Para pastor mengenakan jubah putih. Para biarawan dan biarawati pun sama. Demikian pun para calon pastor, mereka mengenakan pakaian yang mereka kenakan sabankali ibadah. Ini untuk membedakan dengan umat yang berdemonstrasi. Hanya itu identitas pembeda dengan umat biasa saat ini.
Aksi itu dipimpin seorang pria berambut gondrong dan gimbal, yang katanya, kordinator pemuda pro rakyat di Kota itu. Pria yang ahli membuat roti itu sudah tidak asing lagi bagi polisi karena hampir tiap bulan ia melakukan demonstrasi sendiri. Hari itu ia membawa massa terbanyak. Ribuan orang.
“Jangan gadaikan dan jual pantai kami. Nanti kami mandi dimana Pak Bupati? ” teriak pria itu, disusul tepuk tangan riuh rendah demonstran lain. Satu-satunya pantai tersisa di Kota Beringin jadi akan dijadikan hotel besar dan tempat pesta artis oleh seorang anggota DPR kaya raya di Jakarta. Warga Kota ingin pantai itu kembali.
“Anda hamba investor yang menjual harga diri pada kaum kapitalis, #SaveFlores,” pekik seorang pastor aktivis di sebelahnya. Suara mereka membahana di tanah lapang.
Mereka mengarak keranda mayat bertulis “RIP Bupati dan Wakil Bupati.” Demonstran berteriak tak peduli terik matahari. Para mahasiswa juga tampak makin panas. Bara darah mereka seperti mau meledakan kepala para wakil rakyat dan bupati.
Kota Beringin pun dipenuhi ribuan lilin yang meluber hingga tanah lapang. Didakus yang melaksanakan fungsi intel seperti sedang berjalan di tengah api penyucian yang sedang membakar jiwa-jiwa yang bergoyang kepanasan. Lilin-lilin itu membuat aroma belahan kota berbau api.
***
Pukul 00.01 menit. Dan 29 Februari itu terjadi hanya empat tahun sekali. Diam-diam merayap, Didakus meninggalkan rumah, saat empat orang anak dan istrinya tertidur pulas. Lilin-lilin bekas demonstrasi telah mati tertiup angin lembab. Ia membakar lilin-lilin bekas dan meletakan bunga mawar pada tiga buah batu di situ.
“Cintaku pada cahaya belum pudar warnanya. Kauterangi aku, engkaupun terang Gaia, ” ucapnya.
Tak ada yang mendengar. Hanya dia sendiri di Beringin. Kosong. Daun-daun kekuningan pun terjatuh hampir memadamkan lilin-lilin. Ia menatap sesuatu di ujung jalan, tepat di bawah terang lampu bertenaga surya. Perasaannya pun tak heran. Seorang perempuan muda berpakaian putih seperti hendak pergi bernyanyi di gereja. Sosok bisu itu melepas senyum arah ke tiga batu dan meletakkan sebatang rokok di atasnya. Lalu, perempuan itu bergegas pergi.
“Terima kasih rokoknya Ma, ” ucap Didakus di ujung bibir yang tersenyum. (***)