Hari masih siang, tapi hujan sudah turun menambah suasana sendu. Di ruang depan rumah putih bergaya Belanda ini, semua orang berkumpul dengan pakaian serba hitam. Dari pojok sini aku bisa melihat sekeliling ruangan, juga peti mati di sudut lainnya. Disitu jasad Joe terbaring. Disitu juga pandangan Elen tertuju. Tubuhnya tak bergerak seperti patung. Sekarang mungkin semua orang berpikir dia keterlaluan, mungkin juga berpikir kalau dia pembawa sial. Mungkin saja, jika aku membeberkan cerita kematian Joe pada semua orang, sayangnya hingga detik ini, hanya aku, Elen, dan Joe yang tak bernyawa yang tahu.
Joe dan Elen sudah pacaran selama 3 tahun. Joe, seorang computer geek, dan Elen suka menjelajah alam. Mereka berdua dipertemukan dari kesukaannya pada desain grafis. Elen berbakat dalam menggambar, dan, Joe, tetap pada kemampuannya bermain desain grafis dengan komputerisasi. Bagi Joe, hanya ada dua cinta di dunia ini, komputer dan Elen. Aku sendiri mengenal Joe sejak di bangku kuliah. Kami sama-sama belajar di Fakultas Ilmu Komputer.
Di beranda rumah tujuh hari yang lalu, Joe menggedor pintu rumahku, keras sekali. Aku ragu-ragu membukanya, kukira dia bakal menghajarku di luar pintu, tapi tetap saja aku membukanya.
“Kenapa Joe?”
“Bot, tolongin gue, dong. Gue pinjem kantong Doraemon elu boleh ya?” Tas besar dan peralatan gunung buat dia adalah sebuah kantong Doraemon. Aku merasa khawatir sekaligus penasaran. Joe, sama sekali nggak pernah mendaki gunung, jangankan gunung, lapangan bola saja belum pernah dia injak. Hidup Joe cuma berkelumit di depan alat-alat elektronik semacam komputer. Kenapa tiba-tiba dia minta alat gunung?
“Masuk dulu Joe.” Joe jalan di belakangku dengan gelisah. “Gue pinjemin kantong Doraemon gue, tapi elu harus bilang dulu permintaan lu apa.”
“Komputer gue, Bot! Oke, ini emang salah gue sih, gue nggak ngehubungin Elen seminggu full. Terus, dia kemaren dateng ke rumah gue. Dia jebak gue, dia nyuruh gue keluar beliin dia pizza kesukaannya. Butuh dua jam. Pas gue balik, dia udah nggak ada, gue liat ke komputer, dia ninggalin note. Dia ambil CD yang gue buat khusus buat nyalain komputer itu. Dia marah karena gue lupa kalo hari sebelumnya itu anniv gue sama dia.” Kepingan disket itu berharga sekali baginya, butuh 5 bulan penuh untuk menyelesaikan aplikasi yang ada didalam CD itu.
“Terus?”
“Dia bakal balikin CD itu, tapi dia mau gue kasih dia bunga Edelweis yang masih seger.”
“Banyak yang jual kali Joe! Si Elen sejak kapan jadi fanatik sinetron gitu? Sampe minta elu kasih bunga nggak jelas segala.”
“Masalahnya dia bukan cuma minta itu, Bot. Dia minta gue foto dengan tulisan gue sayang dia di atas gunung Merbabu.”
Berbagai alternatif solusi lain kutawarkan padanya, aku terus meyakinkannya untuk tidak melakukan pendakian itu. Joe dan aku berdebat, sampai akhirnya aku hanya bisa menarik napas panjang. “Yauda, elu tunggu sini, gue siapin kantong ajaib buat elu.”
Enam bulan sebelum Joe menggedor pintu rumahku untuk terakhir kalinya, ia pindah ke sebuah rumah minimalis dengan pemandangan yang bagus, begitu yang ia ceritakan padaku. Dengan semangat yang sudah sepaket dengan sifat keras kepalanya, dia menceritakan tiap-tiap sudut rumah baru yang dibeli dengan hasil jerih payahnya selama bekerja siang malam membuat program-program komputer. Satu hal yang tidak lepas dari rasa kagumnya, adalah komputer yang ditinggalkan pemilik sebelumnya di rumah itu.
“Kemaren, Bot, gue dapet pesenan chip untuk produk baru perusahaan gue. Berhubung komputer gue belum dipindah dari rumah ortu gue, gue pake komputer punya eks pemilik rumah. Komputernya keren, Bot! Startupnya bisa ngenalin elu pemiliknya apa bukan, ya, gue coba tanya ke makelar rumah buat kontak eks pemilik rumah, tapi doi nggak punya. Kabar buruknya, gue harus nunggu sampe barang-barang paket dari rumah ortu gue sampe ke rumah gue, tapi kabar baiknya, gue mungkin bisa bikin program buat ngebobol komputer itu dan melajarin sistemnya. Gila, Bot, sistem kayak gitu kalo gue jual bisa mahal banget, tuh.”
