Dalam kancah dunia politik Eksekutif (Pemerintah : lembaga yang menjalankan undang - undang) selalu menekankan tujuan, sedangkan Legislatif (MPR & DPR : lembaga yang membuat undang - undang) selalu menekankan cara. Eksekutif ingin melaju dengan kencang agar semau program bisa tuntas pada waktunya, Legislatif berusaha untuk menahan - nahan laju itu untuk mengecek apakah ada prosedur yang di langgar dari ukuran yang dapat merugikan kepentingan rakyat atau tidak.
Dalam relasi kemitraan sekaligus kompetitoris antara Legislatif "MPR & DPR", dan Eksekutif "Pemerintah" dalam hal ini "Birokrasi", ada kecenderungan untuk memperlemah bahkan mematikan relasi kompetitoris, sehingga yang ada sekarang ini adalah hanya sebatas relasi kemitraan yang lama kelamaan menyempit, dan mengeras menjadi relasi kolutif, maka yang terjadi MPR & DPR tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengontrol dan pengawas, sementara fungsi legislasi dan fungsi anggaranpun di jalankan secara kolutif.
MPR & DPRyang kewenangannya berada dalam ranah legislatif yaitu ranah yang berkaitan dengan perencanaan, perumusan, persetujuan, penetapan, dan pengawasan, serta evaluasi program pembangunan. Hal ini menjadi rentan berbagai godaan, benturan kepentingan, dan uang untuk menyeberang ke ranah eksekutif yang berurusan dengan Implementasi Pembangunan. Maka tak heran jika anggota dewan banyak ikut andil bagian dalam "Proyektisasi Pelaksanaan Pembangunan" ini bisa di lihat dari hasil tender - tender yang di lakukan salah satu contoh tender renovasi dan interior dalam gedung MPR/DPR, e-ktp, kalender, peralatan kerja seperti laptop, kendaraan operasional yang nilainya miliaran rupiah, kebijakan kenaikan harga seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), Tarif Air, Telepon, Elpiji, Minyak Tanah, kebijakan untuk prasarana gedung olahraga seperti wisma atlet, hambalang, dan sebagainya. Seminimal mungkin tidak ada proyek yang tidak di ketahui oleh Dewan yang sengaja bermain - main dalam penetapan jumlah anggaran yang kemudian lebih populer di sebut bagi - bagi jatah proyek yang tidak lain "Korupsitisme". Atau jika tidak keberanian untuk itu, maka kanker dan workshop menjadi pilihan rasional karena di dalamnya mengandung ilmu dan uang, yang kemudian masyarakat menyebutnya "ngelencer".
Godaan tersebut bisa masuk di akal karena lembaga legislatif sesungguhnya hanya berurusan dengan "kata - kata", sementara eksekutif sesungguhnya hanya berurusan dengan "uang". Relasi kontrol - mengontrol atau awas - mengawasi antara legislatif dan eksekutif adalah relasi yang tidak nyaman, dan kadang - kadang terjadi benturan kepentingan "membahayakan", serta rentan bergeser menjadi tawar - menawar dalam tender proyek dan adanya penekanan terhadap eksekutif (Dalam melakukan kesepakatan tender sering legislatif dan eksekutif selalu ambil bagian dari jumlah nilai proyeknya).
Dalam bidang hukum pun tak terkecuali pula selalu saja yang memiliki uang / harta, atau yang dekat hubungannya dengan yang punya kekuasaan "Power", selalu saja tidak bisa terjerat hukum atau, sampai ke ranah hukum sekalipun dengan dalih masih aktif di lembaga eksekutif maupun legislatif. Disinilah sering kali mereka dengan seenaknya melakukan, atau "melecehkan" hukum (Hukum terkesan tidak ada artinya), baik itu berlaku pada Koruptor kakap, Markus (Makelar Kasus / Mafia Peradilan), maupun berhubungan dengan penggelapan pajak / pengemplang pajak, semua berakhir tanpa kepastian yang jelas.
Pada pemerintahan daerah (Pemda) sendiri pun, sering kali terjadi banyak penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, yang banyak memunculkan raja - raja kecil bahkan untuk mempertahankan kekuasaannya diciptakanlah dinasti - dinasti politik. Kekuasaan besar pemerintah daerah terdapat pada DPRD / DPD baik tingkat I atau pun tingkat II, sehingga eksekutif daerah cukup pada kepala daerah, bupati, kepala desa atau satuan kerja daerah yang hanya bisa mengamini atau menyetujui "arahan teknis", dari anggota dewan agar pengajuan anggaran mereka diterima. Apabila eksekutif mencoba - coba mem by-pas "arahan" DPR maka mereka akan langsung berhadapan dengan penolakan anggaran yang di ajukan.
