Hari ini, 30 September 2109 merupakan masa kerja terakhir bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa bakti 2014-2019. Besok, 1 Oktober 2019 pelantikan anggota DPR periode 2019-2024 akan dilaksanakan.Â
Setelah ditetapkan sebagai calon anggota terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 31 Agustus 2019 lalu. Terdapat 572 anggota dewan yang akan dilantik, dengan komposisi 298 orang merupakan petahana dan sisanya sebanyak 286 anggota dewan yang sama sekali baru.
Ketika tim Kompasiana memilih topik pilihan "Terimakasih DPR", saya agak kebingungan, apa yang harus saya tulis terutama berkaitan dengan rasa terimakasih kepada mereka.
Berterima kasih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya ialah melahirkan rasa syukur atau membalas budi setelah menerima kebaikan dan sebagainya.Â
Berarti harus ada yang diberikan dulu baru layak diberikan ucapan terimakasih. Terkait DPR, adakah yang layak dari lembaga ini yang patut kita terimakasihi.
Tentu saja ada, fungsi Budgeting misalnya, walaupun sebetulnya itu memang sudah menjadi tugas mereka dan akan berkaitan juga dengan anggaran yang akan mereka gunakan untuk memenuhi hak-hak finasial mereka. Diluar itu rasanya agak sulit juga mencari celah prestasi mereka.Â
Menurut survey Lembaga Charta Politika yang dilakukan pada pertengahan tahun 2018, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 49,3 persen, di bawah TNI (73,5 persen), KPK (73,4 persen), Presiden (68,6 persen), dan Polri (50,4 persen).Â
Legislasi yang merupakan salah satu fungsi utama DPR yang kerap dijadikan acuan prestasi anggota dewan periode tertentu, untuk priode 2014-2019 ini juga tak menggembirakan.
Jika dilihat kuantitasnya, total RUU yang disahkan DPR periode ini mencapai 84 buah, gabungan dari RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas dan Kumulatif Terbuka.Â
Khusus RUU Prolegnas Prioritas, DPR periode 2014-2019 hanya menyelesaikan 35 buah atau per tahun maksimal hanya 10 buah, padahal rencananya adalah total 40-55 RUU. Menurut Lucius, angka 35 pun menyimpan cerita.
Tujuh RUU di antaranya hanya tiga RUU yang asli dan sisanya revisi berulang. Masing-masing adalah revisi UU MD3 yang dilakukan tiga kali sepanjang 2014-2019, revisi UU Pilkada dua kali dan revisi UU Pemerintah Daerah dua kali pula.
Tak hanya kuantitas yang jeblok, kualitasnya pun seiring sejalan. Menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) DPR periode ini hanya menghasilkan Undang-Undang yang cacat kualitas dan legitimasi.Â
"Perkaranya banyak, tapi yang dikabulkan ada 46 buah. Ini sedikit bisa menunjukkan bahwa ada problem substansi dan kualitas UU yang dihasilkan oleh DPR, 64 di antaranya harus diralat (dibenarkan) oleh MK," Ujar Lucius Karus Peneliti Senior Formappi, seperti yang dikutip dari beritagar.id.
Perkara tingkat kehadiran anggota DPR dalam berbagai sidang dan rapat kerja periode ini pun mendapat sorotan negatif. Donal Fariz salah seorang peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan. Pada 7 Januari 2019, misalnya, tercatat 310 anggota DPR tak hadir dalam rapat paripurna pembukaan masa persidangan III tahun 2018-2019.Â
"Meskipun ramai dicibir, DPR tak juga berbenah. Rapat paripurna ke-14 masa sidang IV yang digelar pada 19 Maret 2019 lalu hanya diikuti oleh 24 anggota DPR," Kata Donal, beberapa waktu yang lalu.
Padahal anggota dewan saat ini masih terikat dengan Peraturan DPR nomor 1 tahun 2015 tentang kode etik. Berdasarkan aturan tersebut, setiap anggota harus hadir dalam setiap rapat kerja yang merupakan kewajibannya.Â
Memang ada sanksi tertentu bagi anggota dewan yang tak memenuhi aturan itu, namun sanksinya itu sangat longgar dan tak memiliki efek jera sama sekali.
Performa DPR periode 2014-2019, tak sebanding dengan besarnya uang rakyat yang mereka kelola. Kata dia, jumlah total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk lembaga legislatif 2015-2019 mencapai Rp26,14 triliun. "Rata-rata anggaran DPR per tahun sebesar Rp5,23 triliun," tambah Donal.
Belum lagi jika kita bicara masalah korupsi, ICW Â mencatat 59 anggota legislatif berstatus tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana kasus korupsi.Â
Berbagai prestasi buruk tersebut kemudian coba mereka tutup dengan mengejar pengesahan berbagai RUU yang selama ini masih jadi pembahasan panjang karena memang masih banyak sekali masalah didalam substansinya.Â
RUU KPK, yang sejak dari dulu selalu bermasalah, tiba-tiba mereka sahkan. Kemudian beberapa RUU lain seperti RKUHP, RUU Pemasyarakan, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Sumber Daya Air dan berbagai RUU lainnya.
Tingkah DPR yang terakhir inilah yang membuat kondisi bumi pertiwi hari ini menjadi gonjang-ganjing, mahasiswa yang selama ini seperti malas bergerak, tiba-tiba menjadi beringas dan gesit berdemontrasi karena mereka sadar apa yang akan diputuskan oleh DPR menjadi Undang-Undang itu akan merugikan rakyat banyak.Â
Pemberantasan korupsi yang merupakan amanat reformasi 98, mereka gembosi dengan UU KPK baru colongan, dan Konspirasi pemilihan Capim KPK.
Tak kurang dari 2 nyawa mahasiswa melayang akibat kekonyolan yang awalnya dipicu oleh DPR. Namun mereka seperti tak merasa bersalah dan terus berkilah, bahwa RUU itu memang sudah dibahas sejak lama dan tak ujug-ujug.Â
Namun fakta berkata lain seperti UU KPK misalnya tak masuk Prolegnas tahun ini, eh tetiba masuk dan dengan kilat langsung disahkan.Pemerintah Jokowi seperti dalam kondisi tertekan akibat ulah oligarki politik dari Partai politik pendukungnya mau tak mau harus nunut mengesahkan RUU tersebut.Â
Mungkin mulai saat ini kita harus berhenti menyebut mereka sebagai "DPR". Kita harus menyebut kepanjangan nama lembaga mereka untuk mengingatkan mereka atau untuk menggebuk pikiran bebal mereka bahwa mereka merupakan wakil rakyat; dan dengan harapan agar kepanjangan itu menjadi sugesti bahwa mereka berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat, dan bekerja untuk rakyat.Â
Singkatan DPR menyembunyikan para anggotanya dari kepanjangan nama lembaga negara tersebut. Makin sering kita menyebut nama singkatan DPR tersebut, makin klise kata itu terdengar dan kian terbiasalah kita dengannya tanpa merasa bersalah.Â
Kian dalam pula mereka para anggotanya menyurukan tugas etis yang dibebankan terhadapnya dalam palung makna singkatan,"DPR".
Sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H