Mohon tunggu...
Fery Nurdiansyah
Fery Nurdiansyah Mohon Tunggu... Konsultan - Adil Sejak Dalam Pikiran

Imajinasi berawal dari mimpi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemimpin yang tak kenal peradaban

23 Oktober 2012   22:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:28 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Fery nurdiansyah

Kemilau air sejernih mata memandang, tumpukan berbagai pepohonan yang rindang, pegunungan pencakar langit nan indah, perut bumi yang sangat subur, semua terdapat di negara ini. Sudah di buktikan oleh si manusia. Carita, gambar, tulisan, maupun peninggalannya.

Sumber daya manusia yang terdapat di negara ini cukup banyak, sekitar 250 juta nyawa terdampar di Indonesi, mungkin karena lebih dekat dengan ibu kota agar mata pencaharian mudah didapat atau alasan lain. Secara rasional, lebih banyak yang tinggal, lebih ketat untuk berkompetisi. Ketika kualitas manusia tak bisa dipergunakan secara maksimal, maka tergeser dengan yang lain. sementara warga asing saban hari semakin bertambah jumlahnya, untuk merauk kekayaan alam yang ada di Indonesia. Dia yang kalah akan mati, dan mereka yang menang akan lebih mematikan

Problematika yang alot. Menurut Pramoedya “Masalah tentang manusia tak akan pernah kempot, jadi jangan remehkan si manusia,” secara mutlak manusia mempunyai kelebihan maupun kekurangan dalam tiap pribadi, tapi si manusia tak mengerti cara mengoptimalkan potensinya.

Persaingan antar manusia sungguh ketat, karena dari semasa kecil si manusia sudah diajarkan persaingan, dan sedikit kebersamaan. Permasalahan manusia memang sangat kompleks, terlebih kesejahteraan si manusia, suatu yang sangat pelik buat bangsa ini. Padahal para pemimpin bangsa ini nampaknya sudah membuat program agar warga negaranya sejahtera, tapi tetap saja tak ada hasil yang signifikan untuk mendapatkan segumpal kesejaahteraan si manusia. Sebenarnya kesejahteraan yang seperti apa yang diinginkan si manusia, atau apakah memang para pemimpin mengusahakan untuk kesejahteraan si manusia. Atau hanya kamuflase untuk menarik perhatian si manusia.

Tak hanya si manusia, sumber daya alam yang terdapat di negara ini juga melimpah luah. Namun pertanyaannya, bagaimana mendapatkannya? Bagaimana pengelolaannya? Untuk siapa hasilnya?. Yang cerdas disayang, yang bodoh dibudayakan. Cerita perwayangan sudah hampir punah tergerus oleh zaman, pembodohan merajalela, tanah air diberdayakan oleh orang asing, tempat berburu para bumi putra menghilang dirubah menjadi kenangan, hasil bumi bangsa ini dirasakan hanya yang berkuasa. Apalagi nenek moyang kita, hanya tinggal sejarah tanpa dikenang.

Sungguh hina si manusia. Sifat tamaknya tak akan pernah hilang di zaman biadab ini. Teriakan manusia kolong jembatan maupun kaum marjinal hanya menyebar mengikuti angin yang berhembus kesana kemari. Kini, di Indonesia. Sedang mengalakkan peningkatan taraf hidup si manusia dengan aturan-aturan yang berlaku, agar kelak mendapatkan kesejahteraan maupun kemapanan hidup. Ideologi yang dipunyai bangsa ini sungguh sangat istimewa, siapa yang tidak mengenal pancasila, di sekolah dasar sudah dikenalkan ‘pancasila’ oleh para pendidik. Kemanusiaan dan keadilan tercakup didalamnya. Aturan-aturan konstitusi sebagai hirarki tertinggi menjadi patokan agar bangsa ini berpengaruh di mata dunia. Namun, aturan hanyalah aturan, tak selalu diindahkan.

Implementasi dituntut seefektif mungkin, analogi terbaur dengan rasionalitas hanya sebagai retorika. Aristoteles berkata manusia itu “zoon politicon,” dan cicero mengatakan disitu ada masyarakat maka disitu ada hukum. Oleh sebab itu hukum akan berkembang ketika terdapat manusia. Juga fiksi hukum yang sangat dikenal di Indonesia. Akan tetapi terlalu munafik rasanya ketika semua manusia dianggap tahu hukum, mungkin Aparat penegak hukum pun tak selalu tahu hukum.

