"Tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras dan agama". Tindakan itu mencakup antara lain; (a) pembunuhan anggota kelompok; (b) mengakibatkan penderitaan serius terhadap jiwa dan mental anggota kelompok; (c) Secara sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang bertujuan untuk melakukan kemusnahan secara fisik baik keseluruhan maupun sebagian; (d) mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu; dan (e) dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok yang lain"
Sebagai contoh fenomena genosida, mari kita lihat bagaimana Nazi yang notebenenya merupakan bangsa kaukasian, dengan cara yang sistematis menghabisi bangsa Yahudi secara masif di dataran Eropa di awal sampai pertengahan tahun 1940an. Walau angka pastinya berbeda-beda namun tak kurang dari 9 juta orang bangsa Yahudi di bantai oleh Nazi.
Kemudian konflik etnis di Rwanda sebuah negara di Afrika Tengah, tak kurang dari 800.000 ribu orang suku Tutsi dihabisi dengan sangat kejam oleh ekstremis suku Hutu dalam jangka waktu 100 hari, pada tahun 1994.
Di Indonesia sendiri genosida pernah terjadi, walaupun dalam kondisi dan alasan berbeda. Tragedi yang dipicu oleh gerakan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) 30 September 1965. Tepat 54 tahun lalu.
Ideologilah yamg memicu terjadinya genosida tersebut. Pihak yang dianggap komunis ditangkap, disiksa, dibantai, serta dibuang tanpa melewati proses pengadilan hukum yang jelas. Tak jelas benar berapa jumlah yang terkena aksi ini.
Sekarang mari kita cermati dengan pengertian dan contoh tersebut apakah kejadian Wamena yang menewaskan 32 orang itu merupakan manifestasi genosida?
Pemerintah jelas membantah sinyalemen ini. Seperti diungkapkan pihak Kepolisian.
"Pelaku pembakaran bukan penduduk asli Wamena. Penduduk Lembah Baliem (penduduk asli Wamena) justru banyak membantu memberi perlindungan kepada para pendatang dengan mengamankan di rumah warga maupun gereja," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen M Iqbal dalam keterangannya, Minggu (29/9/2019). Seperti yanh dikutip dari detik.com
Entah apa maksud Hidayat Nur Wahid memposting ungkapan yang sangat berbahaya ini, alih-alih meredam suasana agar tak tambah panas. Malah seperti memanas-manasi.
Beroposisi sih sah-sah saja, tapi lakukanlah dengan cara konstruktif tanpa harus berpotensi mengorbankan keutuhan Indonesia.