Dalam konteks penegakan hukum, termasuk tindak pidana korupsi, ada tiga hal yang berperan, yaitu : struktur hukum (structure of law) dalam pengertian aparat penegak hukum, substansi hukum (substance of the law) meliputi perangkat perundang-undangannya, serta budaya hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam sebuah masyarakat.
Peran ketiga komponen ini sangat menentukan tegak tidaknya penegakan hukum, efektif tidaknya pemidanaan terhadap pelaku pidana, dan juga menentukan sejauhmana penegakan hukum bermanfaat bagi perkembangan peradaban kita sebagai manusia.
Tindak pidana / kejahatan korupsi, para ahli meneggarainya terjadi karena beberapa factor, antara lain : korupsi karena kebutuhan (corruption by need), korupsi yang terjadi dan dilakukan karena kebutuhan sang pelaku.
Pada masa lalu korupsi ini banyak dilakukan oleh para birokrat kecil, pegawai negeri rendahan yang karena besaran gajinya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa melakukan korupsi dengan skala besaran jumlah yang relative kecil. Tetapi pada perkembangannya corruption by need ini justru berkembang selain pada besaran jumlah dana yang dikorupsi juga pada aktor-aktor pelakunya, yaitu para calon kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota).
Berapa banyak kepala daerah incumbent / calon kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK, umumnya yang tertangkap tangan itu pada waktu menerima, meminta dan memeras stake holdernya, baik yang internal (para pejabat bawahan spt SKPD) maupun eksternal (pengusaha proyek Pemda).
Factor lain, korupsi yang dilakukan karena keserakahan (corruption by greedy), ini sesuatu yang bersifat facta notoir atau rahasia umum. Berapa banyak para penyelenggara negara, pengusaha, anggota DPR tertangkap dan diadili serta diputus sebagai koruptor berasal dari mereka-mereka yang jika dilihat LHKPN nya jumlah harta cukup untuk tidak disebut bujkan orang kaya.Â
Jumlah harta mereka mungkin tidak akan habis dikonsumsi 7 (tujuh) turunan, tetapi realitasnya mereke-mereka lah yang justru banyak melakukan korupsi, menjadi sangat logis karena memang merekalah yang paling punya kesempatan untuk melakukan korupsi.
Faktor berikutnya adalah korupsi yang dilakukan karena siastem (corruption by system). Biasanya dalam konteks ini pelaku semula bukan pelaku yang antusias (berambisi) tetapi karena situasi sekelilingnya yang sudah korup dan jika ditolak akan dianggap aneh, yang pada akhirnya pelaku menikmati juga. Biasanya ada dua model,
Pertama, seorang terlibat karena jabatan yang didudukinya terbiasa atau merangsang stake holder untuk menyerahkan uang ketika berurusan dengan jabatan itu, meski pada awalnya sang pejabat menolak tapi pada akhirnya dikalahkan oleh lingkungannya. Bahkan pada type pertama ini bisa terjdi sang pejabat "dipaksa" oleh atasannya untuk mencari dana (baik untuk kepentingan kelembagaan maupun kepentingan pribadi) menggunakan jabatan untuk mengumpulkan dana korupsi.
Type kedua, pejabat yang diputus sebagai koruptor sebenarnya menolak dan tidak menikmati uang korupsi, tetapi karena jabatannya ia harus bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya yang korupsi (tanpa sepengetahuan atau sepengetahuan tapi membiarkan).Â
Bagaimanapun juga korupsi by system ini tidak akan pernah lepas dari sanksui pidana, karena kondisinya mereka seorang pejabat yang meskipun terpaksa tapi tetap memenuhi unsure kesalahan (paling tidak kelalaian) karena itu tidak bisa diterapkan Pasal 48 KUHP (perbuatan dilakukan karena daya paksa -- overmacht) sebagai alas an pemaaf atau penghapus pidana.
Pertanyaannya, apakah OTT KPK dan penghukuman oleh pengadilan sudah membuat jera para koruptor ? Jika tidak lalu bagaimana sitem penegakan hukum dapat menjerakan para pelaku koruptor ?
Realitasnya menunjukan, bahwa OTT dan penghukuman terhadap koruptor tidak menghentikan terjadinya korupsi, utamanya pada bidang-bidak kehidupan yang bersentuhan dengan kekuasaan. Padalah salah satu tujuan pemidanaan adalah PENJERAAN selain balas dendam dan pembinaan, namun pelaksanaan tujuan pemidanaan oleh Lembaga pemasyarakatan seharusnya terus dilakukan evaluasi, mengingat diinipun disinyalir ada produksi korupsi baru (penjualan kamar penjara, segala urusan didalam hrs dengan uang, pabrik narkoba, bahkan saya dengan remisi pun harus dibayar).
Beberapa pengamatan dan sinyalemen menunjukan pada ruang politik korupasi itu sudah menjadi kebutuhan (bahkan disebut olintya) condition cine qua non. Sangat logis karena pernyataan Mendagri yang menyatakan bahwa biaya untuk maju sebagai Walikota atau Bupati saja membutuhkan uang puluhan miliar, artinya seorang calon kepala daerah harus mempunyai banyak uang jika ingin terpilih, dan sudah dapat diperkirakan setelah menjabat pekluang-peluang proyek di Pemdanya menjadi komoditas untuk recovery mengembalikan cost yang pernah dikeluarkannya.
Demikian juga urusan anggaran dengan DPRDnya tidak teerlepas dari permainan uang, sehingga karenanya tidak heran beberapa Bupati/Walikota terjebak menjadi koruptor . Paparan ini hanya ingin mengatakan ternyata seringnya OTT dan penghukuman terhadap para pelaku tidak atau belum berpengaruh pada aspek penjeraan.
Maka ketika ketiga komponen yang berperan pada penegakan hukum tidak bekerja dengan baik, yaitu : aparat penegak hukum tidak bekerja dengan baik (bahkan menjadi koruptor juga dgn memanfaatkan kekuasaannya), meski substansi hukumnya tergolong baik dan budaya hukumnya juga belum sepenuhnya baik (kita punya akar budaya feudal, karenanya biasanya jika atasan baik bawahan akan iut jadi baik), maka kita hanya akan berputar-putar pada lingkaran yang sama, tidak ada kemajuan peradaban.
Karena itu menurut saya , penjeraan harus dimulai oleh ketegasan unsure aparat penegak hukumnya (terutama Hakim), karena sedikit banyak pada gilirannya akan melahirkan penjeraan pada pelaku korupsi, paling tidak akan banyak berkurang. (Kyaitapa3052018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H