Hoax, kebebasan berpendapat dan pendidikan literasi
Sebagaimana dikemukakan diatas penegakan hukum kasus Hoax yang dilakukan pemerintah serta upaya-upaya pemblokiran yang dilakukan terhadap situs-situs penyebarnya, merupakan penindakan yang terkesan hanya dilakukan pada para pembuat hoax saja. Tidak ada yang keliru atau salah dari tindakan itu, tetapi seharusnya tidak berhenti disitu, karena para pembuat Hoax itu tidak akan pernah bisa mengartikulasikan dan mengumumkan produksi hoaxnya tanpa ada sarana media social yang menjadi sarananya. Artinya tanggung jawab menghentikan Hoax ini tidak melulu ada pada pemerintah dan aparat penegak hukum, tetapi juga bisa diperluas kepada para pemilik atau penyedia social media  seperti FB, Twitter, Youtube dan sejenisnya.
Bentuk tanggung jawab itu dapat berupa pertanggung jawaban hukum pidana (Vide Pasl 55 dan 56 KUHP) sebagai bagian penyelesaian represif, bisa juga perusahaan penyedia media soaial diberi tanggung jawab pencegahan melalui aplikasi yang berfungsi sebagai sensor.
Demikian juga tindakan memblokir atau menutup situs meski didasarkan pada kewenangan yang diberikan undang-undang, namun efektivitasnya juga perlu dipertanyakan, karena:
penutupan website atau pemblokiran situs karena ada satu atau dua tulisan/informasi yang bersifat hoax menimbulkan pertanyaan batas-batas dan perbedaan Hoax dengan kritik. Jika Pemerintah tidak hati-hati bisa terjebak pada tindakan yang bisa ditafsirkan sebagai "membatasi pikiran masyarakat".
(Berdasarkan informasi Staf Ahli Menkominfo Prof. Henry Budianto, dasar hukum Pemerintah menutup dan memblokir situs-situs Hoax adalah Pasal 40 ayat (2) yang berbunyi : Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan)
Karena itu tindakan pembliokiran atau penutupan website secara keseluruhan dapat menimbulkan serangan balik bahwa pemerintah tidak peka terhadap "kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi" (freedom of speech) yang memang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945.
Penanganan pada langkah penutupan website atau pemblokiran situs sebagai tindakan hukum memang penting, namun belajar pada masyarakat dunia akan lebih  efektif pencegahan hoax ini dengan memperkuat masyarakat dengan kemampuan memfilter informasi hoax yang datang, sehingga masyarakat akan lebih santai menanggapi setiap berita hoax. Langkah ini belakangan dikenal dengan sebutan : pendidikan literasi media.
      Literasi media adalah seperangkat kecakapan yang berguna dalam proses mengakses,
      menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam beragam bentuk. Literasi
      media digunakan sebagai model instruksional berbasis eksplorasi sehingga setiap individu