Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kredit Macet : Perdata atau Pidana ?

20 Oktober 2015   22:37 Diperbarui: 20 Oktober 2015   22:47 3908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KREDIT MACET : Perdata atau Pidana ?

Oleh : Abdul Fickar Hadjar

Kemarin sore (25/06/2015) sambil menunggu buka puasa, di Bakoel Cofee Cikini, saya memenuhi undangan Forum Wartawan Hukum (Forwakum) sebagai salah satu nara sumber dalam ngobrol menjelang buka puasa / diskusi bertema “Kredit Macet: Perdata atau Pidana”. Nara sumber lain selain saya, tercatat Kepala Ekonom BCA David Sumual, Dir Departemen Komunikasi BI Dr. Peter Jacobs, Dir Hukum OJK Lutfy Zain Fuady dan Kapuspenkum Kejagung Tony Spontana.

Acara ngabuburit ini diselenggarakan oleh teman-teman wartawan yang pernah mangkal di beberapa instansi hukum seperti Kejagung, Bareskrim, KPK dan Pengadilan di Jakarta. Kini mereka, terutama yang pengurus, rata-rata telah menduduki kursi redaktur, artinya mereka sudah tidak dilapangan lagi. Untuk mengobati kerinduan ceritera mereka dibentuklah forum ini yang selain wadah silaturahmi berfungsi juga sebagai wadah untuk menambah pengetahuan (ngisi bensin) melalui diskusi diskusi terbatas.

Meski diskusi ini akhirnya hanya dihadiri saya dan David dari BCA (Nara sumber lain mengaku mendadak dipanggil pimpinannya), diskusi tetap berjalan seru, he he karena audiensnya semua wartawan yang sehari-hari kerjanya mewawancarai nara sumber, sejak acara mulai dibuka sampai ditutup tanya jawab terus berlangsung, dan so pasti buat mereka ini “news” juga dan dimuatlah dibeberapa media. Nah ..coretan ini saya buat agar apa yang saya kemukakan bisa dipahami lebih komprehensif (lengkap) dan agar menjadi jelas duduk soalnya. Beginilah yang saya kemukakan dalam acara itu:

1. Dari ratusan bahkan ribuan kasus yang disidangkan di pengadilan-pengadilan negeri di Jakarta, jika dikelompokan (regrouping) hanya ada tiga jenis perkara PERDATA, yaitu : 1) perkara Gugatan PMH (perbuatan melawan hukum); 2) perkara Gugatan Wanprestasi, dan 3) perkara Gugatan Perceraian. Satu yang pertama (PMH) timbul karena ada pihak yang dirugikan akibat perbuatan yang melawan hukum, sedangkan dua yang terakhir (wanprestasi dan perkara perceraian) tuntutan didasarkan pada terjadinya pelanggaran pada perjanjian atau ingkar janji atas kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian;

2. Wanprestasi atau ingkar janji terhadap isi perjanjian yang dibuat, bisa terjadi karena “tidak” melaksanakan kewajiban, “keliru” melaksanakan kewajiban karena tidak sesuai dgn yang dijanjikan, dan “terlambat” melaksanakan kewajiban. Dalam konteks ini “Kredit Macet” merupakan dan dapat ditempatkan sebagai perbuatan wanprestasi karena Debitor tidak dapat memenuhi kewajiban melunasi kreditnya kepada Krediturnya, Bank atau Lembaga Keuangan lainnya. Debitornya bisa perorangan dan bisa juga korporasi atau badan hukum lainnya;

3. Kredit Macet (non performing loan) merupakan peristiwa Perdata murni antara Kreditur dengan Debitur, dengan asumsi sepanjang seluruh syarat sahnya perjanjian kredit (PK) dapat dipenuhi oleh para pihak termasuk colleteral (jaminan) nya. Dengan kondisi ini , Kredit macet yang disebabkan ketidakmampuan Debitor untuk melunasi, maka jaminan bisa dilelang melalui eksekusi di pengadilan, yang hasil lelangnya untuk membayar kerugian Bank atau Kreditur;

4. Kredit Macet bisa berubah menjadi peristiwa pidana karena ada pelanggaran hukum, baik sebelum maupun sesudah perjanjian kredit ditandatangani. Seperti diketahui ada empat kondisi yang harus dipenuhi demi keabsahan sebuah PK, yaitu (a) Kemampuan subjek hukum, kualitas subjek hukum atau punya legal standing tidak untuk mengajukan dan menandatangani PK; (b) Adanya kesepakatan Kreditur dan Debitur, facta sunservanda, perjanjian mengikat sebagai UU bagi yang membuatnya; (c). Ada objeknya dalam hal ini uang yang dipinjam dan (d) Causa yang halal, PK ini dibuat tidak melangar peraturan perundang-undangan bahkan yang tidak tertulis sekalipun;

5. Jadi jika ada pelanggaran hukumnya sekalipun itu hukum privat, maka itu tetap disebut sebagai pelangaran hukum, pelangaran aturan. Dan jika kemudian menyebabkan kredit macet, maka ini bisa menjadi dasar untuk mengkatagorikan sebagai peristiwa pidana, bukan perjanjian kreditnya tapi perbuatan Debitur/Kreditur yang melangar itu yang dipidanakan. Sebagai contoh PK sejumlah Rp.57 Milyar yang pihak Debiturnya seorang anak yang baru berumur 15 tahun, maka ini jelas pelanggaran hukum karena sang anak belum punya legal standing (tidak cakap hukum) untuk menandatangani PK dan jika macet jelas ini peristiwa pidana.