Bangsa ini tak seindah cerita nenek moyang. Untuk mengisi perut saja butuh pertarungan melawan ketidakadilan. Lantas untuk apa ideologi bangsa ini jika tidak digunakan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang benar-benar cinta kepada rakyatnya. Kenapa harus cinta. Semua berawal dari cinta kasih yang harus ada pada jiwa pemimpin, ekses untuk memenuhi apa yang dibutuhkan rakyatnya. jika para pemimpin terlena dengan berbagai kemewahan, sudah pasti semua teriakan manusia tak akan pernah tercapai.

Koonkordansi masih dikenal negara ini, padahal bangsa ini berbeda dari negara si pembuat. Apa masih harus dituntut untuk efektif. Maka dewasa ini peranan demokrasi sangat dibutuhkan. Teriakan semua manusia dapat tertampung dalam satu kata ‘Demokrasi’. Mutlak untuk dijadikan dasar sebagai pegangan mengeluarkan pendapat. Ketimpangan kesejahteraan yang terjadi di tanah air ini seakan tak pernah habis. Intervensi negara lain sebagai salah satu penyebab negara ini bergerak mundur, terjajah oleh modernissasi, teknologi dan budaya pop.

Budaya barat seakan menyelimuti tubuh garuda yang tak tentu jundrungannya darimana. Peradaban nenek moyang seakan sirna ditelan bumi, padahal cerita nenek moyang si manusia tak pernah sehina ini. Sementara, setiap helaan nafas peradaban asing terus mengikat tubuh bangsa ini.

Pola pemikiran si manusia harus dikonstruksikan ulang. Bisa jadi manusia apatis memimpin negara yang kaya raya ini. Bertambah pula darah yang ditukarkan untuk seorang pemimpin. Terlebih penegak hukum terbutakan dengan kemapanan dan kerakusan. Keadilan yang seperti apa yang dibutuhkan garuda, adil untuk dirinya atau mereka. Di media massa memberitakan, ada manusia mencari keadilan dengan berjalan kaki hampir sepulau jawa. Mendengarnya pun sangat takjub di era serba canggih. Motivasinya sungguh besar untuk mendapatkan keadilan, tapi keadilan untuk siapa?

Pemenuhan untuk kesejahteraan dan penegakan hukum menjadi kedua kutub yang bertolak belakang seperti selembar mata uang. Lekat namun bermuka dua. Sementara hak asasi manusia diciptakan agar si manusia berjalan beriringan dengan yang lainnya. Akan tetapi realita berkata lain. Si manusia seakan dianggap rendah oleh penguasa, seolah-olah penguasa bisa melakukan apa yang mereka mau.

Penganiayaan terhadap si manusia terjadi dimana-mana tanpa ada proses hukum yang menyentuhnya. Seperti sulap, bisa menimbulkan lalu menghilangkannya lagi. Sungguh menakutkan sekali negara ini. Masih berkutat dengan kesejahteraan, kesenjangan sosial akan terjadi ketika kesejahteraan hilang. Kebusukan sistem hukum tak lagi dewasa karena penerapan tak efektif. Demokrasi yang berjalan lancar membikin ragu pemimpin untuk membuat keputusan, lalu dimana peran ideologi bangsa ini.

Peradaban yang tergusur oleh zaman, karena lebih menyukai budaya pop ketimbang budaya yang dibawa nenek moyang si manusia. Kekayaan alam yang malah dinikmati oleh orang asing, bukan bumi putra, dikarnakan aturan yang dibuat penguasa memberi peluang besar bagi orang asing untuk mengeruk untung di tanah air nenek moyang. Lemahnya para penegak hukum untuk menegakkan tiang keadilan setinggi-tingginya.

Serta tak sedikit para pemimpin yang tak tahu malu sudah membohongi rakyatnya, mungkin beribu kata maaf pun tak akan cukup bila diucapkannya. Apakah kata maaf bisa membalikan keadaantanpa menyelesaikan masalah.

Maka untuk menciptakan kesejahteraan si manusia, butuh pemimpin yang cinta pada manusianya. Karena dengan cinta pada manusianya, pemimpin akan mengerti apa yang dibutuhkan si manusia. Pemimpin yang cerdas bukan hanya memeentingkan negara untuk rakyatnya, tapi bagaimana melawan dan mempertahankan tanah air dari segala sesuatu yang mengancam. Itu pun tak akan merubah keadaan bila tak dibarengi dengan kesadaran si manusia untuk menciptakan kesejahteraan seutuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun