Pandemi COVID-19 telah berlangsung sekitar 4 bulan lamanya di Indonesia, dan selama beberapa waktu itulah merusak dan menyebabkan kekacauan pada berbagai macam hal yang telah sedemikian rupa disusun.Â
Salah satu hal yang menjadi sorotan saya di dalam penulisan artikel di Kompasiana ini adalah tentang konsep Siasat Pernikahan di Tengah Pandemi COVID-19.Â
Lazimnya, suatu acara pernikahan, menurut khalayak ramai adalah suatu acara yang bersifat sakral dan hanya berlangsung sekali di dalam hidupnya (kecuali jika terjadi kawin kedua, ketiga, dan keempat).Â
Oleh karena itu, Konsep Pernikahan dibuat dan dirancang sedemikian rupa sehingga menarik dan selalu abadi di dalam memori. Namun, dengan adanya Pandemi COVID-19 yang mulai muncul di Indonesia di Bulan Maret 2020, tampaknya Konsep untuk pernikahan di suatu gedung tersebut nampaknya sangat sulit untuk direalisasikan.Â
Salah satu dasar alasannya adalah karena adanya konsep jaga jarak fisik dari gerombolan manusia (social/physical distancing). Seperti yang telah diketahui bahwa salah satu hal yang menyebabkan terjadinya lonjakan pasien COVID-19 adalah konsep jaga jarak ini, selain penggunaan masker. Hal tersebut didasarkan oleh transmisi COVID-19 yang melalui droplet, aerosol, bioareosol, dan splatter yang lazim dikeluarkan oleh semua orang, sekalipun orang tersebut sehat.
Masalah yang timbul jika tetap nekat mengadakan pesta pernikahan dengan mengundang banyak orang untuk dapat hadir di acara tersebut adalah menyebabkan penambahan pasien COVID-19.Â
Fenomena tersebut masuk akal, sebab di era Pandemi COVID-19 saat ini banyak sekali orang yang dalam kelompok Orang Dalam Pengawasan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Tanpa Gejala (OTG), dan Pasien Terkonfirmasi positif COVID-19.Â
Istilah tersebut tetap saya gunakan walaupun untuk periode saat ini telah dilakukan penggantian istilah oleh Kementerian Kesehatan, namun istilah tersebut entah mengapa selalu tertancap kuat di dalam pikiran saya. Yang menjadi masalah adalah jika orang tersebut termasuk dalam kelompok OTG, yang mana dia adalah carrier COVID-19 namun tidak menimbulkan gejala sedikitpun.Â
Bayangkan, apabila suatu pernikahan tetap dilaksanakan di tengah Pandemi COVID-19, dan kita tidak tahu bahwa orang yang ada dan duduk semeja dengan kita, menghirup udara yang sama, dan melakukan kontak erat, alih-alih kebahagian yang akan didapat oleh kedua mempelai pengantin, bisa-bisa kedua pengantin dan seluruh hadirin yang diundang dan data di acara pernikahan tersebut dapat menjadi sumber pusat penularan COVID-19, bahkan dapat menimbulkan klaster baru yang tentunya akan mengakibatkan ledakan pasien COVID-19 yang menyusahkan pemerintah di kemudian harinya.Â
Fenomena OTG tersebut sangat berbahaya, karena COVID-19 ada di dalam dirinya namun tidak dapat menimbulkan manifestasi di dalamnya sebab sistem imunitas seseorang yang kuat namun hal tersebut tidak berlaku bagi orang yang ada di sekitarnya yang mungkin saja sistem kekebalan tubuhnya tidak sekuat orang tersebut, alhasil tertularlah orang tersebut dan menularkan kembali ke orang lain yang ada di sekitarnya yang dapat berupa anak, istri, dan keluarga serta sanak famili yang lain.
Jika pernikahan harus tetap dilaksanakan, mungkin karena desakan dari kedua belah pihak mempelai, mungkin dapat mengajukan konsep pernikahan yang baru yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Zaman saat ini berkembang begitu pesat, di mana proses komunikasi tetap dapat dilakukan walaupun kita tidak bertemu dengan orang lain.Â
Ya, melalui media atau aplikasi online. Saat ini, semua kegiatan sekolah dan di kampus, banyak menggunakan platform meeting online, kuliah online dengan menggunakan beberapa jenis aplikasi, seperti: aplikasi Zoom atau google meet yang dewasa ini ramai digunakan. Selain mudah diakses, kuota yang dapat ditampung di dalam konsep aplikasi tersebut juga cukup banyak.Â
Mungkin jika pernikahan harus tetap dilakukan alangkah baiknya jika para mempelai melaksanakan pernikahan dengan konsep daring online dengan menggunakan kedua aplikasi yang telah saya sebutkan sebelumnya.Â
Jadi, Pernikahan tetap dilaksanakan seperti sedia kala, namun di dalam gedung pelaminan tersebut yang hadir hanya kedua mempelai, orang tua mempelai, dan keluarga dekat mempelai yang tidak melebihi jumlah 20 atau 30 orang dan tentunya tetap melakukan protokol kesehatan dengan ketat, seperti: menggunakan masker, jaga jarak sekitar 1 sampai 1,5 meter, dan tidak bersalaman-cium pipi kanan-cium pipi kiri. (cipika-cipiki) Trus bagaimana sisanya? Ya para Undangan yang diberikan dapat disertakan link kode untuk mengakses Zoom ataupun Google Meet yang disediakan.Â
Jadi pada hari H pernikahan tersebut berlangsung, maka para undangan tetap hadir seperti sedia kala namun yang berbeda adalah dalam bentuk online. Hal tersebut masuk akal guna mengingat transmisi COVID-19 yang sampai saat ini belum dapat dikendalikan.
Lalu bagaimana dengan "buwuh" atau "amplopnya'? Tenang di zaman yang semaju saat ini, apapun bisa dilakukan. Di dalam undangan mungkin selain disertakan Username dan Password aplikasi Zoom atau Google Meet, dapat juga disediakan barcode Scan QR yang secara langsung dapat melakukan transaksi non-tunai melalui metode transfer m-banking atau pun fasilitas lainnya tergantung bagaimana kita menyikapinya, sehingga konsep pernikahan tersebut berubah menjadi pernikahan Daring atau online.Â
Tentunya setiap kebijakan yang baru, membutuhkan adaptasi atau penyesuaian dari para orang yang ada. Konsep tersebut sesuai dengan istilah "New Normal"Â atau adaptasi kebiasaan baru, di mana definisi dari istilah "New Normal" sendiri adalah munculnya suatu kebiasaan baru yang pada era sebelumnya jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan.Â
Semoga Pandemi COVID-19 ini dapat segera berakhir, dan para calon mempelai yang akan melakukan pernikahan dapat melakukannya seperti sedia kala di era sebelum COVID-19 ini muncul. :)
Salam Sehat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H