Mohon tunggu...
Fia afifaturrohmah
Fia afifaturrohmah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Saya mahasiswi IAIN PONOROGO saya sekarang semester 2 di jurusan PGMI

Memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pola Asuh dan Kesehatan Mental Anak

31 Mei 2024   11:08 Diperbarui: 31 Mei 2024   11:16 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pola asuh permisif adalah gaya pengasuhan di mana orang tua memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dalam pola ini, orang tua kurang peduli terhadap perkembangan anak, sehingga sebagian besar pengasuhan anak diperoleh dari lembaga formal seperti sekolah.

Gaya pengasuhan ini dapat membuat anak menjadi egois karena orang tua cenderung memanjakan mereka dengan materi. Sikap egois tersebut dapat menghambat hubungan anak dengan orang lain (Astuti, 2011). Pola asuh permisif juga menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial karena rendahnya kontrol diri.

Dalam penelitian, ditemukan bahwa ada 3 responden (8,1%) yang menerapkan pola asuh permisif. Pola asuh ini ditandai dengan penerimaan yang tinggi dari orang tua, namun kontrol terhadap anak sangat rendah. Orang tua membiarkan anak melakukan apa saja, menunjukkan kehangatan dan penerimaan tanpa syarat.

Kehangatan ini sering kali berujung pada sikap memanjakan. Penerimaan tanpa syarat juga berarti memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk berbuat apa saja (Wulan et al., 2018). Peneliti berasumsi bahwa orang tua yang permisif cenderung mengizinkan anak melakukan apapun tanpa pengawasan dan kontrol yang memadai, serta menuruti semua keinginan anak. Akibatnya, anak cenderung suka memberontak, kurang percaya diri, prestasi akademik rendah, dan kurang bertanggung jawab. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini sering kali tidak mampu bersaing di luar, terutama dalam meraih prestasi.

Selain itu, latar belakang pekerjaan dan pendidikan orang tua juga mempengaruhi cara pengasuhan mereka. Misalnya, orang tua yang bekerja sebagai petani atau pedagang mungkin tidak cukup memberikan perhatian kepada anak. Hal ini terlihat dari jawaban para responden, di mana orang tua cenderung memberikan apa pun yang diminta anak tanpa mempertimbangkan dampaknya.

3.Verval Abuse

Kekerasan verbal, atau yang sering disebut sebagai kekerasan emosional pada anak, adalah tindakan lisan atau perilaku yang menyebabkan dampak emosional negatif. Kata-kata yang menyakitkan biasanya merendahkan kemampuan anak, menganggap anak sebagai sumber masalah, mengecilkan arti diri anak, memberikan julukan negatif, dan memberikan kesan bahwa anak tidak diinginkan. Dampak jangka panjang dari kekerasan verbal ini dapat memengaruhi perasaan anak dan citra diri mereka (Lestari & Andrian, 2019).

Berbagai bentuk ucapan yang bertujuan untuk menyakiti anak akan berpengaruh pada mereka, baik dalam kehidupan saat ini maupun di masa depan. Kekerasan verbal terhadap anak dapat menyebabkan rasa sakit hati yang mendalam hingga membuat mereka percaya dengan apa yang sering diucapkan oleh orang tua. Misalnya, jika orang tua sering mengatakan anak bodoh atau jelek, anak akan mulai menganggap dirinya demikian. Dampaknya mungkin tidak langsung terlihat, tetapi akan berkembang seiring waktu.

Ucapan yang menghina dan merendahkan akan terekam dalam ingatan anak. Seiring waktu, hal ini akan memperberat beban emosional dan membuat anak memiliki citra diri yang negatif.Anak yang sering mengalami kekerasan verbal akan kehilangan rasa percaya diri. Hal ini bahkan dapat memicu kemarahan, keinginan untuk membalas dendam, dan mempengaruhi cara mereka bergaul (Syarif, 2018).

Kekerasan verbal terhadap anak bisa berdampak pada kondisi fisik dan psikologis mereka. Meskipun kekerasan verbal biasanya tidak meninggalkan bekas fisik, dampaknya bisa sangat merusak di masa depan. Kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua dapat menimbulkan luka emosional yang lebih dalam dibandingkan kekerasan fisik (Susumaningrum, Juliningrum, & Rahmadiar, 2019). Berikut adalah dampak psikologis dari kekerasan verbal pada anak: anak menjadi tidak peka terhadap perasaan orang lain, gangguan dalam perkembangan, anak menjadi agresif, gangguan emosional, terganggunya hubungan sosial, perkembangan kepribadian sosiopat atau gangguan kepribadian antisosial, menciptakan lingkaran kekerasan dalam keluarga, dan risiko bunuh diri (Rahmawati & Latifah, 2019).

4. Pola Asuh Demokratis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun