Senja kala itu
Melukis indah kanvas langit dengan tinta keabadian sang pencipta. Kolaborasi warna elok memadu indah langit-langit biru. Binar sinar surya menjadi penyempurna.
Indah, namun sayang ia akan segera menghilang lalu malam datang dengan semua kepekatan. Menghapus warna-warna indah yang sempat terpadu. Lalu terurai dan berganti kepekatan nan legam.
Ku duduk termenung, tatapku tak ingin ku akhiri sore ini. Pada senja yang begitu sangat ku nikmati. Pada batas ambang kanvas keabadian.
Tatapanku melekat tajam. Sesekali kursi ini ku ayunkan, ku seduh teh hangat yang ku tiup dengan tabah. Nikmat ini akan berakhir, tak perlu ku merasa sesal. Karena sejatinya semesta tiada kekal.
Elokmu nikmat yang patut ku syukuri, semoga kaki bijak dalam berpijak pada bumi, tangan ini tidak bertambah panjang dalam merangkus bumi, akal ini tak menjadi angan yang picik dalam merajai bumi.
Kota santri, 19 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H