Disamping kegilaannya terhadap komputer, Joe juga sangat tertarik dengan nominal yang akan dia terima dari hasil karyanya. Tepat setelah mendapatkan komputernya kembali, Joe pontang-panting buat program pembobol supaya bisa masuk ke Desktop komputer. Tapi ternyata nggak gampang. Butuh dua bulan sampai aplikasi yang didesain Joe berhasil membobol masuk cuma untuk Login usernya, sedangkan komputer itu meminta suara dari pemakai komputernya untuk menjalankan perintah didalam setiap aplikasi. Tiga bulan setelah itu, aku menerima pesan singkat darinya. Joe mengabarkan keberhasilannya mendapatkan sistem komputer yang ia cari, dan menyuruhku datang esok paginya.
Beberapa kali aku mendatanginya, aura rumah itu terasa tidak menyenangkan. Terlebih setelah mendengar cerita Joe di Minggu pagi hari itu.
“Komputer itu punya nyawa, Bot!” sontak aku tersedak. “Dua hari lalu, sekitar dini hari, gue berhasil masuk ke command prompt-nya dan ngunduh aplikasinya ke hard disk gue. Gue bikin kopi sambil nungguin proses unduhannya selesai. Tiba-tiba aja pas gue balik, muncul kotak prompt dan isinya nyapa gue.”
“Ebot, Ebot, plis jangan pikir gue gila. Prompt itu udah di program sama pemilik aslinya. Panjang kalo gue ceritain. Pemiliknya, entah gimana caranya, menanamkan karakter pacarnya di dalam komputer itu. Gue bener-bener berasa ngobrol sama manusia beneran.”
“Gue belum bisa ngelepas komputer itu, Bot. Nggak dengan Hima didalamnya. Gue tau bakal butuh waktu lama, tapi gue berniat duplikasi sistem itu buat gue tanamin karakter baru. Butuh waktu lama, pasti, dan biaya yang banyak. Karena itu gue butuh bantuan elu, Bot, gue masih punya satu deadline lagi dan gue nggak bisa ngerjain dua hal ini bersamaan.”
Sejak itu aku sibuk menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan pemrogramanku sekaligus menyelesaikan pekerjaannya. Komunikasiku dengan Joe tidak terlalu banyak, aku pun tak ingin mengganggunya.
Elen mendekatiku. “Bot.” Wajahnya murung. “gue udah bukan siapa-siapa Joe.”
“Karena dia nggak bawain elu bunga edelweis?” Kening Elen mengerut “Maksud lo, Bot?”
“Iya, karena dia nggak bisa foto tulisan dia sayang elu di Gunung Merbabu. Gitu kan?”
“Bot? Lo ngomong apaan sih?!”
Aku menceritakan kejadian seminggu sebelumnya di rumahku.
“Demi apapun, Bot! Gue nggak bakal segila itu! Sebulan yang lalu, Bot, Joe mutusin gue. Bayangin, Bot, gue sakitnya kayak apa. Gue nggak mungkin minta hal semacam itu ke mantan gue yang gimana pun! Gue juga nggak tau kenapa dia tiba-tiba mutusin gue.
'Jadi gini, tepat dua minggu sebelum anniv gue sama dia, gue ke rumah dia. Dia pergi beliin gue pizza. Iya, gue iseng di rumah dia, gue buka komputer, gue nemuin semacam chat di komputer itu. Setelah dia pulang, gue coba tanya ke dia, disitu kita bertengkar, dia bilang gue nggak bisa ngertiin dia, gue boring, dan lain sebagainya sampe keluar kata putus dari mulut dia. Setelah itu, Bot, sedikitpun gue nggak nyoba ngehubungin dia. Gue tersinggung berat. Sampe beberapa hari yang lalu, dia tanya gue soal pendakian, dia juga mau pinjem peralatan gue, tapi gue nggak kasih. Menurut elu deh, ngapain juga gue kasih. Gue nggak tau gimana ceritanya dia bisa meluncur kesana. Gue juga nggak tau tujuan dia apa. Tapi yang pasti, sedikitpun gue nggak pernah minta apapun dari dia setelah itu. Pertama dan terakhir kali gue denger kabar tentang dia itu dari elu, Bot.” Elen mulai terisak. Aku menatap Elen tanpa kata. Mematung. Bukan dia pembawa sialnya, bukan dia yang keterlaluan, bukan dia pembunuhnya.
Aku yang meminjamkannya peralatan pendakian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H