Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Meretas Memori, Merenda Silaturahmi di Kota Tua

9 Juni 2016   22:25 Diperbarui: 9 Juni 2016   22:36 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meretas Memori Merenda Silaturahmi Di Kota Tua

Jelang Ramadhan 2016, melanjutkan pertemuan di Gadog (13/05/2016), jumat kemarin (03/6/2016) kami bertemu lagi di Kota Tua, ya boleh dibilang terbawa trend (trend orang-orang tua yang ditolong WA (whatsApp) berkumpul alumni), setelah 32 tahun berlalu. Kami, alumni Fakultas Hukum Universitas Jayabaya angkatan 1978, yang tergolong sebagai generasi baby boomer (lahir  1950-1964) sekarang ini ada yang sedang, sudah dan akan menduduki jabatan tertentu dalam masyarakat, ada Jendral, ada Politisi, ada Birokrat esselon tertinggi, ada Walikota, ada Lawyer, Notaris, akademisi, pengusaha tanah dan macam-macam profesi lainnya, yang pasti ada pada posisi mapan. Kepentingannya sudah berubah menjadi kebutuhan (he..he..he…maklum kesibukan sudah berkurang), ya kebutuhan mendasar manusia, berkomunikasi tentang apa saja, tentang cerita-cerita lucu masa lalu dan cerita-cerita tentang kesehatan ya cerita cerita yang mengeratkan “brotherhood” diantara kami. Ketika berkumpul, bercengkrama, kami merasakan menjadi bukan siapa-siapa, menjadi manusia yang tulus tanpa topeng meski setelah itu kami kembali pada “dunia” masing-masing (we’re lost in a masquerade – kata George Benson).

Seperti juga “meseum” kami menyimpan barang-barang bersejarah, kenangan-kenangan lama yang selain bisa dikenang juga bisa dikomunikasikan, bahkan ceritera tentang hubungan pribadi diantara kami bisa menjadi topic diskusi bersama, he..he.. tidak lagi ada aib pada ceritera lama, maklum kami semua nyaris 60 tahunan. Pada beberapa pertemuan alumni ada kekhawatiran berseminya kembali benih benih masa lalu (orang sering menyebutnya CLBK), tapi kami merasa potensi itu sangat sedikit, kami sudah mengarah pada persaudaraan, hubungan-hubungan kontraktual (bisnis, percintaan dan semacamnya) sudah tidak mungkin lagi selain karena phisik yang tidak memungkinkan lagi juga menjadi tidak etis.  

Kota Tua

Dari arah Glodok, jalan pintu besar selatan kita bisa mulai melihat saksi-saksi sejarah berupa gedung-gedung dan bangunan tua, ada meseum Mandiri (dulu bernama Bank Exim & Bank Bumi Daya) berhadapan persis dengan Gedung Stasion Kota Beos (kawasan ini punya arti sendiri buat saya, karna Stasion Beos juga menjadi saksi perjalanan hidup saya). Kearah masuk ada Meseum Bank Indonesia, ke pinggir kali berbelok kekanan masih berderet gedung-gedung tua sisa sisa peninggalan konglomerasi lama (yang saya ingat seperti Dasaad, Ahmad Bakri dsb),  Gedung Pos terbesar di Kota sebelum dibangung di Lapangan Banteng, Meseum Seni rupa & Kramik, Meseum BNI 46, Museum Wayang dan yang terbesar adalah Meseum Fatahilah. Pada meseum terakhir ini pengertian meseum tak melulu soal barang bersejarah yang dipamerkan. Tapi ternyata yang memiliki inti sejarah justru di bangunannya itu sendiri.

Konon pada zaman penjajahan Belanda, Museum Fatahilah ini merupakan balai kota Batavia yang merupakan pusat aktivitas rakyat pada abad ke 17-19. Tiap sore rakyat berkumpul mengambil air bersih dari satu-satunya mata air di halaman depan balai kota, ada trem yang berjalan dengan rel di depan balai kota. Balai kota ini juga memiliki fungsi lain, yakni sebagai tempat pelaksanaan hukuman mati dan pembantaian massal. Saksi bisu dari pemerintahan yang brutal. Berdasarkan sumber sejarah, tahun 1740, Gubernur Batavia saat itu (Adriaan Valckenier) memerintahkan untuk membantai orang-Tionghoa di depan balai kota. Ribuan orang Tionghoa diikat, duduk bersimpuh di depan balai kota, kemudian dari jendela balai kota, gubernur itu memberi kode untuk melakukan eksekusi terhadap orang Tionghoa itu. Pembantaian ini dikenal dengan nama 'Geger Pacinan, disebabkan oleh isu ekonomi dan politik yang berkembang di Batavia saat itu. Kejadian itu mencoreng pemerintahan Belanda di Hindia Belanda dan sang gubernur ketika pulang ke Belanda, diadili dan mati di penjara.

