Erotisme menurut berbagai literatur dapat diartikan sebagai obyek yang memiliki kualitas untuk membangkitkan hasrat seksual seseorang. Bentuknya bisa bermacam mulai dari karya seni patung, lukisan, fotografi, atau film.
Datangnya hasrat itu bermula dari panca indra kita, terutama mata dan telinga, yang kemudian mengirimkan sinyal ke dalam susunan sarap yang ada diotak yang untuk urusan ini dikomandani oleh Libido.
Erotisme merupakan bagian dari aktivitas seksual manusia. Secara realitas, manusia tak akan dapat lepas dari kata seksual. Agama, sains, hingga filsafat sudah lama bertarung terkait hal ini.
Agama sejatinya tak pernah melarang aktivitas ini, agama hanya memberi rambu-rambu dan batasan serta syarat-syarat dalam melakukan aktivitas seksual.
Karena pada dasarnya hasrat itu memang sudah ternanam dalam diri setiap mahluk ciptaan Allah SWT, kecuali malaikat.
Bagi mahluk hidup aktivitas seksual bukan hanya perkara kenikmatan dan kesenangan belaka, namun juga berurusan dengan reproduksi.
Makanya untuk kebutuhan tersebut Sang Pencipta memberikan kita naluri yang bernama hasrat seksual yang sekaligus sebagai bahan ujian bagi manusia apakah mampu mengendalikan hasrat itu atau tidak.
Namun dalam prakteknya, seiring dengan berkembangnya waktu dan ilmu pengetahuan, hasrat itu menjadi kontroversi terutama bagi kehidupan manusia.
Pertentangan tafsiran dan pemikiran terkait hasrat erotis nan sensual ini terus terjadi, terutama dalam sisi implementasi hasrat tersebut.
Terlepas dari sifat relatif kebenaran atas hasrat dan aktifitas seksual, membicarakannya diruang publik bukanlah hal yang terlarang, tabu atau tak pantas.
Sepanjang dibicarakan secara berkeadilan. Adil di sini artinya menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Â Karena hasrat itu merupakan bagian dari Neuronal, sistem saraf yang ada di otak manusia. Seperti yang tadi saya tulis diatas "its Given". Jadi kenapa harus menjadi terlarang dan dianggap melanggar norma-norma?
Sistem Neuronal merupakan mesin utama dalam menjalankan kehidupan manusia. Segala muasal  terkait individu seperti kebiasaan, reaksi menyikapi hal baru, hingga etika diproses, diseleksi daan diputar ulang layaknya compact disc berisi lagu.
Begitu pun olahan pikiran atau hal praktis terhadap seks., yang tak bisa dilepas kan dari pemicu awal yang terdapat di dalamnya, yaitu libido.
Dari sinilah awalnya hasrat seks bersumber, hasil olahan dari sistem-sistem  neuron pada limbik. Yang kemudian akan terstimulasi melalui tangkapan panca indra yang sinyalnya dikirim ke otak.
Makanya stimulan-stimulan berupa manifestasi dari erotisme itu, sudah terjadi sejak manusia ada dan kemudian ber-reproduksi.
Karya-karya erotisme sudah ada sejak jaman baheula sekali. Relief-relief terkait aktivitas seksual banyak ditemukan jauh sebelum penanggalan masehi ada.
Kemudian berkembang menjadi lukisan, di Pompei misalnya. Kota yang hancur akibat letusan gunung Pompei. Di bekas reruntuhannya ditemukan gambar-gambar yang disinyalir lukisan yang menggambarkan aktivitas seksual.
Begitupun di Nusantara, tak sedikit karya-karya yang menggambarkan erotisme, mulai dari pendidikan seks, teknik dalam beraktifitas seksual bahkan sampai filsafat seks.
Karya sastra berupa teks berbahasa jawa kuno banyak ditemukan diantaranya Pakem Pandom Pandumiking Salulut, Wewading, Slokantara, hingga Smaradahana yang menyinggung teori reproduksi tradisional.
Saat itu memang belum menjadi sebuah bisnis, namun seiring waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Media yang menjadi lantaran stimulasi erotisme menjadi bertambah beragam.
Setelah ditemukannya teknologi foto dan kemudian gambar bergerak yang kemudian kita kenal dengan film. Erotisme mulai berkembang pesat menjadi sebuah industri.
Film yang mengumbar erotisme pertama kali dibuat pada tahun 1907 dengan judul El Satario produksi negara Amerika Latin, Argentina.
Namun awalnya semua film dengan genre seperti ini ilegal. Setelah tahun 1970 barulah di Amerika Serikat mulai di legalkan, menyusul kemudian Eropa.
Sejak saat itulah erotisme berjalan menuju sebuah industri yang besar. Apalagi kemudian setelah berkembangnya internet, industri ini berkembang pesat, ada jutaan situs terkait erotisme.
Memang kemudian kita jadi dibingungkan dengan batasan perbedaan erotisme dan pornografi. Namun konotasi pornografi jaub lebih buruk dari erotisme, padahal keduannya sangat tipis perbedaannya.
Secara umum sih pornografi itu lebih vulgar dan kurang berkelas di banding  erotisme. Walaupun saya sendiri terkadang bingung yang berkelas itu seperti apa.
Yang jelas Industri pornografi saat ini sudah sangat besar. Diluar prostitusi, di Amerika Serikat saja menurut data dari NBC News tahun 2017 industri ini bernilai US$12 milyar dolar atau setara dengan Rp. 168 trilyun rupiah. Sedangkan secara global mecapai US$97 milyar dolar, atau senilai Rp.1.380 trilyun.
Namun ternyata seperti halnya produk tembakau walaupun legal di sebagian negara. Industri ini menyimpan efek yang buruk dalam masyarakat.
Tak sedikit yang kecanduan dan menjadi pemicu berbagai kekerasan seksual. Dan jika dilakukan dalam jangka panjang pornografi dapat menimbulkan gangguan mental
Di Indonesia sendiri pornografi atau industri erotisme itu merupakan sesuatu yang ilegal. Walaupun pada kenyataannya tak sulit juga menemukannya. Apalagi dengan keberadaan internet.
Berbagai aturan sudah diterbitkan dan sweeping pun telah dilakukan, jutaan situs sudah diblok namun tetap saja bisa tembus.
Landasan iman dan keadilan lah kiranya yang sanggup menahan laju industri ini.Â
Sumber.
nusantaranews.co
kaskus.co.id
lsfcogito.orgÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H