Kewenangan lembaga “Hakim Komisaris” (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) Psl 1 butir 7 dan Pasal 111 RUU KUHAP
a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;
b.pembatalan atau penangguhan penahanan;
c.bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d.alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti;
e.ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;
f.tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara;
g.bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;
h.penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;
i.layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
j.pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.
Pertanyaannya: apakah ketentuan tentang “Hakim Komisaris” ini akan mengganggu upaya-upaya pemberantasan korupsi utamanya oleh KPK ?
Untuk pemberantasan korupsi yang diilakukan oleh KPK, harus dibuat ketentuan undang-undang tentang bagaimana Hakim Komisaris ini akan berperan, ada dua kemungkinanyang dapat dilakukan (dengan catatan setiap persidangan Hakim Komisaris terbuka untuk umum):
1. Dibuat ketentuan dalam KUHAP bahwa untuk penanganan pemberantasan korupsi oleh KPK akan ditunjuk seorang Hakim Komisaris Khusus oleh Mahkamah Agung (Hakim Komisaris khusus KPK ini dapat diambil dari salah seorang Hakim Agung); atau
2. Dibuat ketentuan dalam KUHAP bahwa karena peranan KPK yang khusus dalam menangani korupsi di Indonesia, maka dalam hukum acara pidana yang berlaku untuk KPK, tidak akan ada prosedur dengan Hakim Komisaris;
Sedangkan untuk pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka tetap diperlukan posedur hukum acara pidana dengan Hakim Komisaris.
Putusan bebas tidak dapat di kasasi;
Pasal 240 RUU KUHAP
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.
Penjelasan:
Dalam doktrin hukum acara pidana, “bebas tidak murni” adalah “lepas dari segala tuntutan hukum” (ontslag van alle rechtsvervolging). Oleh karena itu, untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas yang digolongkan sebagai bebas tidak murni harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dimana perbuatan yang didakwakan terbukti namun terdapat dasar pembenar atau dasar pemaaf.
Pasal 244 KUHAP 1981
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Ketentuan ini (Psl 244 KUHAP 1981 = Psl 240 RUU KUHAP) adalah satu-satunya landasan hukum untuk mengajukan upaya hukum kasasi dalam perkara pidana. Dalam penjelasan RUU KUHAP dijelaskan mengenai bebas tidak murni dan terhadap putusan yang bebas tidak murni dapat diajukan kasasi.
Dalam praktek , hamper semua putusan bebas (murni) ini oleh Penuntut Umum selalu saja dilakukan upaya hukum kasasi, biasanya argument yang diajukan adalah:
a.Judexfactie (Pengadilan Negeri/Tinggi) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana Pasal 185 ayat (3) dan (6) KUHAP;
b.Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan UU;
c.Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak) melainkan putusan bebas tidak murni (ontslag van alle rechtsvervolging).
Sedangkan dasar hukum yang digunakan oleh Penuntut Umum dalam mengajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah : Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tampahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP). Butir 19 TPP KUHAP menjelaskan: “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan Yurisprodensi.