* * *
Senjakala dingin. Jaket bertulis Polisi membungkus Didakus. Ia bersua Beringin lagi dekat tanah lapang tempat anak-anak bermain sepeda dan balon dan tempat pasangan muda saling menatap dan mengusap rambut.
Bunga dan lilin diletakan Didakus di bawah kaki Beringin. Ia tersenyum sendiri. Di dalam saku, ia menggenggam benda serupa tasbih yang terbuat dari manik-manik kayu Cendana Timor. Para pastor menyebut benda itu Rosario.
“Malam akan datang dan cahaya ini untukmu,” ucapnya pelan-pelan agar tak ketahuan rombongan anak sekolah yang sedang lewat. Berdoa dengan bersuara keras akan dianggap farisi di Kota ini. Didakus menghindari itu. Ia ingin dianggap kafir walau ia rajin novena dan memberi derma untuk gereja.
***
Kabar heboh menjadi berita utama pada Koran milik para pastor. 26 Februari 2012. Seorang polisi dikabarkan tewas kecelakaan. Disebutkan, karena kredit berlebih di bank rakyat dan koperasi harian, pria malang itu hanya menerima lembaran kosong saban bulan.
Padahal, ia harus menafkahi empat orang anak dan seorang istri. Pria itu memilih mengakhiri hidup dengan menabrakan motornya pada pembatas jalan dekat Beringin.
Tiga batu dan sisa-sisa lilin membekas di kaki Beringin, pohon tua yang masih tertinggal. Pohon-pohon tua lain sudah ditebang untuk dibuatkan kursi para bupati terpilih dan anggota DPRD setempat.
***
Hari itu, 29 Februari 2016, di bulan pertama pemerintahan wakil bupati yang sudah lima belas tahun memerintah sebagai bupati. Para polisi pamong praja, polisi, brimob, dan tentara bersiaga dekat Beringin. Menurut Post Flores, ada demonstrasi besar-besaran dalam rangka aksi puasa dari para pastor, para biarawan dan biarawati, para calon pastor, para mahasiswa yang belajar teologi, gerakan pemuda pembela rakyat, dan warga yang masih beragama.
Tampak Didakus tidak seperti polisi lain. Ia hanya mengenakan pakaian seperti warga biasa dan tas kulit palsu yang dibeli dari Orang Padang. Di dalamnya terdapat alat perekam, pistol imut, beberapa carik kertas, dan balpoin. Ia menyamar rupanya.