Rohingya merupakan sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di Myanmar. Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh (yang berlawanan dengan mayoritas rakyat Myanmar yang Sino-Tibet), (Putu et al., 2019). Berawal dari pertengahan tahun 2015, serombongan pengungsi Myanmar dan Bangladesh yang terapung- apung di lautan Aceh ditemukan oleh para nelayan dan dibantu naik ke kapal. Kedatangan para imigran tersebut mengejutkan masyarakat dan pemerintah Indonesia dengan kondisi pengungsinya yang sangat mengkhawatirkan.
Krisis pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan di Indonesia telah menciptakan dinamika kompleks, terutama dalam konteks media dan agama. Agama menjadi salah satu faktor yang dapat mempersulit upaya integrasi pengungsi Rohingya di Indonesia. Persepsi media terhadap Rohingya di Indonesia memainkan peran kunci dalam membentuk sikap masyarakat. Liputan media yang cenderung negatif dapat menciptakan stigmatisasi dan ketidaksetaraan, mempersulit upaya integrasi.
Berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, sering kali menyoroti aspek negatif seperti kondisi pengungsian, masalah kesehatan, dan ketidakpastian hukum yang dihadapi oleh pengungsi Rohingya. Hal ini dapat menciptakan citra negatif yang melekat pada kelompok ini di mata masyarakat Indonesia. Penggunaan frasa atau kata-kata yang merendahkan atau sensational dalam judul berita dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap persepsi masyarakat. Pemilihan naratif yang tidak seimbang dapat menyebabkan ketidakobjektifan dalam penyajian informasi. Kurangnya konteks mengenai konflik di Myanmar dan faktor pendorong migrasi Rohingya juga dapat membuat masyarakat kurang memahami latar belakang dan kondisi mereka.
Stigmatisasi yang tercipta melalui liputan media yang negatif dapat menjadi hambatan serius dalam upaya integrasi pengungsi Rohingya di Indonesia. Masyarakat yang terpapar terus-menerus oleh narasi negatif dapat mengembangkan prasangka dan ketakutan terhadap kelompok tersebut. Stigmatisasi ini tidak hanya mempengaruhi pandangan masyarakat umum, tetapi juga dapat merasuk ke dalam kebijakan pemerintah dan lembaga, sehingga dapat memperlambat proses integrasi.
Peran Agama
Dalam menanggapi krisis pengungsi Rohingya, dimensi agama juga memainkan peran yang sangat penting. Indonesia sebagai negara dengan keragaman agama yang tinggi memiliki potensi besar untuk menjalankan peran mediasi dan solidaritas antarumat beragama. Pemimpin agama, baik dari Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun agama lainnya, dapat menjadi agen perubahan yang signifikan dalam memandu masyarakat Indonesia untuk mendukung integrasi pengungsi Rohingya.
Dialog Antaragama
Untuk mencapai pemahaman yang lebih baik, dialog antaragama menjadi sangat penting. Kegiatan dialog ini dapat membuka ruang untuk berbagi pengalaman, memahami nilai-nilai kemanusiaan yang bersama, dan menciptakan ikatan solidaritas di antara komunitas beragama. Pemahaman bahwa krisis pengungsi Rohingya bukan hanya masalah etnis atau agama tertentu, melainkan isu kemanusiaan yang universal, dapat merangsang kesadaran bersama untuk mencari solusi dan mendukung proses integrasi.
Lembaga Keagamaan
Lembaga keagamaan memiliki potensi yang besar untuk bertindak sebagai mediator dalam menangani situasi konflik dan ketegangan yang mungkin muncul antara masyarakat lokal dan pengungsi Rohingya. Melalui berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan yang dilakukan oleh komunitas keagamaan, mereka dapat menjadi penghubung yang kuat untuk memperkuat dan memperbaiki hubungan antara kedua belah pihak, serta memberikan dukungan yang penting dalam proses integrasi yang lebih baik. Tidak hanya sekadar menawarkan bantuan praktis, tetapi lembaga keagamaan juga memiliki peran penting dalam membangun kesadaran, pemahaman, dan toleransi di antara berbagai kelompok masyarakat, menciptakan landasan yang kokoh untuk harmoni dan kerjasama yang berkelanjutan.
Pendidikan Agama