Demikian juga dengan persyaratan yang lain seperti “kesepakatan” atau consensus juga bisa menjadi dasar pelanggaran pidana, jika kesepakatan itu dilakukan atas dasar tekanan atau perintah atasan. Saya memberikan contoh perjanjian penunjukan PT. TPPI dalam transaksi kondensat dengan SKK Migas yang saat ini perkaranya sedang diperiksa Bareskrim Mabes Polri, ternyata penunjukan perjanjian dibuat dalam suatu rapat yang dipimpin oleh Jusuf Kalla (ketika sebagai Wakil Presidennya Pemerintahan SBY) sehingga Srimulyani sebagai Menteri Keuangan waktu itu menyetujui pencairan dananya.

Kasihan mereka yang berada dilevel operasionalnya menjadi tersangka, sementara mereka tidak mengerti kebijakannya. Karena itu saya menyarankan para eksekutif BUMN/D dalam memutuskan yang didasarkan pada kebijakan yang menyimpang yang diputuskan oleh atasan, wajib direkam dengan akta notaris dalam rangka antisipasi penuntutan pidana dimasa datang.

6. Hal lain yang bisa menyebabkan kredit macet dikatagorikan sebagai peristiwa pidana adalah pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Legal leading limit atau Batas Minimum Pemberian Kredit. Dalam BMPK ini misalnya ada batas pemberian kredit terhadap pihak terkait yang berhubungan dengan pengendalian Bank (pemilik, pengurus) dibatasi hanya 10 % dari modal, demikian halnya pada bukan pihak terkait dibatasi 20%, karena itu tidak jarang sebuah perjanjian kredit ditanggung oleh beberapa bank, inilah yang disebut kredit sindikasi. Nah pelanggaran terhadap BMPK ini juga bisa menjadi dasar untuk mengkatagorikan kredit macet sebagai eristiwa pidana;

7. Apalagi bank-bank BUMN yang permodalannya berasal dari negara, selain berdasarkan UU tentang Keuangan Negara keuangan BUMN itu termasuk keuangan negara, juga ada jurisprodensi atau putusan Mahkamah Agung tepatnya Putusan MA No.2477K/Pid/1988 tgl 20 Maret 1993, yang menyebutkan dalam pertimbangan hukumnya. Antar lain: “Kasus kredit macet pada perbankan yang sebagian atau seluruh modalnya berasal dari negara adalah tindak pidana korupsi

8. Namun tidak semua kredit macet Bank BUMN itu dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi, karena jika semua persyaratan dan kondisi Perjanjian Kreditnya dipenuhi termasuk jaminannya, maka tidak ada alasan dan dasar untuk membawanya ke ranah pidana. Dalam praktek yang menjadi indikator kredit macet pada bank BUMN itu bukan korupsi, biasanya kredit macetnya diselesaikan oleh Panitia Urusan Piutang Negara Kementrian Keuangan atau bahkan bank-bank BUMN menghayer advokat untuk melakukan penagihan dan penyelesainnya (he..he.. aku pernah menjadi Advokat rekanan salah satu bank BUMN terbesar, jadi ngerti deh beluk seluknya);

9. Kesimpulannya, jika Kredit Macet terjadi disebabkan oleh hal-hal DILUAR kemampuan Debitor, maka Kredit Macet itu merupakan peristiwa PERDATA MURNI, tetapi jika Kredit Macet terjadi disebabkan oleh pelanggaran aturan, maka bisa dipastikan kredit macet itu dapat ditarik keranah PIDANA;

10. Ada banyak tanya jawab dalam diskusi ini, namun yang menarik atas pertanyaan yang menyatakan bahwa “dalam kontek KM diatas penyidik harus hati-hati untuk bisa memisahkan perdata pidana. Menjawab pertanyaan ini saya mengatakan: mestinya begitu, tetapi kecenderungan penyidik itu memegang teguh “azas praduga bersalah” artinya meski Kredit Macet itu murni perdata, pengusutan tetap berjalan terus meskipun pada akhirnya dikeluarkan “penghentian Penyidikan” (SP3), tapi bisa diduga Debitur sial ini pernah menjadi ATM. He...he...he... wallahu alam bishawab. Diskusi diakhiri dengan buka bersama (Menteng26062915)

http://www.sindotrijaya.com/news/detail/9476/kredit-macet-tidak-selalu-harus-dipidana#.VYzrCmw-bIV

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/06/26/nqiuoj-tidak-semua-kredit-macet-bisa-kena-pidana

http://www.rmol.co/read/2015/06/26/207762/Penegak-Hukum-Harus-Jeli,-Kredit-Macet-Bisa-Perdata-

http://www.beritasatu.com/nasional/285854-kasus-kredit-macet-tidak-selalu-harus-dibawa-ke-ranah-pidana.html

http://news.okezone.com/read/2015/06/25/337/1171630/kasus-kredit-macet-tidak-selalu-ke-ranah-korupsi

http://berita.suaramerdeka.com/kasus-kredit-macet-dapat-diselesaikan-secara-perdata/

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/643182-apa-penyebab-kredit-macet-

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun