“Iya, karena dia nggak bisa foto tulisan dia sayang elu di Gunung Merbabu. Gitu kan?”
“Bot? Lo ngomong apaan sih?!”
Aku menceritakan kejadian seminggu sebelumnya di rumahku.
“Demi apapun, Bot! Gue nggak bakal segila itu! Sebulan yang lalu, Bot, Joe mutusin gue. Bayangin, Bot, gue sakitnya kayak apa. Gue nggak mungkin minta hal semacam itu ke mantan gue yang gimana pun! Gue juga nggak tau kenapa dia tiba-tiba mutusin gue.
'Jadi gini, tepat dua minggu sebelum anniv gue sama dia, gue ke rumah dia. Dia pergi beliin gue pizza. Iya, gue iseng di rumah dia, gue buka komputer, gue nemuin semacam chat di komputer itu. Setelah dia pulang, gue coba tanya ke dia, disitu kita bertengkar, dia bilang gue nggak bisa ngertiin dia, gue boring, dan lain sebagainya sampe keluar kata putus dari mulut dia. Setelah itu, Bot, sedikitpun gue nggak nyoba ngehubungin dia. Gue tersinggung berat. Sampe beberapa hari yang lalu, dia tanya gue soal pendakian, dia juga mau pinjem peralatan gue, tapi gue nggak kasih. Menurut elu deh, ngapain juga gue kasih. Gue nggak tau gimana ceritanya dia bisa meluncur kesana. Gue juga nggak tau tujuan dia apa. Tapi yang pasti, sedikitpun gue nggak pernah minta apapun dari dia setelah itu. Pertama dan terakhir kali gue denger kabar tentang dia itu dari elu, Bot.” Elen mulai terisak. Aku menatap Elen tanpa kata. Mematung. Bukan dia pembawa sialnya, bukan dia yang keterlaluan, bukan dia pembunuhnya.
Aku yang meminjamkannya peralatan pendakian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H