara lirih. Menandakan antara sadar dan tidak sadar menuju mimpi panjang perantau. Selain itu, Pras seperti menumpahkan unek-uneknya yang mayoritas dirasa sama oleh yang lain. Dia tumpahkan ke bawah seperti halnya bantal yang kerap jatuh di tengahnya tidur. Kemudian Manggih melemparkannya ke atas. Berulang lagi jatuh dan dilemparkanya lagi ke atas.
Begitulah malam itu curhat yang berulang di ujung yang sama-sama tidak diketahui. Â Keduanya lelap tak sadar di kata-kata yang esok harinya tak lagi diingat.
Bagaimana Manggih menjalani kedepannya? Pasrah pada kehendak Yang Kuasa jauh lebih bisa menentramkan dan menyemangati untuk kembali bangkit esok hari. Rutinas dilewati lagi. Manggih kembali dalam kesadaran  bahwa saat ini tetap untuk sebuah perjuangan demi taraf hidup keluarga dan perjuangan mencari modal. Dia masih terinspirasi dengan quote yang ditemukannya di bandara Schipol Belanda silam. "The best time is present time".
Hari berganti. Manggih duduk di salah satu kursi di area kerjanya. Di penghujung kegiatan shift terakhir. Hampir semua orang telah berlalu meninggalkan area.
Cinta !!! ... itu kata-kata yang sesaat didengar Manggih dari Bella. Terngiang dan terbawa hingga penghujung shift kerja hari itu. Â
 "Terakhir ketemu di Indonesia waktu itu, aku hanya sedikit bertukar pandang. Aku tak paham kiasan di sorot matanya. Yang kutangkap hanyalah beberapa ungkapan terkait  realitanya masa lalu. Masa di mana ia dalam keraguan atas sebuah hubungan dengan orang lain.  Masa yang sempat ia ceritakan sebagai kenyataan yang membuatku ingin melengkapi kekuranganya. Kalau ada yang menyakiti aku ingin menyembuhkan. Kalau harinya membuat suntuk aku ingin datang dan menghiburnya. Kalau ia mengagumi hal-hal indah aku ingin menyatakan bahwa semua itu tepat untuknya". Sambil membuka kaleng coca cola Manggih berusaha menepis pikiranya yang melantur jauh kesana.
"Benarkah ia telah menutup hatinya untuk orang lain karena sebuah masa lalu?". Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam benak Manggih. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H