Selain pembantaian tersebut, Museum Sejarah Jakarta juga menjadi saksi bisu dari penderitaan tawanan di penjara bawah tanah untuk wanita dan laki-laki. Ketika air laut pasang, penjara akan terisi air laut, merendam tubuh para tawanan dan membuat kondisi tawanan sungguh menyedihkan. Pejuang Indonesia yang sempat ditahan di penjara tersebut di antaranya ada Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien.

img-20160603-wa0037-57598a28ad7e61eb04869e24.jpg
img-20160603-wa0037-57598a28ad7e61eb04869e24.jpg
Kami asyik ngobrol dan makan di Café Batavia, letaknya persis berhadapan sisi kiri Meseum Fatahilah. Selesai pertemuan kangenan, ketika pulang saya sengaja menyusuri jalan-jalan penuh kenangan melalui rute jalan jembatan batu sisi kiri Stasion Beos, ditempat ini terletak sekolah yang dulu mendidik saya (SMPN LV & SMAN XVIII). Saya melihat tidak ada perubahan gedung-gedungnya masih terlihat tua bahkan kumuh, sedih dan terharu, padahal dari gedung itu pernah lahir pemain-pemain Basket Nasional pada zamannya (1972-1976) seperti Lie Siu Book, Arifin, Nazarudin dan Nazamudin Munir.  

Arah kekanan ke jalan Pangeran Jayakarta (nama lain dari Raden Fatahilah) masih berdiri megah dan antic Gereja Sion yang luas, di tempat ini saya dan kawan kawan selalu berteduh jika hari hujan (maklum pulang sekolah selalu berjalan kaki dari jembatan batu ke jalan manga besar IX Pecah Kulit menyusuri jalan P jayakarta). Jika jalan diluruskan ke Mangga Dua Raya, kita akan bertemu dengan pusat pertokoan modern Mangga dua, relokasi dari para pedagang pasar pagi, pertokoan ini terkenal ke seluruh dunia, khususnya Asia sebagai pusat penjualan garmen dan barang murah.

Selang beberapa bangunan dari Gereja Sion, ada sebuah pabrik es batu, yang didepannya ada bangunan kecil tertulis “Makam Pieter Erberveld”. Bangunan kecil ini menyimpan ceritera sejarah sendiri, yang kini telah dipindahkan ke Meseum Fatahilah. Pieter Erberveld adalah orang Belanda pemberontak yang dihukum mati di halaman selatan Benteng Batavia dengan cara yang kejam. 

Menurut ceritera yang saya dengar dari orang-orang tua, kedua tangan dan kaki Erberveld serta rekan-rekannya, diikat pada tali tambang. Keempat ujung tali tambang kemudian diikatkan pada kuda-kuda pilihan yang sangat kuat. Kemudian, kuda-kuda tersebut dilecut hingga berlari ke arah-arah yang berlawanan. Badan Elberverd dan rekan-rekannya pun terkoyak. 

Peristiwa tersebut tercatat di monumen pecah kulit yang berada di halaman belakang Museum Fatahilah. Pecah Kulit yang saya tinggal waktu kecil, adalah daerah dimana peristiwa itu terjadi hingga daerah itu dinamai Pecah kulit, meski resminya bernama jalan Mangga Besar IX.

Masih dalam jalur jalan P. Jayakarta persis di daerah Gang Burung (dimana terletak Kantor Kelurahan Pinangsia- resminya jalan Manggadua Selatan- He..he.. di Kelurahan ini saya pernah menjadi salah satu Ketua Karang Taruna) ada jembatan yang menghubungngkan antara jalan P Jayakarta dengan Jalan Mangga Besar IV, jembatan ini disebut Jembatan Bocang. 

Di daerah ini ada kenangan (sejarah ?) yang sulit dilupakan, pertamaLapangan Sepak Bola PETAK SIN KIAN tempat berlatih kesebelasan UMS singkatan dari UMS (saya lupa singkatannya) yang kemudian berganti nama menjadi  UMS-Warna Agung (Pabrik Cat milik Beny Mulyono yang mensponsori pembiayaannya). 

Klub sepakbola ini menjadi gudang pemain sepakbola nasional (PSSI) para pemain seperti Risdianto, Reny Salaky, Ronny Patinaserani (pindahan Makasar), Ronny Paslah, Yudo hadianto dan banyak lagi yang lain. Lapangan Petak Sinkian ini menjadi lapangan untuk kompetisi klub-klub sepak bola di wilayah Jakarta Barat, tingkat Jakartanya di lapangan Persija Menteng yang sekarang sudah menjadi Taman.

Di lapangan bola Petak Sinkian ini, saya dan teman-teman berlatih sepak bola setiap pagi dan siang, biasanya setelah pelatih Atletik Klub UMS (Drg. Endang Witarsa) selesai melatih atletnya (Lliyana Tjandrawijaya). Akhirnya kampong kami mendirikan klub sepak bola juga yang diberinama PS CHALITS (Persatuan Sepak Bola Pecah Kulit dan Sekitarnya) yang saya menejeri. 

Kedua, di daerah juga ada cinta monyet saya yang berkembang, diujung barat Lapangan Petak sinkian ada sebuah jalan kecil disitu tinggal seorang gadis tinggi yang pernah saya suka (he..he…he… ply boy yah). Di sebelah timur lapangan ada penjual es campur yang uweenak tenan, tiap hari pengunjungnya tak habis-habis termasuk aku.

Ya Kota Tua membangkitkan kembali kenangan lama saya, kenangan yang menyegarkan kembali semangat hidup, silaturahmi yang dalam terminology populer lazim disebut reuni, juga kembali mengentalkan persahabatan, “brotherhood” diantara kami.  Benar kata orang bijak, ada tiga hal yang tidak dapat ditukar dengan materi sebesar apapun nilainya, yang salah satunya adalah “persahabatan” selain cinta kasih dan tidur nyenyak. Tentu saja persahabatan yang didasarkan pada ketulusan. Smoga dapat terus kita pertahankan selamanya, Selamat berpuasa (tebet050616).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun