Masyarakat kompleks terdiri dari jaringan-jaringan aneka bentuk komunikasi yang saling tumpang tindih dan terkait dengan berbagai kepentingan, gaya hidup dan orientasi nilai kultural, sosial, serta religius. Identitas antara kehendak pemerintah dan rakyatnya sulit dicapai. Kedaulatan rakyat tidak bisa dibayangkan secara konkrit. Kedaulatan rakyat dalam masyarakat kompleks cukup dibayangkan sebagai "kontrol atas pemerintah melalui opini publik". Maka, kedulatan rakyat bukanlah bentuk demokrasi langsung, melainkan demokrasi perwakilan plus vitalisasi ruang publik politis.[12]Bagi Habermas, suatu negara dapat disebut berdaulat ketika negara (pada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dapat tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Teori demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan melancarkan kegiatan diskursus publik di pelbagai bidang sosial-politis-kultural untuk meningkatkan partisipasi demokratis warga negara.
Pada gagasan teori politik demokrasi deliberatif, Habermas optimis bahwa jurang pemisah yang ada antara lembaga pemerintah (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dan lembaga non-pemerintah (para akademisi, pers, cendekiawan, mahasiswa, aktifis LSM, dan sebagainya), dapat terjembatani lewat jalan komunikasi politis. Menurut Habermas, masyaraktat kompleks dapat membendung imperatif-imperatif kapitalisme dan desakan-desakan birokrasi negara dengan cara menyambungkan antara sistem politik demokrasi deliberatif dengan ruang publik.
Selain itu terdapat etika yang mengatu berjalannya Diskursus Ruang Publik untuk menghilangkan hegemoni/penindasan, yaitu:
1. Adanya pluralitas moral sebagai etika normatif
2. Prasyarat yang menekankan pada kesetaraan pada kebebasan masyarakat atau komunitas untuk memiliki hak bersuara.
HOW
Menurut Habermas, etika diskursus tidak memberi orientasi substansial, melainkan suatu metode diskursus praktis. Diskursus praktis yang dimaksudkan di sini bukan memberikan metode untuk menciptakan norma-norma yang absah tetapi secara prosedural mau memeriksa keabsahan norma-norma yang diajukan dan dipertimbangkan secara hipotetis untuk diberlakukan. Etika dalam konteks etika diskursus tidak terlepas dari pengertian etika secara filosofis sebagai cabang filsafat yang berbicara tentang praksis manusia. Etika diskursus diperlukan ketika ada norma-norma dalam masyarakat mulai dipersoalkan secara kritis dan tak pelak sejatinya etika adalah menyelidiki dasar semua norma moral.Â
Bagaimana  Menerapkan Prinsip Diskursus Berdasarkan Model Etika Komunikasi Habermas, yaitu :Â
- Kesetaraan Partisipan: Tiap pihak berkompeten berhak berbicara, dan bertindak dalam diskursus
- Transparansi dan Kejujuran: Setiap pihak diperbolehkan menanyakan, bebas mengekspresikan sikap-sikap atau keinginan kebutuhannya untuk mengungkapkan kebenaran subjektif secara terbuka tanpa manipulasi.
- Ruang Bebas: Menjamin kebebasan berbicara dan menghindari intimidasi
Konsensus Rasional: Hasil tersebut berupa kesepahaman bersama yang dicapai melalui proses diskursus yang rasional dan terbuka. Ini berarti keputusan yang diambil harus didasarkan pada argumen terbaik, bukan pada kekuasaan atau tekanan.
DAFTAR PUSTAKAÂ
 Habermas, J.(1991): "The public sphere" In Mukerji, C.; Schudson, M.(Ed.): Rethinking popular culture. Contemporary perspectives in cultural studies. Berkeley/Los Angeles: University of California Press. pp.398-404.Â
 F Budi Hardiman. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodern Menurut Jurgen Habermas. Kanisius: Yogyakarta. 2009. Â