Indonesia telah kurang lebih mengalami 4 bulan pandemi akibaat virus yang merebak pertama kali di Kota Wuhan, Hubei, Ibukota China. Ya, Infeksi virus baru tersebut dikenal dengan nama Coronavirus Disease-19Â (COVID-19) atau juga dikenal dengan Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus Disease 2Â (SARS-CoV 2).
Mengapa disebut sebagai SARS-CoV 2? Sejatinya dunia, telah mengalami kejadian pandemi oleh Corona virus sebanyak tiga kali, yaitu: pertama kali terjadi pada tahun 2003 di Kota Guang Dong, China dengan bentuk Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus 1 (SARS-CoV 1) dan pada tahun 2013 muncul di Daerah Timur Tengah dalam bentuk Middle East Respiratory Syndrome-Coronavirus (MERS-CoV).
Ahli perhimpunan virus dunia menemukan terdapat kesamaan berdasarkan analisis melalui pohon filogenetik virus antara SARS-CoV 1, MERS-CoV, dan SARS-CoV 2 dengan kemiripan antara SARS-CoV 2 mirip secara 88% dengan SARS-CoV 1 sehingg atas dasar alasan tersebut maka Ahli Perhimpunan virus sepakat selain menyematkan nama COVID-19 juga sepakat menyematkan nama SARS-CoV 2.
Berdasarkan tentang apa yang juga saya alami, kebetulan bahwa saya adalah Mahasiswa Magister Ilmu Forensik Universitas Airlangga, yang juga mengalami imbas akibat pandemi COVID-19.
Imbas yang saya alami tersebut terjadi pertama kali pada tanggal 16 Maret 2020, di mana seharusnya pada tanggal dan hari tersebut saya seharusnya menjalani dan mengikuti kegiatan perkuliahan seperti biasanya, namun karena adanya instruksi pemerintah berupa pelaksanaan program semi lockdown, atau dikenal dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar, maka bahwa segala bentuk kegiatan belajar mengajar (KBM) harus dilakukan secara daring.
Hal serupa juga dialami oleh semua adik-adik kelas baik di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Mahasiswa Strata 1 (S-1) ataupun lainnya harus menjalani pendidikan secara daring, atau lebih dikenal dengan istilah School From Home (SFH).Â
Menurut hemat pikiran saya, SFH memang mau tidak mau harus dilakukan karena berhubungan dengan istilah "pandemi" yang mana terjadi penyebaran infeksi secara besar-besaran secara masif yang diperlihatkan melalui angka Reproductive Number (Ro).
Selain itu, hal tersebut merupakan efek PSBB di mana PSBB membatasi secara besar-besaran kontak sosial antara satu manusia dengan manusia yang lainnya, yang salah satunya adalah kegiatan sekolah.
Hal tersebut masuk akal, karena sesuai dengan Peraturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terdaapt beberapa kriteria orang yang berhubungan dengan penyakit COVID-19, yaitu: ada kasus suspek, probabel, terkonfirmasi tanpa gejala, dan terkonfimrasi positif COVID-19.
Tak terasa, waktu pun cepat berlalu hingga tiba di bulan Juli 2020 yang menurut jadwal merupakan jadwal semester gasal bagi para peserta didik untuk menikmati ajaran tahun baru. Namun, Hal tersebut tampaknya harus terkendala akibat pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai bahkan semakin parah dan masif tingkat penyebarannya.
Impian untuk memulai dan merasakan bangku sekolah dan menjalani masa orientasi siswa (bagi siswa kelas VII, X, dan semester 1 di tingkat Strata - 1 (S1) tampaknya harus tertunda untuk sementara dan digantikan dengan sistem pembelajaran daring (online).
Hal ini masuk akal, sebab sesuai dengan instruksi pemerintah yang tidak memperbolehkan sistem pembelajaran untuk dilakukan secara tatap muka, sebab fenomena orang terkonfirmasi positif tanpa gejala masih bergentayangan menghantui para peserta didik dan semua orang yang terlibat di dalam dunia pendidikan jika dipaksakan bertatap muka.
Hal tersebut sesuai dengan teori yang dibaca, bahwa fenomena orang terkonfirmasi positif tanpa gejala adalah fenomena carier COVID-19 yang dapat dengan cepat menularkan ke orang lain yang berkontak erat dengannya, sehingga fenomena sekolah daring diharapkan dapat memutus rantai penyebaran COVID-19 dan diharapkan mencegah terjadi munculnya klaster baru yang dapat mengakibatkan ledakan jumlah COVID-19 di Indonesia.
Kembali lagi ke judul apakah SFH tersebut aman dan efektif? Ditinjau dari beberapa sudut pandang saya selama mengikuti kegiatan belajar mengajar di rumah tampaknya untuk kata-kata "aman" mungkin iya, sebab dengan adanya fenomena SFH mencegah terjadinya kontak erat antara satu manusia dengan manusia lainnya (dalam hal ini guru dengan murid, dan murid satu dengan murid lainnya) sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya transmisi COVID-19 di antara mereka.
Namun, untuk ditinjau dari sudut pandang kata yang kedua, yaitu kata "efektif" mungkin menurut hemat saya, kurang efektif karena dengan adanya SFH seakan-akan seperti pendidikan tersebut seperti ada di perguruan tinggi. Maksud saya adalah: kalau sudut pandang saya sebagai Mahasiswa Strata-2 (S2) mungkin tidak apa-apa dan di balik kata tidak apa-apa tersebut terdapat satu tanda tanya yang besar mengingat secanggih-canggihnya belajar dengan sistem daring, tidak akan pernah dapat menggantikan sistem pembelajaran tatap muka.
Sudut pandang yang lain, orang tua dalam hal ini menjadi bertambah kewajibannya di dalam kegiatan belajar mengajar putra-putrinya di rumah. Fenomena SFH berarti mau tidak mau orang tua terlibat langsung di dalam kegiatan belajar para putra-putrinya di mana para orang tua selain disibukkan dengan mencari nafkah di tengah pandemi COVID-19, masih ditambah lagi dengan mengurus pendidikan putra-putrinya yang mana belum tentu semua orang tua mampu dan menguasai pembelajaran putra-putrinya.
Jadi memang dapat diambil kesimpulan untuk kata tanya di judul yang kedua yaitu keefektifan jelas kurang efektif, karena terdapat beberapa hal yang tidak dapat menggantikan proses belajar mengajar di sekolah secara offline atau tatap muka bila dibandingkan dengan daring atau online.
Namun karena keadaan tidak memungkinkan, maka siap tidak siap dan mau tidak mau kita harus siap di dalam melaksanakan instruksi pemerintah yang mewajibkan untuk SFH sampai pandemi COVID-19 ini berakhir.
Kita selalu berdoa mudah-mudahan Pandemi COVID-19 tersebut segera berakhir dan vaksin COVID-19 yang saat ini telah masuk pada uji klinis fase yang ketiga dapat lancar dan segera memasuki ke fase keempat sehingga tidak ada kekhawatiran yang mendalam akan penularan COVID-19 dan kegiatan belajar mengajar dapat segera menjadi normal kembali
Salam Sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H