dokKemajuan teknologi informasi komunikasi membawa ikutan tidak hanya manfaat yang positif tetapi juga memberikan dampak yang negative. Lalu lintas informasi begitu cepat dimana setiap orang dengan sangat mudah memproduksi informasi, melalui beberapa jenis media sosial seperti facebook, twitter, SMS, whatsapp dan lain-lain. Saking cepatnya, filter atas muatan komunikasi seringkali terabaikan.
Informasi melalui media sosial dan elektronik sangat berpengaruh terhadap emosi, perasaan, pikiran  bahkan tindakan seseorang atau kelompok dalam masyarakat. Karena itu jika informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi yang tidak akurat bahkan informasi informasi bohong (hoax) dan  dengan judul yang sangat provokatif akan mengiring pembaca atau penerima kepada pikiran dan opini yang negatif.Â
Opini negative ini bisa berupa fitnah, penyebaran kebencian (hate speech) dan hal-hal lain yang tidak benar dan merugikan orang lain. Kemungkinan akibat lain yang akan terjadi adalah penyerangan oleh satu pihak kepada pihak lainnya dan membuat orang menjadi ketakutan, terancam dan merugikan pihak yang diberitakan sehingga selain akan  merusak reputasi juga dapat menimbulkan kerugian materi.
 Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sampai dengan Agustus 2017 menyebut hampir 6.000 situs internet telah diblokir. Situs-situs yang diblokir tersebut kebanyakan terkait penyebaran hoax, yang didominasi pornografi. kemudian hoax, ujaran kebencian, judi, penipuan, dan radikalisme,.[3] Persoalannya apakah penutupan situs-situs oleh Kominfo itu sudah cukup efektif melawan Hoax ?  Atau sejauhmana penegakan hukum dapat meminimalisir Hoax dan dampaknya di masyarakat ?
Hoax dalam perspektif hukum
Hoax dalam bahasa Inggris berarti: tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu atau kabar burung. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hoax merupakan kata yang berarti ketidak benaran suatu informasi.
Hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. Suatu pemberitaan palsu berbeda dengan misalnya pertunjukan sulap; dalam pemberitaan palsu, pendengar/penonton tidak sadar sedang dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya ditipu (Wikipedia, n.d.).
Ada beberapa peraturan perundang-undangan untuk melawan dan mencegah meluasnya dampak negatif hoax, yaitu antara lain Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis
Pasal 28 UU ITE :
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasiyang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). (Hukuman maksimal 6 tahun dan Rp.1 milyar)
Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946
   (1). Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja
       menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi
       tingginya sepuluh tahun;
Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun."
Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana
Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.
Â
Pasal 311 KUHP
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 378 KUHP
      Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
      melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
      muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
      barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,
      diancam dengan pidana penipuan dengan ancaman pidana paling lama empat tahun.
Â
Tidak semua berita bohong dapat dikualifisir dan diancam hukuman pidana, karena ada beberapa kualifikasi "berita bohong" yang tidak termasuk dalam ancaman pidana sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Sebagai contoh mengganti status di media Sosial dengan sesuatu yang tidak benar hanya karena ingin terlihat wah...tetapi tidak merugikan orang lain (missal berceritera tentang keindahan sebuah kota di Amerika dengan menggambarkan seolah olah penulis berada disana padahal tidak), maka bohong seperti ini tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Selain itu berkembang juga terminologi "bohong putih" dan "bohong hitam", bohong putih sering diartikan orang sebagai informasi yang tidak sebenarnya yang disebarkan dengan maksud menstabilkan suasana atau mententramkan keadaan. Sedangkan "bohong hitam" inilah yang disebut Hoax, informasi bohong yang sengaja disebar sebagai ujaran kebencian yang dimaksudkan sebagai pemicu ketidak tertiban atau merugikan orang lain atau kelompok lain.
Ancaman hukuman terhadap Hoax yang disebutkan dalam perundang-undangan dimaksudkan dan dapat diterapkan bagi penyebaran informasi yang merugikan orang perorang atau kelompok orang. Jika sebuah informasi bohong (Hoax) itu merugikan orang perorang, maka terhadap perbuatan itu dapat diterapkan ketentuan Pasal 311 KUHP (fitnah) atau Pasal 378 (penipuan) dan jika dilakukan melalui media internet diterapkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE (merugikan konsumen), sedangkan jika berita bohong (hoax) itu merugikan masyarakat atau kelompok orang dapat diterapkan Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946 dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam hal dilakukan melalui transaksi elektronik, internet.