Salah satu contoh bentuk korupsi politik kekuasaan yang paling menggejala di pusat maupun di daerah adalah terkait "Politik Uang / Money Politic", berupa suap dalam bursa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam masa transisi, politik uang merupakan sebagai bentuk godaan dalam benturan kepentingan yang menggiurkan. Mengapa politik uang semakin semarak, terutama di daerah - daerah pada masa transisi dan otonomi ? Ada dua fenomena untuk memahami hal itu :
1. Adanya politik budaya lama, warisan "budaya" Orde baru, yang masih melekat. Budaya politik masa lalu, diam - diam belum sepenuhnya dapat di lepaskan para elite politik kita di daearah (ABS=Asal Bapak Senang), dan semua ini belum bisa di hilangkan, apalagi otonomi daerah, jadi setiap daerah berhak menentukan sendiri pendapatan daerahnya.
Bisa di pahami pendapat yang menyebutkan, hingga kini belum ada perubahan budaya politik di masyarakat dan elite politik, kecuali orang - orangnya. Mentalitas dan pola pikir lama masih dominan. Dalam konteks ini, "Politik Uang" hanyalah salah satu (dari perbendaharaan budaya politik lama), selain gaya politik lama, yakni teror politik / intimidasi ikut berperan, politik patron (sistem patronase), dan feodalisme politik, hedonisme, matrialisme, serta individualisme, mulai masuk pada diri eksekutif dan legislatif daerah. Hal ini sudah bukan menjadi "rahasia umum", sejak dulu setiap kali ada pemilihan pimpinan, baik di tingkat desa sekalipun, "Politik uang" merebak. Apalagi di tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi.
Dulu, "partai" berkuasa leluasa memainkan peranan, di tambah kuatnya posisi "negara", praktis politik uang mudah di tutup - tutupi. Tetapi kini, pelaku politik yang ada jauh lebih plural, sehingga berbagai macam benturan kepentingan muncul. Peran "negara" (sebagai pihak perekayasa politik) sendiri pun kian menyusut, elite - elite politik baru kian mendapat porsi lebih dari dulu. Sayang, "porsi lebih" itu belum optimal di jalankan di rel demokrasi yang sehat, sehingga virus "politik uang" dengan mudah menggerogotinya.
2. Perubahan iklim politik dari sebelumnya tertutup (sentralistik) menjadi terbuka (pluralistik), yang belum di imbangi ke dewasaan berpolitik. Ini problem awal perjalanan proses transisi (politik) menuju demokrasi bersih. Betapa banyak godaan dan benturan kepentingan untuk memerosotkan citra dan makna demokrasi, terutama godaan "politik uang". Bila para elite politik terjerembab kekubangan "politik kotor/uang" , jangan harap aspirasi publik pemilihnya akan di perjuangkan. Kenapa? Sebab, mereka sudah "mengkontrakkan dirinya" untuk berbagai macam benturan kepentingan dari sang pemberi Uang.
Pantas untuk diketahui, yang memberi maupun menerima sogokan demi maksud politik tertentu, nilainya sama, yakni sama - sama menyumbangkan kebobrokan dalam berpolitik, dan berakibat sakitnya "system demokrasi". Dalam konteks "politik uang" (didaerah), situasinya amat sangat memprihatinkan sampai Mahkamah Konstitusi ikut menyemarakan dan berperan dalam proses Pilkada. Maka perlu dilakukan langkah - langkah antisipasi yang keras dan tegas untuk menindak lanjutinya apalagi sudah membawa lembaga tinggi yang paling vital, hal ini agar pelaksanaan otonomi daearah dalam pilkada tidak menghasilkan efek samping yang demikian, akibat penyelewengan kekuasaan yang di salah gunakan.
Salah satu kunci pokok untuk menggiring ke sana adalah pemahaman dan sikap yang benar terhadap system demokrasi. Untuk kesana, perlu proses " pencerdasan politik / smart political" harus berlangsung dominan, sehingga sikap dan kebijakan rasional - obyektiflah yang mengedepankan, bukan fanatisme, oligarki atau dinasty politik yang cenderung mengedepankan otoritarian, figur dan kharisma, yang belum tentu membawa perubahan yang berarti.
Dengan ilustrasi dan uraian lengkap ini, hendak di katakan bahwa legislatif pun pada taraf tertentu menjalankan tugas kuasa eksekutif dengan memberikan suatu "arahan teknis" tentang penggunaan uang. Suasana seberang - menyeberang atau masuk - memasuki ternyata bukan hanya tipikal Indonesia tetapi juga berlangsung di negara lain, termasuk negara maju. Dalam pandangan para teoritis politik, pemerhati politik dan pakar politik, bahwa teori trias politica montesquieu hanya tipe ideal yang tidak bisa di verifikasi dengan data empiris.
Demikian ulasan dalam politik kekuasaan selalu identik dengan uang dan berbagai macam benturan kepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H