Kontroversi tentang Hukuman Mati menjadi Featured Artikel Kompasiana selama dua hari ini (berdasarkan pengamatan saya). Bila bertanya soal setuju atau tidak, di sinilah ada situasi pro dan kontra. Menurut pemahaman saya, bukan soal setuju atau tidak yang menjadi pokok permasalahan. Karena, bukan berarti kalau ada yang setuju pada hukuman mati, mereka tidak mempunyai rasa kemanusiaan, sebaliknya mereka yang tidak setuju adalah orang-orang mulia yang toleransinya tinggi terhadap sesama. Beberapa hal berikut mungkin membantu untuk menemukan masalah.
Pergeseran Nilai
Bila bertanya secara sederhana, apa bedanya hukuman mati dengan pembunuhan? Saya lebih cenderung menjawab, hukuman mati adalah pembunuhan yang dilegalkan. Dan ternyata jawaban saya ini mengiris relung jiwa yang haus akan jawaban dan pencerahan tentang hukuman mati. Kontroversi yang ada tidak pernah menghasilkan sebuah kepastian jawaban "soal setuju atau tidak". Dengan berbagai argumen dan latar belakang pemikiran membangun sebuah konsep untuk melegalkan pembunuhan jenis ini. Mulailah para pakar hukum berbicara seputar Kaidah Dasar yang menjadi falsafah dan ideologi bangsa. Ramai berbicara tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Disebutlah landasan konstitusi kita UUD 1945 yang telah melindungi HAM. Tidak cukup sampai di situ, Undang-Undang HAM pun diterbitkan, mempertegas bahwa manusia harus tetap dihargai. Tapi, disisi lain, Ius Constitutum, warisan kolonial itu masih tetap mematri tentang Hukuman Mati itu dalam pasal-pasalnya. Ius Constituendum tinggal istilah berisi madat yang memberi harapan bahwa segala aturan di negeri ini akan disesuaikan berdasarkan pola perilaku masyarakat Indonesia, bukan warisan dari kolonial itu.
[caption id="attachment_347034" align="aligncenter" width="465" caption="Gambar dari plus.kapanlagi.com"][/caption]
Pergeseran Nilai telah mewarnai pola perilaku bangsa ini. Nilai kehidupan hampir tidak menjadi topik menarik yang secara terus-menerus seharusnya perlu diingatkan. Bila bersentuhan dengan nilai hidupnya sendiri, atau bila bersinggungan dengan haknya sebagai manusia, mulailah dia berteriak minta pertolongan. Tapi bila hal itu hanya menyinggung hak orang lain, mulailah membangun rasa tidak peduli dengan berbagai pembenaran diri. Yah, sangat manusiawilah hal itu di mata sebagian orang. Keluarlah alasan ke-bhinekaan, yang membangun ruang di mana tidak pernah terjadi sepakat. Sementara semua itu berlangsung, nilai-nilai kehidupan semakin terinjak-injak, memuncak pada pembunuhan yang dilegalkan ini.
Mulai Mengonsep Tuhan
Akhir kehidupan manusia, diterjemahkan sebagai kehidupan abadi di surga. Maka, manusia mulai menterjemahkan surga dalam relasi manusia dengan Tuhan, yang sesungguhnya ini adalah urusan pribadi. Sampailah kepada kesimpulan bahwa manusia berdosa tidak layak masuk surga dan harus dibunuh. Banyak orang merasa sudah pernah ke surga, lalu kembali ke bumi untuk menceritakan yang cocok dan yang tidak cocok untuk masuk surga. Benarkah bahwa yang salah di mata manusia, salah di mata Tuhan? Adakah jaminan bahwa mereka yang memberikan hukuman mati itu adalah warga surga kelak? Lalu darimana kuasa untuk mengakhiri hidup sesama itu berasal?
Tiga tulisan saya sebelumnya sangat erat hubungannya dengan tulisan saya ini. Berbicara tentang manusia sebatas seonggok daging, konsep para filsuf tentang manusia dan bagaimana manusia di hadapan Tuhan, sang penciptanya. Tiga tulisan itu merupakan penghantar bagi saya untuk menggoreskan sedikit pendapat saya tentang hukuman mati itu. Dan ketika manusia mulai menggantikan Tuhan, maka perampasan hak Tuhan pun mereka lakukan.
Hukuman Mati adalah Pesan dari Tuhan
Secara pribadi, saya tidak sependapat dengan pernyataan seorang pakar hukum ternama Indonesia pada acara televisi KickAndy, ketika mengetengahkan topik tentang Hukuman Mati. Dalam pernyataannya (beliau) mengatakan: Hukuman mati itu pun merupakan pelaksanaan pesan dari Tuhan. Benarkah demikian? Paling tidak, bila benar itu merupakan pesan dari Tuhan, mengapa hanya sebagian orang yang tahu dan sebagian orang tidak. Lalu mengapa sebagian orang setuju dan sebagian orang tidak. Bila kerangka berpikir itu hanya sebatas hukum dan hukum, tidak usahlah melibatkan Tuhan untuk mendukung pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah ini. Popularitas tidak boleh digunakan sebagai cara untuk melegalkan hal-hal yang bukan urusan manusia.
Hukuman Mati dalam Ajaran Agama (Sharing)
Sebagai penganut agama Kristen Katolik, saya berbagi sedikit tentang pandangan agama yang saya anut tentang hukuman mati. Maaf, saya tekankan kata berbagi. Meskipun ada yang menolak untuk menggunakan ajaran agama sebagai landasan moral tentang penolakan hukuman mati, ketika  dilaksanakan uji konstitusional Hukuman Mati di Mahkamah Konstitusi, dengan alasan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, namun penolakan itu pun dimentahkan karena yang menolak sendiri kemudian mengutip salah satu ayat dari Kitab Suci. Maka saya pun berani berbagi tentang nilai moral itu di sini. Benar bahwa dalam Kitab Suci Kristen, terutama dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa "mata ganti mata, gigi ganti gigi". Tapi orang Kristen tidak boleh berpegang pada ayat-ayat itu sebagai dasar pembenaran terhadap Hukuman Mati. Perjanjian Lama itu disempurnakan oleh Perjanjian Baru. Semua aturan dan perintah-perintah disatukan dalam Hukum Cinta Kasih. Kasih kepada sesama dan kasih kepada Tuhan. Bahkan secara ekstrim dikatakan bahwa: "Bila pipi kirimu ditampar, berikan pulalah pipi kananmu".
***
Pernah ada seorang teman mahasiswa di Sekolah Hukum, pada jam istirahat bertanya kepada saya seputar hukuman mati. Dia bertanya seperti ini: Apakah saudara setuju diberlakukan hukuman mati? Katakanlah kita menggunakan alasan bahwa sudah diatur dalam hukum pidana kita? Alasan kedua karena kejahatan manusia itu telah melebih batas-batas yang bisa ditolerir?
Secara tegas saya menjawab: "apa pun alasannya, tapi bila berhubungan dengan "menghilangkan nyawa" itu adalah urusan Tuhan. Nyawa (jiwa) itu hanya dapat diberikan oleh Tuhan, dan hanya Tuhan pula yang berhak mengambilnya. Dan bila hal itu dipakai sebagai alasan untuk mewujudkan keadilan, maka saya sependapat dengan Renouvier, Charles Bernard (1815-1903) yang mengatakan bahwa tidak ada keadilan dalam Hukuman Mati. Yang ada hanya pembunuhan terhadap keadilan itu sendiri." Jawaban itu pun saya pakai untuk mengakhiri tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H