Ada dilemma diantara penegakan hukum yang dilakukan terhadap para pelaku Hoax disatu sisi dengan dengan pemblokiran terhadap situs-situs hoax, disi lain juga penuntutan hanya terhadap pelaku hoax. Kedua langkah yang dilakukan oleh Negara ic Pemerintah itu sudah seharusnya, namun bersamaan dengan itu jumlah penyebar hoax semakin besar (terutama terjadi pada momen-momen pemilihan kepala daerah) Karena itu sangat disayangkan pemerintah hanya berhenti pada tindakan melakukan pemblokiran terhadap situs-situs  hoax tanpa meminta pertanggung jawaban para pengelola media sosial.Â
Sementara si pembuat berita hoax masih dapat terus berproduksi menyebar hoax dan memperluas ruang gerak dengan nama dan situs yang lain. Konsepsi pelaku (dader) dalam hukum pidana tidak terbatas pada pelaku langsung, Â tetapi juga termasuk pihak-pihak yang menyuruh, membantu, memberi fasilitas dan kesempatan sebagaimana diatur Pasal 55 dan 56 KUHP sebagai pelaku penyertaan.
Hoax, kebebasan berpendapat dan pendidikan literasi
Sebagaimana dikemukakan diatas penegakan hukum kasus Hoax yang dilakukan pemerintah serta upaya-upaya pemblokiran yang dilakukan terhadap situs-situs penyebarnya, merupakan penindakan yang terkesan hanya dilakukan pada para pembuat hoax saja. Tidak ada yang keliru atau salah dari tindakan itu, tetapi seharusnya tidak berhenti disitu, karena para pembuat Hoax itu tidak akan pernah bisa mengartikulasikan dan mengumumkan produksi hoaxnya tanpa ada sarana media social yang menjadi sarananya. Artinya tanggung jawab menghentikan Hoax ini tidak melulu ada pada pemerintah dan aparat penegak hukum, tetapi juga bisa diperluas kepada para pemilik atau penyedia social media  seperti FB, Twitter, Youtube dan sejenisnya.
Bentuk tanggung jawab itu dapat berupa pertanggung jawaban hukum pidana (Vide Pasl 55 dan 56 KUHP) sebagai bagian penyelesaian represif, bisa juga perusahaan penyedia media soaial diberi tanggung jawab pencegahan melalui aplikasi yang berfungsi sebagai sensor.
Demikian juga tindakan memblokir atau menutup situs meski didasarkan pada kewenangan yang diberikan undang-undang, namun efektivitasnya juga perlu dipertanyakan, karena:
penutupan website atau pemblokiran situs karena ada satu atau dua tulisan/informasi yang bersifat hoax menimbulkan pertanyaan batas-batas dan perbedaan Hoax dengan kritik. Jika Pemerintah tidak hati-hati bisa terjebak pada tindakan yang bisa ditafsirkan sebagai "membatasi pikiran masyarakat".
(Berdasarkan informasi Staf Ahli Menkominfo Prof. Henry Budianto, dasar hukum Pemerintah menutup dan memblokir situs-situs Hoax adalah Pasal 40 ayat (2) yang berbunyi : Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan)
Karena itu tindakan pembliokiran atau penutupan website secara keseluruhan dapat menimbulkan serangan balik bahwa pemerintah tidak peka terhadap "kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi" (freedom of speech) yang memang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945.
Penanganan pada langkah penutupan website atau pemblokiran situs sebagai tindakan hukum memang penting, namun belajar pada masyarakat dunia akan lebih  efektif pencegahan hoax ini dengan memperkuat masyarakat dengan kemampuan memfilter informasi hoax yang datang, sehingga masyarakat akan lebih santai menanggapi setiap berita hoax. Langkah ini belakangan dikenal dengan sebutan : pendidikan literasi media.
      Literasi media adalah seperangkat kecakapan yang berguna dalam proses mengakses,
      menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam beragam bentuk. Literasi
      media digunakan sebagai model instruksional berbasis eksplorasi sehingga setiap individu
      dapat dengan lebih kritis menanggapi apa yang mereka lihat, dengar, dan baca.
 Â
[1] Catatan hukum disampaikan pada seminar dan workshop dengan thema Hoax: Antisipasi dan Edukasi Penawarnya melalui Literasi Media Sosial, Â Biro Kajian Strategis BEM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 12 Oktober 2017, Ruang Prof Suherman.
[2] Staf pengajar FH Usakti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H