Mohon tunggu...
Fian Roger
Fian Roger Mohon Tunggu... -

Wartawan dan Pencinta Sastra. Tinggal di Ruteng, Flores.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lilin-lilin Senjakala

2 Maret 2016   06:29 Diperbarui: 1 April 2017   08:44 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: pixabay.com"]


[/caption]Lilin-lilin itu dinyalakan bagi orang-orang yang berpulang. Konon, mereka berkumpul dalam lorong gelap menanti cahaya. Tak lama kemudian, mereka menatap Gaia, kosmos yang menyala dan bergerak pelan di hadapan semesta. Lilin-lilin pun dibakar di Pohon Beringin, satu-satunya pohon tertua yang tersisa. Semua dinyalakan pada senjakala.  

***

Iptu Didakus selalu menikmati lilin-lilin itu bahkan juga menyumbang beberapa batang rokok untuk dinyalakan di sana sebagai sesajian berasap, seperti tradisi Orang Cina dan Orang Bali. Didakus belasan tahun menjadi polisi di Dili, Timor Leste. Di bekas Provinsi ke-27 itu, ia belajar menembak musuh negara dan menghormati arwah orang mati. 

Dan 29 Februari delapan tahun lalu adalah Senin berdarah. Didakus menyelamatkan pimpinannya dari amuk warga yang marah karena pohon kopi mereka dibabat polisi pamong praja, polisi hutan, polisi, dan tentara. Warga merusak kantor polisi, mencari gudang senjata, dan mengejar polisi-polisi itu satu-satu. Namun, dengan sigap para polisi itu meredam suasana dengan memberondong tembakan. Satu, dua, tiga dan belasan nyawa meregang. Demikian catatan Post Flores.

Versi Iptu Didakus lain. Ia berpapasan langsung dengan seorang mantan tentara yang memimpin serangan itu. Saat hendak melukai pimpinannya dengan tombak, dengan sigap Didakus menyelamatkan pimpinannya, seperti adegan jagoan lawan penjahat pada di sinetron Indonesia. Penyerang itu dilumpuhkan dengan pistol imut, tepat di batok kepalanya.

“Sebenarnya saya mau tembak kaki. Tapi justru kena di kepala, ” ujar Didakus sambil mengenang Senin berdarah itu.

Karena berjasa menyelamatkan Kapolres kala itu, AKBP Toni Sembutar, ia pun sering beruntung kala kenaikan pangkat. Meski hanya tamat SMA, namun dengan merawat hubungan baik, ia mendapat gelar Komisaris Polisi. Didakus pun bergilir mendapat tugas pada bagian reserse kriminal dan lalu lintas.

“Mukanya boleh sangar. Tapi, ia seperti labu ijo, masih punya bagian inti serupa hati, ” ujar Toni saat ditanya Post Flores.

*  *  *

Dua lilin diletakkan persis di depan pohon beringin. Di sebelahnya, sebatang rokok masih bernyala. Asapnya membubung hingga batang beringin yang paling rendah. Tiga buah batu  masih berbau darah di situ.

“Ini lakalantas kemarin. Dua anak SMA yang mati karena dorang tabrak pembatas jalan, ” tutur Didakus kepada Post Flores.

Dua anak itu, seperti diceritakan Koran milik para pastor, sedang bemesraan di  taman kota yang berada persis di depan rumah dinas bupati dan wakil bupati. Pada pukul 00.01 dini hari mereka dikejar polisi pamong praja. Takut ditangkap dan dilaporkan ke orang tua, mereka pun kabur dengan sepeda motor. Dan na’as takdir, batas jalan mengakhiri hidup mereka.

“Kau sudah tulis kah? Jangan bilang dari saya. Tulis saja sebagai pernyataan bos besar. Biar foto rekonstruksi kau taro kaka punya foto to. Biar kaka masuk koran, ” ujar Didakus pada wartawan Post Flores.

* * *

Didakus sibuk. Polres dipenuhi kerumunan pria yang mengenakan songket dan ikat kepala Flores. Para pria itu sangar-sangar. Mereka datang dengan dua buah truk pengangkut pasir dari Wae Longka. “Ada apa kaka? ” tanya wartawan pada Didakus.

