Mohon tunggu...
Fibrisio H Marbun
Fibrisio H Marbun Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan kaki

Tertarik dengan sepakbola, sosial budaya, dan humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

May Day, Jalan Panjang Buruh di Era Revolusi Industri 4.0

2 Mei 2019   17:23 Diperbarui: 2 Mei 2019   20:09 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengrajin besi perempuan di Indiana tahun 1943/ time.com

May Day yang jatuh tepat 1 Mei tidak terlepas dari perayaan peradaban kuno. Peradaban Pagan Kuno di Mesir dan India menjadikan 1 Mei sebagai hari libur untuk menandai permulaan musim panas dan bersiap untuk menyambut musim semi.

Peradaban Romawi kuno mengenal festival Floriana, sebuah penghormatan untuk Flora, dewi musim semi. Ketika bangsa Romawi memperluas daerah kekuasaan, tradisi ini menyebar dan dirayakan di banyak wilayah.

Modernisasi May Day terjadi ketika masuk ke daerah barat seperti Inggris dan Amerika. Di Inggris, pada abad pertengahan tradisi ini dirayakan dengan acara tarian-tarian mengelilingi tiang kayu yang dihiasi bunga-bunga atau dikenal dengan istilah Maypole.

Abad ke-19 menjadi tonggak baru sejarah May Day. May Day diperingati sebagai hari memperingati perjuangan hak pekerja di seluruh dunia.

Pada September 1882 di Amerika Serikat, sekitar 20 ribu orang menggelar parade sambil membawa spanduk bertuliskan 'delapan jam kerja, delapan jam istirahat, dan delapan jam rekreasi'.

Pada 1 Mei 1886 terjadi demonstrasi buruh dalam skala yang lebih besar di Amerika Serikat yang dilakukan oleh sekitar 400 ribu orang buruh dengan masih mengusung tuntutan yang sama, yaitu pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari.

Di hari terakhir, buruh melakukan pawai secara besar-besaran. Aksi itu ternyata disambut polisi dengan melakukan penembakan secara membabi buta hingga menewaskan ratusan orang. Polisi juga menangkap sejumlah pemimpin aksi tersebut. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Haymarket, ratusan buruh yang tewas pun disebut sebagai martir.

Setelah itu, Konferensi Sosialis Internasional diselenggarakan di Paris, Perancis pada 1889. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa demonstrasi buruh di Amerika Serikat pada 1 Mei 1886 sebagai peringatan Hari Buruh Internasional. Di Amerika Serikat, Hari Buruh ditetapkan sebagai hari libur nasional pada 1894.

May Day di Indonesia

May Day sudah peringati sejak zaman pendudukan kolonial, yakni tahun 1920. Tetapi sejak Pemerintahan Orde Baru peringatan May Day dilarang di Indonesia, 1 Mei tidak lagi menjadi hari libur. Hal ini terjadi karena gerakan ini disinyalir ditunggangi gerakan dan faham komunis.

Pada masa rezim Soeharto aksi peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif karena May Day selalu dikonotasikan dengan ideologi Komunis. Konotasi yang keliru karena mayoritas negara-negara didunia ini sebagai contoh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh dan menjadikannya sebagai hari libur nasional.

Setelah era Orde Baru usai walaupun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan sebagai hari buruh di Indonesia dengan demonstrasi diberbagai kota. Kekhawatiran bahwa gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei menjadi kerusuhan tidak pernah terbukti.

Pasca reformasi tahun 2000, kaum buruh memperingat 1 Mei dengan tuntutan menjadikan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional dan ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional. Aksi yang berlangsung satu pekan dan dibarengan aski mogok nyaris membuat ekonomi lumpuh dan membuat para pengusaha ketar ketir.

Namun perjuangan untuk menjadikan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional tidak mendapat respon positif dari pemerintahan saat itu. Abdurrahman Wahid maupun Megawati Soekarno Putri tidak melegitimasi tuntutan buruh.

Era pemerintahan SBY tuntutan menjadikan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional dan dijadikan Hari Libur Nasional kembali menggelora. Tak sampai disana, buruh juga meminta kepada SBY supaya merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, serta Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang kemudian membuahkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

Aksi May Day di Indonesia tidak hanya diikuti oleh kaum buruh, akan tetapi juga diikuti berbagai kalangan seperti mahasiswa, aktivis, dan organisasi kepemudaan hingga masyarakat umum.

Pucaknya pada 29 Juli 2013 Presiden SBY menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional.

Jalan Panjang Buruh di Era Revolusi Industri 4.0

Revolusi Industri 4.0 adalah permulaan dari berakhirnya pekerjaan bagi manusia. Kita bisa melihat dari digantikannya tenaga kerja manusia dengan mesin, e-parking, penggunaan uang elektronik atau e-money,pengembangan AI (Artificial Intelegensia), bahkan di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah telah gencar-gencarnya membuat robot perang untuk memperkuat keamanan negaranya. Internet of think yang menjadi ciri dari Revolusi Industri 4.0 juga telah mulai dikembangkan dibanyak negara.

Rekson Silaban, Analis Indonesian Labour Institute dalam opininya di Kompas Selasa (18/12/2018) menjelaskan kaum buruh dan serikat buruh harus beradaptasi secara inovatif agar terhindar dari eliminasi akibat disrupsi Industri 4.0.

Lantas bagaimana kaum buruh dan serikatnya agar mampu beradaptasi di Era Revolusi Industri 4.0?

Pertama Inovasi dan Adaptasi. Dengan optimisme akan ada pekerjaan baru yang lebih banyak dan manusiawi, proaktif dan adaptasi hal yang wajib dilakukan. Karena dengan ada atau tidaknya era Revolusi Industri 4.0 pekerjaan dan lapangan pekerjaan pasti ada yang punah,. Untuk itu, dibutuhkan Inovasi dan adaptasi dari setiap kaum buruh dalam menghadapi disrupsi di era revolusi industri 4.0.

Adaptasi dan mengembangkan keterampilan adalah cara manusia untuk tetap relevan. Laurence Frank, Rektor Los Angeles Trade Technical College diperlukan untuk mengembangkan keterampilan baru. Mempelajari keterampilan baru menjadi dangat penting di era saat ini. Sebab teknologi akan tetap berkembang dan terus berinovasi.

Kedua Humanisme menjadi sangat relevan dan penting untuk dipertahankan. Hal ini sangat penting untuk membedakan manusia dan teknologi robotik. Perasaan cinta, kasih, saling menghormati adalah hal yang mustahil dilakukan oleh teknologi robotik. Untuk itu kita harus tetap berpijak pada dasar-dasar humanitas, yakni equality, bonum commune, keadilan, dan problem sustainabelity.

Ketiga Pemerintah. Pemerintah harus mampu mempersiapkan warga negara menjadi pekerja yang cakap. Untuk itu, pemerintah perlu fokus pada pendidikan science, technology, engineering, dan matematika. Dalam hal ini pemerintah harus mampu menciptakan regulasi yang mengatur pendidikan para calon pekerja. Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu mendorong koorporasi supaya bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan supaya miss match pendidikan dan pasar kerja tidak terjadi.

Pada akhirnya Revolusi teknologi sesungguhnya tidaklah perang antara manusia dan mesin. Baiklah perkembangan teknologi dan kemajuan ini dijadikan sebagai ajang untuk meningkatkan soft skill para pekerja dengan menggunakan instrument teknologi.

Selamat Hari Buruh Internasional!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun