Normalnya pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan di tingkat regional dan global.Â
Terkait pertumbuhan ekonomi global baru-baru ini International Monetary Fund (IMF) kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di 2019, menjadi 3%, dari sebelumnya 3,2%.
Melihat ekonomi dunia yang terus melakukan perlambatan. Ditambah perang dagang antara 2 negara terbesar size ekonominya Amerika Serikat dan China yang terus memanas, sulit sekali rasanya pertumbuhan Indonesia akan mampu menembus 5,3 persen seperti yang dicanangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
Pertumbuhan ekonomi biasanya bisa diartikan sebagai naiknya produksi barang dan jasa dalam suatu negara yang kemudian mendorong perubahan positif terhadap kondisi ekonomi. Makin tinggi pertumbuhannya, kondisi ekonomi makin baik jadinya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah transaksi perdagangan internasional, neraca ekspor dan impor.Â
Jika ekspornya tinggi berarti ada kegiatan ekonomi yang masif di dalam negeri untuk menghasilkan suatu produk yang akan di jual di pasar internasional.Â
Kegiatan ekonomi itu akan mendorong penyerapan tenaga kerja. Mereka menghasilkan uamg yang akan mereka belanjakan untuk konsumsi, maka bergerak lah roda perekonomian lebih kencang.
Persoalannya ekonomi global melambat, negara-negara counterpart bisnis kita pun melambat. Cina saja yang pertumbuhan ekonominya dalam beberapa dekade terakhir sangat kencang, nyaris selalu di atas 2 digit. Menurut IMF pertumbuhan ekonomi China  2019 ini diproyeksikan hanya mencapai 6,1 persen saja.
Melihat kondisi diatas Jadi rasanya apa yang Prabowo dan Partai Gerindra  proyeksikan melalui konsep yang mereka usung akan mampu mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 2 digit, tak lebih dari retorika semata.
Meskipun terjadi mungkin setelah pemerintahan Jokowi Jilid II ini selesai. Saat ini untuk naik menjadi 2 digit signalnya saja belum ada. Kalau orang sunda bilang "can aya kelemengna"