“Kau lihat saja sendiri. Pasti sedikit lagi ribut besar di kota ini? Memang para polisi hutan itu harus diberi pelajaran,” ujarnya tersenyum sinis. Didakus tidak suka para polisi hutan itu. Mereka sok jago menembak padahal baru bisa menembak burung perkutut. 

Kemarin, warga Kampung Lado, Desa Golo Doku, tertembak di hutan, dekat lokasi eksploitasi air mineral Beringin. Warga itu membuat balok yang akan dijual ke Pasar Inpres Beringin. Hari itu, dia kira tidak ada operasi. Ia kabur dengan Kope Coco  yang ia gunakan untuk membuat balok.

Para polisi hutan menduga, pria malang itu akan menghabisi mereka dengan Kope Coco. Sigap, seorang polisi hutan baru yang masih magang melepas tembakan yang dikira mengenai  kaki, padahal tepat menembus kepala.

“Masyarakat datang protes. Curi satu balok dari hutan saja kok harus ditembak mati,” kisah Didakus kritis. Saat senja kala ratusan lilin diletakan para mahasiswa yang belajar ilmu teologi di Kota Beringin. Lilin-lilin itu bentuk bela sungkawa bagi warga yang mati di ujung senapan. RIP. Rest in Peace.

“Ini aksi damai kaka. Bukan demonstrasi. Kita tidak mau mengulang Senin Berdarah, ” ujar kordinator aksi dari Pemuda Katolik Pro Rakyat Flores (PMKRF).

Seorang mahasiswi lain bilang, aksi damai ini juga sebagai bentuk terapan mata kuliah Teologi Peduli. Pastor yang mengajar mereka adalah seorang aktivis. Kalau tidak ikut aksi damai, mereka tidak akan diberi nilai mata kuliah penerapan ilmu agama.

* * *

Senjakala dingin. Jaket bertulis Polisi membungkus Didakus. Ia bersua Beringin lagi dekat tanah lapang tempat anak-anak bermain sepeda dan balon dan tempat pasangan muda saling menatap dan mengusap rambut.

Bunga dan lilin diletakan Didakus di bawah kaki Beringin. Ia tersenyum sendiri. Di dalam saku, ia menggenggam benda serupa tasbih yang terbuat dari manik-manik kayu Cendana Timor. Para pastor menyebut benda itu Rosario.

“Malam akan datang dan cahaya ini untukmu,” ucapnya pelan-pelan agar tak ketahuan rombongan anak sekolah yang sedang lewat. Berdoa dengan bersuara keras akan dianggap farisi di Kota ini. Didakus menghindari itu. Ia ingin dianggap kafir walau ia rajin novena dan memberi derma  untuk gereja.

***

Kabar heboh menjadi berita utama pada Koran milik para pastor. 26 Februari 2012.  Seorang polisi dikabarkan tewas kecelakaan. Disebutkan, karena kredit berlebih di bank rakyat dan koperasi harian, pria malang itu hanya menerima lembaran kosong saban bulan.

Padahal, ia harus menafkahi empat orang anak dan seorang istri. Pria itu memilih mengakhiri hidup dengan menabrakan motornya pada pembatas jalan dekat Beringin.

Tiga batu dan sisa-sisa lilin membekas di kaki Beringin, pohon tua yang  masih tertinggal. Pohon-pohon tua lain sudah ditebang untuk dibuatkan kursi para bupati terpilih dan anggota DPRD setempat.

***

Hari itu, 29 Februari 2016, di bulan pertama pemerintahan wakil bupati yang sudah lima belas tahun memerintah sebagai bupati. Para polisi pamong praja, polisi, brimob, dan tentara bersiaga dekat Beringin. Menurut Post Flores, ada demonstrasi besar-besaran dalam rangka aksi puasa dari para pastor, para biarawan dan biarawati, para calon pastor, para mahasiswa yang belajar teologi, gerakan pemuda pembela rakyat, dan warga yang masih beragama.

Tampak Didakus tidak seperti polisi lain. Ia hanya mengenakan pakaian seperti warga biasa dan tas kulit palsu yang dibeli dari Orang Padang. Di dalamnya terdapat alat perekam, pistol imut, beberapa carik kertas, dan balpoin. Ia menyamar  rupanya.

Para pastor mengenakan jubah putih. Para biarawan dan biarawati pun sama. Demikian pun para calon pastor, mereka mengenakan pakaian yang mereka kenakan sabankali ibadah. Ini untuk membedakan dengan umat yang berdemonstrasi. Hanya itu identitas pembeda dengan umat biasa saat ini.

Aksi itu dipimpin seorang pria berambut gondrong dan gimbal, yang katanya, kordinator pemuda pro rakyat di Kota itu. Pria yang ahli membuat roti itu sudah tidak asing lagi bagi polisi karena hampir tiap bulan ia melakukan demonstrasi sendiri. Hari itu ia membawa massa terbanyak. Ribuan orang.

“Jangan gadaikan dan jual pantai kami. Nanti kami mandi dimana Pak Bupati? ” teriak pria itu, disusul tepuk tangan riuh rendah demonstran lain. Satu-satunya pantai tersisa di Kota Beringin jadi akan dijadikan hotel besar dan tempat pesta artis oleh seorang anggota DPR kaya raya di  Jakarta. Warga Kota ingin pantai itu kembali.

“Anda hamba investor yang menjual harga diri pada kaum kapitalis, #SaveFlores,” pekik seorang pastor aktivis di sebelahnya. Suara mereka membahana di tanah lapang.

Mereka mengarak keranda mayat bertulis “RIP Bupati dan Wakil Bupati.” Demonstran berteriak tak peduli terik matahari. Para mahasiswa juga tampak makin panas. Bara darah mereka seperti mau meledakan kepala para wakil rakyat dan bupati.

Kota Beringin pun dipenuhi ribuan lilin yang meluber hingga tanah lapang. Didakus yang melaksanakan fungsi intel seperti sedang berjalan di tengah  api penyucian yang sedang membakar jiwa-jiwa yang bergoyang kepanasan. Lilin-lilin itu membuat aroma belahan kota berbau api.

***

Pukul 00.01 menit. Dan 29 Februari itu terjadi hanya empat tahun sekali. Diam-diam  merayap, Didakus meninggalkan rumah, saat empat orang anak dan istrinya tertidur pulas. Lilin-lilin bekas demonstrasi telah mati tertiup angin lembab. Ia membakar lilin-lilin bekas dan meletakan bunga mawar pada tiga buah batu  di situ.

“Cintaku pada cahaya belum pudar warnanya. Kauterangi aku, engkaupun  terang Gaia, ” ucapnya.

Tak ada yang mendengar. Hanya dia sendiri di Beringin. Kosong. Daun-daun kekuningan pun terjatuh hampir memadamkan lilin-lilin. Ia menatap sesuatu di ujung jalan,  tepat di bawah terang lampu bertenaga surya. Perasaannya pun tak heran. Seorang perempuan muda berpakaian putih seperti hendak pergi bernyanyi di gereja. Sosok bisu itu melepas senyum arah ke tiga batu dan meletakkan sebatang rokok di atasnya.  Lalu, perempuan itu bergegas pergi.

“Terima kasih rokoknya Ma, ” ucap Didakus di ujung bibir yang tersenyum.  (***)

Kondo Ros, Ruteng Pu’u, 1 Maret 2016.

Upsss Glosarium:

Didakus berulangtahun tiap 26 Februari, kurang tiga hari dari 29 Februari. Kope Coco: parang tradisional yang digunakan petani Manggarai untuk membentuk balok. Farisi: metafora kaum munafik dalam Injil. Novena: doa Sembilan malam dalam tradisi Katolik. Rosario: untaian manik-manik untuk mendaraskan doa. RIP/Rest in Peace. beristirahatlah dalam damai. Bait untuk orang mati. Sopi: arak Flores yang dimasak berbahan tuak lontar dan aren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun